Tanah
Borneo. Apa yang kalian pikirkan pertama kali ketika mendengar “Tanah Borneo”?
Mungkin sama dengan saya, anggapan tentang tanah yang masih asri dengan
lebatnya hutan dan adat budaya yang begitu kental, eksotis. Dan di sinilah,
saya dan ke-54 teman saya ditugaskan negara untuk menjadi guru SM3T. Kalimantan
Barat, tepatnya kami bertugas di “Bumi Sebalo”, Kabupaten Bengkayang.
Menginjakkan kaki pertama kali di tanah yang kaya akan hasil bumi Indonesia, rasanya
begitu bahagia. “SD Negeri 21 Sepu’u”, adalah sekolah di mana saya bertugas
untuk setahun mengajar. Tidak habis untuk membayangkan bagaimana kondisi
sekolah, jalan dan masyarakatnya.
Seluas,
8 September 2016. Hari pertama berangkat ke sekolah. Bersiap sepagi itu sudah
mandi dan rapi. Hari itu hari Jumat. Saya berangkat dengan memboceng motor kombet (motor modifikasi) Bapak Supono,
Kepala SD Negeri 21 Sepu’u. Selama perjalanan saya hanya menebak-nebak lokasi
sekolah dan banyak bercerita dengan Bapak. Awal perjalanan melewati jalan
aspal, dan saya kira sekolah ada di pinggir jalan. Ternyata, Bapak membelokkan
motor beliau ke sebuah simpang dengan kondisi jalan menurun dan aspal hancur.
Dan saya masih berpikir, mungkin tidak jauh lagi sampai. Ternyata, di
persimpangan jalan tersebut motor kombet Bapak belok masuk ke jalan tanah.
Jalan di tengah perkebunan kelapa sawit milik salah satu perusahaan. Iya, dan
harapan saya berakhir, sepertinya memang lokasi sekolah masih jauh.
Setelah
melewati jalan di tengah kebun kelapa sawit, akhirnya kami masuk ke
perkampungan. Lagi-lagi saya menebak, pasti sekolah sudah dekat. Melalui jalan
“naik-turun”, akhirnya sampailah kami di satu simpang jalan batu yang menanjak.
Jalan yang baru pertama kalinya saya lalui dan semakin menelusuri jalan
tersebut, tanjakan dan turunannya sangat mengerikan bagi saya. Ketika Bapak
bercerita bahwa “Jalan ini kalau sudah musim hujan datang, payah buat jalan.
Tanah kuningnya lengket dan jalan batunya licin sekali. Jadi kalau sudah hujan,
saya susah naik ke sekolah.” Terkejut. Begitu beresikonya jalan menuju sekolah
jika musim hujan datang.
Seketika
rasa takut dan kelelahan muncul saat melewati jalan berbatu, naik-turun, dan
berlumpur terhapus sudah dengan sapaan polos dan senyuman manis siswa-siswa SDN
21 Sepu’u. Kebiasaan yang bersahaja, yang tidak selalu aku temui di daerah
kota, “Selamat pagi, Pak... Selamat pagi, Bu!”. Setelah memberikan sapaan
hangat yang menggembirakan hati saya, mereka berbondong-bondong lari ke arah
saya dan Bapak Kepala Sekolah untuk bersalaman. Ternyata, pendidikan karakter
mereka sudah tertanam walaupun mereka jauh dari daerah kota. Mereka sudah tahu bahwa
saya adalah guru baru untuk setahun ke depan di sekolah mereka. Semangat.
Itulah yang saya artikan dari raut muka, lompatan-lompatan kecil, dan tawa
ceria mereka. Bahagia yang begitu bermakna, melihat begitu senangnya mereka
karena kehadiran saya.
Setiap
kali saya sampai di sekolah, sapaan-sapaan itu, senyuman yang menyambut, dan
langkah kaki kecil yang berhamburan di halaman sekolah memecahkan rasa lelah
selama perjalanan menuju ke sekolah. Iya, tingkah laku anak-anak membuat
lelahku menjadi semangat mengajar. Bahkan kadang saya tak peduli, sepatu boot
saya sudah terselimut lumpur karena melewati jalan yang tak kering karena hujan
di malam sebelumnya. Itulah, lelah tapi yang membahagiakan. Memberikan sedikit
demi sedikit pengetahuan kepada mereka dalam keterbatasan. Tidak ada buku atau
listrik sekedar untuk menge-charge
laptop. Tidak ada peta, yang bahkan ketika saya bertanya tentang negara mereka,
mereka menjawab tidak tahu.
Sedikit
cerita tentang gambar peta Indonesia tanpa garis lintang dan garis bujur. Saat
awal saya mengajar mereka, saya bertanya tempat tinggal, kabupaten, provinsi
dan pulau di mana mereka tinggal. Jawaban yang sangat yakin, mereka bisa
menjawab semuanya. Hingga akhirnya, saya bertanya “Tahukah kalian bagaimana
bentuk Indonesia? Mengapa kalian yang di Kalimantan terpisah dengan Ibu yang di
Jawa?”. Dan mereka menjawab tidak tahu gambar pulau-pulau yang berjajar
membentuk satu negara yang mereka kenal dengan nama Indonesia. Demi mereka
mengetahui tanah air yang mereka tinggali, saya berjanji membawakan gambarnya. Ketika
saya bawakan gambar tentang Indonesia, mereka semua heran dan mungkin isi
kepala mereka berpikir “Ternyata ini negaraku. Letak di mana aku tinggal”. Dan
dengan gambar sederhana yang saya gambar, saya dapat kenalkan mereka dengan
pulau lain di Indonesia.
Di
sinilah, di daerah seperti ini dengan berbagai kekurangan. Saya harus kreatif
mengubah kekurangan dan memanfaatkan potensi yang ada di sekitar sekolah agar
siswa saya belajar dengan suasana dan cara yang baru. Inovasi yang tidak
membuat mereka selalu merasa kekurangan. Iya, memanfaatkan potensi alam dan
kemampuan mereka adalah cara terbaik membuat proses belajar menjadi bermakna.
Ini terlihat, ketika mereka saya ajak belajar sambil bermain di halaman
sekolah. Ceria, semangat, dan dapat memahami konsep apa yang pelajari saat itu.
Dan menumbuhkan kemauan belajar mereka lebih semangat lagi adalah yang paling
utama.
Tak
hanya kesan tentang gambar jajaran pulau di Indonesia, tapi juga cerita lain
yang menjadi kumpulan kisah di hidup saya. Kisah tentang seikat sayur miding
dari siswa. Setiap pagi, sambil menunggu saya datang, mereka mencari sayur
miding di hutan samping sekolah. Dan ketika saya tiba di sekolah, dua orang
siswa menyusul masuk ke kantor guru dengan membawa seikat besar daun miding
untuk saya. Ketika saya menerima sayur itu dan mengucapkan terima kasih, mereka
memberikan berkata, “Ibuu..., kami bah bu yang terima kasih ke Ibu. Setiap hari
Ibu pergi ke sekolah untuk mengajar kami di sini. Sampai-sampai Ibu harus
tumbang berkali-kali. Ibu, tidak usah pulang ke Jawa yah... Ajar kami terus
saja bu di sini!” pesan singkat yang ingin mereka sampaikan melalui seikat
sayur miding.
Bahkan,
kondisi jalan yang seperti sudah saya jelaskan sebelumnya, terabaikan dengan
semangat siswa-siswa saya berangkat ke sekolah. Tak hanya kondisi sekolah yang
tidak memiliki buku dan listrik, namun juga kurangnya guru pengampu kelaslah
yang menjadi masalah besar. Setiap kali saya dan satu guru lainnya harus
mengajar penuh semua kelas. Tidak efektif. Mungkin ini, realita yang pernah
saya lihat videonya dan mendengar ceritanya dari alumni SM-3T sebelumnya. Sedih
rasanya, bukan karena lelah mengajar lima sampai enam kelas, tapi kesedihan
karena siswa-siswa tidak mendapat hak selayaknya dalam proses belajar. Beberapa
kali orang tua siswa pun meminta agar saya tidak kembali ke Jawa setelah nanti
setahun pengabdian.
Berlipat
kenangan yang menjadi kisah yang mengisi kehidupan saya tentang siswa-siswa
Sepu’u, tentang pendidikan di Tanah Borneo. Lipatan kenangan itu mau tak mau
harus saya rengkuh kuat-kuat ketika setahun pengabdian usai. Menyimpannya
rapi-rapi di bagian hati yang sudah dikosongkan untuknya. Pelukan kecil dan air
mata yang tulus dari anak-anaklah bekal saya meninggalkan sekolah tersebut.
Sesekali celetuk kecil dari mereka sebelum saya benar-benar tak lagi datang ke
sekolah, “Ibu, terima kasih untuk semuanya. Hati-hati di jalan ya Ibu.” Menahan
air mata di hadapan mereka, dan berpura-pura saya guru yang sempurna, tapi
memang tak bisa ditahan lagi cucuran air mata.
Tiga
hari sudah di Jawa, handphone saya
menjadi sering berdering. Iya, orang tua atau siswa saya sering menghubungi
saya. Mereka bilang sedih karena tidak ada guru lagi yang mengajar. Seperti
yang diceritakan salah satu orang tua siswa, ”... Iya bu, anak-anak setiap kali
sampai di sekolah hanya bermain, setelah itu menunggu-nunggu tidak ada guru
yang mengajar mereka. Mereka menangis karena tidak dapat belajar lagi seperti
biasanya”. Bahkan, saat tanggal 24 Agustus (jadwal pesawat saya pulang ke Jawa),
hamburan kaki kecil mereka berkumpul di halaman sekolah. Ketika itu, ada
pesawat melintas di atas langit Dusun Sepu’u, dan mereka melambaikan tangan
mereka seolah sedang memberikan salam selamat tinggal untuk saya, dan mungkin
anggapan mereka ada saya di pesawat tersebut yang melihat mereka melambaikan
tangan. Sambil menangis mereka berkata, “Itu pesawat Bu Galuh. Selamat tinggal
Ibu... jangan lupakan kami!” Itulah yang diceritakan oleh orang tua siswa saat
menelpon saya.
Betapa
mereka menerima saya menjadi guru mereka. Dan berharap ada pengganti yang mampu
mengajar mereka lagi seperti biasanya. Itulah salah satu gambaran pendidikan di
daerah tertinggal Indonesia yang benar-benar sangat perlu diperhatikan. ( oleh Caturini Galuh Prameswari, S.Pd.)