Saturday, April 27, 2019

Sepahat Kisah di Garis Batas


Tanah Borneo. Apa yang kalian pikirkan pertama kali ketika mendengar “Tanah Borneo”? Mungkin sama dengan saya, anggapan tentang tanah yang masih asri dengan lebatnya hutan dan adat budaya yang begitu kental, eksotis. Dan di sinilah, saya dan ke-54 teman saya ditugaskan negara untuk menjadi guru SM3T. Kalimantan Barat, tepatnya kami bertugas di “Bumi Sebalo”, Kabupaten Bengkayang. Menginjakkan kaki pertama kali di tanah yang kaya akan hasil bumi Indonesia, rasanya begitu bahagia. “SD Negeri 21 Sepu’u”, adalah sekolah di mana saya bertugas untuk setahun mengajar. Tidak habis untuk membayangkan bagaimana kondisi sekolah, jalan dan masyarakatnya.
Seluas, 8 September 2016. Hari pertama berangkat ke sekolah. Bersiap sepagi itu sudah mandi dan rapi. Hari itu hari Jumat. Saya berangkat dengan memboceng motor kombet (motor modifikasi) Bapak Supono, Kepala SD Negeri 21 Sepu’u. Selama perjalanan saya hanya menebak-nebak lokasi sekolah dan banyak bercerita dengan Bapak. Awal perjalanan melewati jalan aspal, dan saya kira sekolah ada di pinggir jalan. Ternyata, Bapak membelokkan motor beliau ke sebuah simpang dengan kondisi jalan menurun dan aspal hancur. Dan saya masih berpikir, mungkin tidak jauh lagi sampai. Ternyata, di persimpangan jalan tersebut motor kombet Bapak belok masuk ke jalan tanah. Jalan di tengah perkebunan kelapa sawit milik salah satu perusahaan. Iya, dan harapan saya berakhir, sepertinya memang lokasi sekolah masih jauh.
Setelah melewati jalan di tengah kebun kelapa sawit, akhirnya kami masuk ke perkampungan. Lagi-lagi saya menebak, pasti sekolah sudah dekat. Melalui jalan “naik-turun”, akhirnya sampailah kami di satu simpang jalan batu yang menanjak. Jalan yang baru pertama kalinya saya lalui dan semakin menelusuri jalan tersebut, tanjakan dan turunannya sangat mengerikan bagi saya. Ketika Bapak bercerita bahwa “Jalan ini kalau sudah musim hujan datang, payah buat jalan. Tanah kuningnya lengket dan jalan batunya licin sekali. Jadi kalau sudah hujan, saya susah naik ke sekolah.” Terkejut. Begitu beresikonya jalan menuju sekolah jika musim hujan datang.
Seketika rasa takut dan kelelahan muncul saat melewati jalan berbatu, naik-turun, dan berlumpur terhapus sudah dengan sapaan polos dan senyuman manis siswa-siswa SDN 21 Sepu’u. Kebiasaan yang bersahaja, yang tidak selalu aku temui di daerah kota, “Selamat pagi, Pak... Selamat pagi, Bu!”. Setelah memberikan sapaan hangat yang menggembirakan hati saya, mereka berbondong-bondong lari ke arah saya dan Bapak Kepala Sekolah untuk bersalaman. Ternyata, pendidikan karakter mereka sudah tertanam walaupun mereka jauh dari daerah kota. Mereka sudah tahu bahwa saya adalah guru baru untuk setahun ke depan di sekolah mereka. Semangat. Itulah yang saya artikan dari raut muka, lompatan-lompatan kecil, dan tawa ceria mereka. Bahagia yang begitu bermakna, melihat begitu senangnya mereka karena kehadiran saya.
Setiap kali saya sampai di sekolah, sapaan-sapaan itu, senyuman yang menyambut, dan langkah kaki kecil yang berhamburan di halaman sekolah memecahkan rasa lelah selama perjalanan menuju ke sekolah. Iya, tingkah laku anak-anak membuat lelahku menjadi semangat mengajar. Bahkan kadang saya tak peduli, sepatu boot saya sudah terselimut lumpur karena melewati jalan yang tak kering karena hujan di malam sebelumnya. Itulah, lelah tapi yang membahagiakan. Memberikan sedikit demi sedikit pengetahuan kepada mereka dalam keterbatasan. Tidak ada buku atau listrik sekedar untuk menge-charge laptop. Tidak ada peta, yang bahkan ketika saya bertanya tentang negara mereka, mereka menjawab tidak tahu.
Sedikit cerita tentang gambar peta Indonesia tanpa garis lintang dan garis bujur. Saat awal saya mengajar mereka, saya bertanya tempat tinggal, kabupaten, provinsi dan pulau di mana mereka tinggal. Jawaban yang sangat yakin, mereka bisa menjawab semuanya. Hingga akhirnya, saya bertanya “Tahukah kalian bagaimana bentuk Indonesia? Mengapa kalian yang di Kalimantan terpisah dengan Ibu yang di Jawa?”. Dan mereka menjawab tidak tahu gambar pulau-pulau yang berjajar membentuk satu negara yang mereka kenal dengan nama Indonesia. Demi mereka mengetahui tanah air yang mereka tinggali, saya berjanji membawakan gambarnya. Ketika saya bawakan gambar tentang Indonesia, mereka semua heran dan mungkin isi kepala mereka berpikir “Ternyata ini negaraku. Letak di mana aku tinggal”. Dan dengan gambar sederhana yang saya gambar, saya dapat kenalkan mereka dengan pulau lain di Indonesia.
Di sinilah, di daerah seperti ini dengan berbagai kekurangan. Saya harus kreatif mengubah kekurangan dan memanfaatkan potensi yang ada di sekitar sekolah agar siswa saya belajar dengan suasana dan cara yang baru. Inovasi yang tidak membuat mereka selalu merasa kekurangan. Iya, memanfaatkan potensi alam dan kemampuan mereka adalah cara terbaik membuat proses belajar menjadi bermakna. Ini terlihat, ketika mereka saya ajak belajar sambil bermain di halaman sekolah. Ceria, semangat, dan dapat memahami konsep apa yang pelajari saat itu. Dan menumbuhkan kemauan belajar mereka lebih semangat lagi adalah yang paling utama.
Tak hanya kesan tentang gambar jajaran pulau di Indonesia, tapi juga cerita lain yang menjadi kumpulan kisah di hidup saya. Kisah tentang seikat sayur miding dari siswa. Setiap pagi, sambil menunggu saya datang, mereka mencari sayur miding di hutan samping sekolah. Dan ketika saya tiba di sekolah, dua orang siswa menyusul masuk ke kantor guru dengan membawa seikat besar daun miding untuk saya. Ketika saya menerima sayur itu dan mengucapkan terima kasih, mereka memberikan berkata, “Ibuu..., kami bah bu yang terima kasih ke Ibu. Setiap hari Ibu pergi ke sekolah untuk mengajar kami di sini. Sampai-sampai Ibu harus tumbang berkali-kali. Ibu, tidak usah pulang ke Jawa yah... Ajar kami terus saja bu di sini!” pesan singkat yang ingin mereka sampaikan melalui seikat sayur miding.
Bahkan, kondisi jalan yang seperti sudah saya jelaskan sebelumnya, terabaikan dengan semangat siswa-siswa saya berangkat ke sekolah. Tak hanya kondisi sekolah yang tidak memiliki buku dan listrik, namun juga kurangnya guru pengampu kelaslah yang menjadi masalah besar. Setiap kali saya dan satu guru lainnya harus mengajar penuh semua kelas. Tidak efektif. Mungkin ini, realita yang pernah saya lihat videonya dan mendengar ceritanya dari alumni SM-3T sebelumnya. Sedih rasanya, bukan karena lelah mengajar lima sampai enam kelas, tapi kesedihan karena siswa-siswa tidak mendapat hak selayaknya dalam proses belajar. Beberapa kali orang tua siswa pun meminta agar saya tidak kembali ke Jawa setelah nanti setahun pengabdian.
Berlipat kenangan yang menjadi kisah yang mengisi kehidupan saya tentang siswa-siswa Sepu’u, tentang pendidikan di Tanah Borneo. Lipatan kenangan itu mau tak mau harus saya rengkuh kuat-kuat ketika setahun pengabdian usai. Menyimpannya rapi-rapi di bagian hati yang sudah dikosongkan untuknya. Pelukan kecil dan air mata yang tulus dari anak-anaklah bekal saya meninggalkan sekolah tersebut. Sesekali celetuk kecil dari mereka sebelum saya benar-benar tak lagi datang ke sekolah, “Ibu, terima kasih untuk semuanya. Hati-hati di jalan ya Ibu.” Menahan air mata di hadapan mereka, dan berpura-pura saya guru yang sempurna, tapi memang tak bisa ditahan lagi cucuran air mata.
Tiga hari sudah di Jawa, handphone saya menjadi sering berdering. Iya, orang tua atau siswa saya sering menghubungi saya. Mereka bilang sedih karena tidak ada guru lagi yang mengajar. Seperti yang diceritakan salah satu orang tua siswa, ”... Iya bu, anak-anak setiap kali sampai di sekolah hanya bermain, setelah itu menunggu-nunggu tidak ada guru yang mengajar mereka. Mereka menangis karena tidak dapat belajar lagi seperti biasanya”. Bahkan, saat tanggal 24 Agustus (jadwal pesawat saya pulang ke Jawa), hamburan kaki kecil mereka berkumpul di halaman sekolah. Ketika itu, ada pesawat melintas di atas langit Dusun Sepu’u, dan mereka melambaikan tangan mereka seolah sedang memberikan salam selamat tinggal untuk saya, dan mungkin anggapan mereka ada saya di pesawat tersebut yang melihat mereka melambaikan tangan. Sambil menangis mereka berkata, “Itu pesawat Bu Galuh. Selamat tinggal Ibu... jangan lupakan kami!” Itulah yang diceritakan oleh orang tua siswa saat menelpon saya.
Betapa mereka menerima saya menjadi guru mereka. Dan berharap ada pengganti yang mampu mengajar mereka lagi seperti biasanya. Itulah salah satu gambaran pendidikan di daerah tertinggal Indonesia yang benar-benar sangat perlu diperhatikan. (oleh Caturini Galuh Prameswari, S.Pd.)

Friday, April 19, 2019

Sungai Raya Kepulauan Nan Kaya


Indonesia merupakan negara yang memiliki 5 pulau besar dan ribuan pulau kecil yang terbentang dari ujung barat (Sabang) hingga ujung timur (Merauke). Terdapat 5 pulau besar di Indonesia yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua yang terpisah oleh lautan.
Kalimantan adalah salah satu pulau terbesar yang hanya terdiri dari 5 provinsi dan terkenal dengan mayoritas Suku Dayak. Pulau yang terdengar familiar namun terdapat cerita seram di dalamnya terutama bagi orang Suku Jawa. Orang Kalimantan terkenal kejam, masih dekat dengan hal-hal ghaib, dan suka makan manusia. Cerita tersebut sering terdengar dari mulut ke mulut ketika di pulau Jawa. Pada realitanya pulau yang masih terdapat banyak hutan tersebut merupakan pulau dengan penduduk yang ramah terutama kepada para pendatang. Mayoritas penduduk merupakan Suku Dayak namun terdapat pula Suku Melayu, Suku Tionghoa, Suku Madura, dan Suku Jawa yang mengikuti program transmigrasi.
Kalimantan Barat merupakan provinsi di Indonesia khusunya di Pulau Kalimantan yang dilewati oleh garis Khatulistiwa, dengan suhu rata-rata 35-36 derajat pada siang hari. Dengan suhu yang demikian panas namun panas matahari tidak terlalu menyengat kulit karena masih banyak hutan dan sedikit polusi. Kabupaten Bengkayang merupakan kabupaten yang masih muda di Provinsi Kalimantan Barat namun saling menghargai antar suku maupun antar umat beragama sangat dipegang teguh oleh masing-masing kepala suku maupun pimpinan agama. Bengkayang disebut juga Bumi Sebalo karena wilayah Bengkayang terdiri dari bukit-bukit dan yang paling terkenal adalah Bukit Jamur dengan pemandangan yang sangat memanjakan mata serta jalur pendakian yang tidak terlalu curam namun menantang. Kabupaten Bengkayang terdiri dari 17 kecamatan yang tersebar di dataran tinggi maupun pesisir. Beberapa kecamatan yang terdapat di dataran tinggi adalah Seluas, Jagoi Babang, Lembah Bawang dan beberapa lainnya, selain itu yang berada di pesisir adalah Sungai Raya serta Sungai Raya Kepulauan.
Kecamatan Sungai Raya Kepulauan terletak di pesisir Kabupaten Bengkayang yang terkenal dengan hasil laut. Kecamatan tersebut memiliki pulau yang terkenal yaitu Pulau Lemukutan, Randayan, dan Kabung. Pulau tersebut memiliki keindahan laut yang jernih, ikannya yang sangat melimpah dan masyarakat yang sangat ramah. Pulau Lemukutan dan Pulau Kabung terkenal sebagai pulau penghasil ikan teri yang sangat lezat meskipun dimakan ketika mentah karena terjadi proses pengawetan yang alami. Selain penghasil ikan yang segar Pulau Lemukutan merupakan destinasi wisata yang sangat indah di Kabupaten Bengkayang. Namun sayangnya, belum dikelola dengan baik. Selain kedua pulau tersebut terdapat 1 kampung yang tidak begitu terkenal namun memiliki adat dan pesona tersendiri yaitu Dusun Peresak.
Dusun Peresak terletak di Desa Sungai Raya, Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, lokasi dari pertigaan Teluk Banjar masuk sekitar 2 km. Penduduk asli Dusun Peresak menyebut daerah mereka sebagai “Kampung Melayu Sambas” karena dari segi bahasa sama dengan bahasa Melayu namun terdapat kosakata asli Sambas serta adat istiadat Sambas. Mayoritas masyarakat Dusun Peresak menganut agama Islam yang dikombinasikan dengan adat Sambas. Salah satu adat yang sangat membuat saya takjub adalah ketika ada acara pernikahan maka akan ada acara “srakalan”. Srakalan yaitu bapak-bapak yang bermain alat musik seperti rebana dan terdapat lirik khas Sambas yang sangat asik jika didengar. Bapak-bapak di Dusun Peresak selalu mengadakan srakalan di setiap malam Jum’at selain untuk berlatih ketika terdapat acara pernikahan juga untuk meningkatkan silaturahmi serta melestarikan budaya.
Dusun Peresak adalah kampung yang sangat ramah terutama terhadap pendatang, rasa kekeluargaan masih sangat terjaga antara satu sama lain meskipun rumah penduduk hanya terdapat di tepi jalan dari hulu ke hilir. Hal ini dapat dilihat ketika Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha sangat ramai bahkan sampai 1 minggu lamanya acara silaturahmi datang kerumah-rumah dari hulu ke hilir, yang muda datang ke rumah yang tua. Makanan khas yang akan selalu ada di setiap rumah ketika hari raya adalah kue lapis, bukan lapis legit tapi lapis basah yang rasanya lezat dan tentu saja manis. Pemuda di Dusun Peresak sangat aktif dalam mengadakan berbagai acara misalnya takbir keliling, lomba untuk memperingati Isro’ Mi’roj, siraman rohani saat bulan puasa, pawai 1 Muharram,  kemeriahan memperingati HUT RI, dan masih banyak kegiatan lainnya. (oleh Eva Diah Pamungkas, S.Pd.)


Sunday, April 14, 2019

Soal Logaritma dan Pembahasan



1.        Tentukan/sederhanakan nilai logaritma berikut!






2.     Jika log 2 =0,301 dan log 3 = 0,477   tentukanlah nilai dari:
a. log 9
b. log 12

3.
4. 








Pembahasan :





















2. Jika log 2 =0,301 dan log 3 = 0,477   tentukanlah nilai dari:














3. 
















4. 

Wednesday, April 10, 2019

Senandung Cita Mutiara Bangsa


Indonesia. Ialah sebuah nama yang terpatri dalam jiwa, sebuah nama yang terukir dalam cita, dan sebuah nama yang kan selalu teriring dalam doa. Negara yang teramat kucinta, yang ingin kutapaki setiap sudutnya dengan segenap kemampuan jiwa raga. Itulah mimpiku tentang Indonesia, mengharumkan nama dan membuatnya bangga dengan kemampuan yang kupunya.
            Terlalu besar mimpi dan harapanku untuk Indonesia, hingga suatu ketika aku bertanya-tanya, “Apa yang bisa kuperbuat untuk Indonesia?”. Terlalu besar inginku hingga aku berpikir keras mencari cara bagaimana aku bisa membuat bangsaku menjadi sedikit lebih maju dengan keberadaanku sebagai generasi penerus yang punya tanggung jawab besar terhadap masa depan bangsa. Setidaknya, keberadaanku di dunia ini membawa manfaat untuk negara. Meskipun hanya dengan hal kecil, tapi aku akan berusaha mengupayakannya.
            Guru, ialah salah satu titianku mewujudkan mimpi besarku untuk Indonesia. Mungkin hanya sebatas kata yang terucap apabila terlintas tanya, “Apa cita-citamu?”. Entah siapa yang menuntun, perlahan kata itu kini mulai menjadi cita dan pengharapanku. Sebuah kata yang perlahan ingin aku wujudkan, bukan hanya sebatas mimpi namun kenyataan.
Menjadi guru di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) merupakan sebuah tantangan besar bagiku. Besar bukan berarti berat karena arti kata berat itu tergantung bagaimana kita menjalaninya. Menjadi guru di daerah dengan segala keterbatasan merupakan suatu amanah yang harus dikerjakan dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab. Namun, hatiku selalu tergerak untuk bisa mengemban tugas mulia itu. Karena aku yakin, menjadi guru adalah sebuah tugas sekaligus ibadah. Mengamalkan ilmu yang dimiliki menjadi ilmu yang bermanfaat untuk orang lain merupakan salah satu amalan yang tidak akan terputus. Begitulah kiranya agama mengajarkan, sehingga sedikitpun tak pernah terpatahkan semangatku untuk tetap menjalaninya.
Monterado, ialah sebuah kecamatan di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Dari sini lah kisahku bermula. Tempat di mana aku melakukan perjalanan yang cukup singkat karena hanya dalam waktu satu tahun. Namun, perjalanan singkat ini terisi dengan beragam pengalaman yang tak akan pernah terlupakan sepanjang masa. Perjalanan singkat yang membawa perubahan dalam hidupku terutama pola pikir dan gaya hidup.
Menjadi salah satu pengajar di SMP N 6 Monterado merupakan pengalaman yang tak terbeli dengan harga berapa pun. Dari sini aku mendapat pelajaran hidup yang luar biasa. Mulai dari sekolah masuk sore karena belum adanya gedung, kurangnya tenaga pendidik, dan keterbatasan fasilitas yang mendukung kegiatan pembelajaran. Awalnya aku belum bisa menerima keadaan, akan tetapi seiring berjalannya waktu aku mulai terbiasa bahkan merasa nyaman dengan kondisi yang demikian. Semua itu karena faktor anak didik dan masyarakat di lingkungan tempatku bertugas yang menerima keberadaanku dengan baik.
 Satu hal yang sangat aku kagumi dari anak-anak. Mereka sangat hormat kepada guru. Setiap kali berangkat mengajar atau berpapasan di jalan, anak-anak dan warga masyarakat selalu menyapa, “Selamat pagi, Bu Guru!” atau “Mau kemana, Bu Guru?”. ‘Bu Guru’, itulah panggilan sekaligus tanda penghormatan yang mereka berikan untukku. Sungguh luar biasa gembira aku mendapatkan julukan itu. Namun, masih selalu terngiang pertanyaan dalam benak, “Sudah pantaskah aku mendapat julukan bu guru?” Terasa seperti mimpi saja aku mendapat predikat guru, karena menjadi guru merupakan suatu cita yang baru saja kuawali perjalanannya. Tanda penghormatan itu tentu tak hanya sebatas julukan saja, tapi beriringan dengan beratnya tanggung jawab yang terselip di dalamnya.
Keterbatasan tenaga pengajar merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi sekolah tempatku bertugas. Di sekolah itu hanya terdapat kepala sekolah dan dua guru honorer. Meskipun baru dibuka atau baru tahun pertama dimulai, sekolah tersebut memiliki cukup banyak murid. Keterbatasan tenaga pengajar ini menyebabkan satu guru mendapat tugas mengajar empat mata pelajaran. Di sekolah itu, aku mendapat tugas mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, TIK, dan Agama Islam. Ini merupakan tantangan besar bagiku, harus mengajar tiga mapel yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikanku yaitu pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Dari sini aku dituntut untuk mampu menjalankan tugas yang menjadi tanggung jawabku karena di sini aku tidak hanya mengajar tetapi juga masih harus belajar bidang ilmu lain.
Mengajar bahasa Inggris merupakan satu hal yang sangat luar biasa sekaligus menjadi tantangan besar bagiku. Mereka sama sekali belum pernah mendapatkan pelajaran bahasa Inggris di tingkat pendidikan sebelumnya, sehingga aku harus mengajari mereka dari nol. Ini merupakan tanggung jawab besar namun sekaligus bentuk kebanggaan tersendiri karena menjadi yang pertama mengenalkan pada mereka bahasa Inggris. Terkadang saya merasa kesulitan bahkan hampir putus asa mengajari mereka, namun antusias belajar mereka yang cukup tinggi membuat semangatku bangkit lagi. Rasa bangga itu pun hadir ketika mereka tak lagi belajar bahasa Inggris denganku karena adanya guru pengganti dari mahasiswa PPL sebelum masa tugasku selesai. Dengan bangganya mereka mengatakan padaku, “Bu, kami sudah pandai bahasa Inggris.” Seringkali mereka menyapa dan memberi salam dengan bahasa Inggris. Dalam hati merasa bangga dan bersyukur karena ilmu yang saya berikan selalu mereka ingat dan terapkan dalam kehidupan. Rasa haru pun muncul ketika acara perpisahan, mereka mempersembahkan sebuah lagu bahasa Inggris yang pernah kuajarkan kepada mereka.
Satu hal lagi yang membuat hatiku tersentuh. Dua anak yang merupakan kakak beradik tidak masuk sekolah ketika awal tahun ajaran baru dimulai. Bahkan kepala sekolah pun membujuk mereka untuk tetap masuk sekolah dengan dalih akan dicarikan bantuan asalkan tetap masuk sekolah. Hingga akhirnya mereka pun bersedia masuk sekolah. Ketika pelajaran, mereka kutanya perihal alasan tidak masuk sekolah. Dengan polosnya mereka menjawab, “Saya ikut kerja dompeng, Bu. Saya tidak punya sepatu.” Hatiku terpukul mendengar jawaban anak itu. Sungguh kerasnya kehidupan mereka, hingga untuk memenuhi kebutuhan sekolah saja mereka harus berusaha dengan jerih payah sendiri.
Perlu diketahui, daerah di mana aku bertugas terkenal dengan kawasan penghasil tambang emas. Dahulu, daerah ini sangat ramai karena banyaknya tambang emas di kawasan tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu barang tambang itu mulai menurun dan kini yang ada hanyalah sisa-sisa belaka. Tak sedikit anak yang ikut kerja mendulang emas setelah pulang sekolah, bahkan sampai tidak masuk sekolah. Tak hanya itu, ada juga anak yang sering terlambat sekolah dengan alasan bangun kesiangan karena harus kerja noreh getah pohon karet pada malam harinya. Bagian yang perlu digarisbawahi adalah semangat mereka yang besar untuk tetap ikut sekolah meskipun harus melawan keterbatasan.
Masih banyak lagi cerita yang mungkin takkan pernah cukup tertuang hanya dalam lembaran kertas saja. Aku dan anak-anak tak ubahnya sebuah hukum alam, ialah simbiosis. Mereka belajar dariku, aku pun belajar dari mereka. Aku benar-benar merasakan “Bhineka Tunggal Ika” dalam realita, bukan hanya sebatas kata yang tertulis dalam pita di bawah cengkeraman burung garuda. Aku merasakan hangatnya berada di tengah-tengah perbedaan. Kini, kata “menghargai” bukan lagi sebatas teori, tapi benar-benar kualami lewat eksistensi diri. Tentang bagaimana caraku bertahan menjadi “minoritas”, belajar melebur diri di tengah perbedaan dengan tetap berpegang pada prinsip hidup dan agama.
Anak-anak adalah semangat dan bahagiaku. Canda dan tawa mereka adalah obat penawar rindu akan sanak saudaraku di luar sana. Kesedihan mereka adalah air mata dukaku. Tak hentinya aku kobarkan semangat kepada mereka untuk tetap menjadi orang hebat. Menjadi bagian penting dalam putaran roda kehidupan negara ini. Kisah hidup dan perjuanganmu adalah syair senandung cita yang kelak akan kalian persembahkan untuk ibu pertiwi. Jadilah mutiara-mutiara penghias persada. Kebanggaan ibu pertiwi ada di tangan kalian.(oleh Rahma Nur Fitriana, S.Pd. )

Thursday, April 4, 2019

Guru Muda Perbatasan


Pemuda adalah salah satu tumpuan dan harapan bangsa. Masa muda adalah masa terbaik dalam hidup seseorang. Masa di mana seseorang memiliki semangat yang membara disertai fisik dan pikiran yang sanggup menyamainya. Presiden RI pertama pernah berkata, “beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada tanah air dan aku akan mengguncang dunia”. Kalimat singkat Bung Karno yang disampaikannya dengan berapi-api inilah yang senantiasa mengingatkan kita bahwa masa depan bangsa dan negara Indonesia terletak di tangan generasi muda, maka dari itu penulis tidak menyia-nyiakan masa muda. Menanamkan dalam diri bahwa dikehidupan yang sekali, haruslah berarti dan dapat berguna bagi kemajuan negeri.
Menjadi guru memanglah cita-cita penulis sejak kecil. Lahir dan dibesarkan dalam keluarga ataupun lingkungan pendidik yang berada di perumahan guru Miliran Yogyakarta. Penulis merajut angan dan cita-cita untuk menjadi seorang guru suatu saat nanti. Setelah lulus SMK, penulis memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta dan mengambil jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Sebuah kampus yang didirikan oleh bapak pendidikan Indonesia yaitu Ki Hadjar Dewantara.
Kecintaan terhadap keanekaragaman di negeri ini, mulai dari keberagaman bahasa, budaya, suku, dan masih banyak keberagaman lainnya, membuat penulis ingin menjadi guru yang dapat berkelana sembari menebarkan ilmu kepada semua orang terkhusus di daerah yang dapat dikatakan sebagai daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) yaitu di sudut-sudut negeri ini. Alhamdulillah Tuhan mendengar doa dan keinginan yang telah lama di panjatkan. Rasa bahagia menyelimuti perasaan saat mengetahui bahwa penulis lolos menjadi guru SM-3T angkatan ke VI dari LPTK UNY tahun 2016. Keinginan yang telah lama diimpikan sejak duduk di bangku perkuliahan, tepatnya ketika berada di semester enam.
Desa Tangguh merupakan sebuah desa tempat penulis di tugaskan. Desa yang berada di Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat ini  termasuk dalam kategori daerah 3T. Sebuah desa yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia. Dibutuhkan waktu 4 jam untuk menempuh jarak dari ibukota kabupaten menuju daerah penugasan. Ekstrimnya medan menuju daerah penugasan yang merupakan perbatasan Indonesia-Malaysia serta jauhnya Desa Tangguh dari kota menjadikan daerah ini bisa dikatakan pelosok sehingga listrik belum tersedia. Sembako mahal dan sebagian besar makanan di banjiri oleh produk Malaysia. Mayoritas pemuda-pemudi yang berusia belasan hingga dua puluhan desa ini meningalkan bangku sekolah dan memilih untuk menjadi TKI di Malaysia. Karena cukup mudah untuk mereka mendapatkan uang dengan berbagai macam pekerjaan kasar.
Desa Tangguh yang luasnya sekitar 5157ha ini dihuni sekitar 600 jiwa penduduk. Mayoritas penduduknya adalah Suku Dayak Bidayuh yang beragama Kristen dan Katholik. Salah satu hal positif yang perlu dicontoh dari hal-hal positif lainya yaitu tentang arti dari Bhinneka Tunggal Ika. Masyarakat Suku Dayak Bidayuh sangat menjunjung tinggi dan menerapkan prinsip tersebut. Sikap saling menghargai yang diterapkan oleh masyarakat membuat keberagaman di sudut Bumi Sebalo ini bukanlah menjadi perbedaan yang bertentangan. Justru dengan keberagaman tersebut dapat melebur menjadi satu kesatuan yang selaras sehingga memperkaya dan memperindah negeri tercinta Indonesia.
SD Negeri 06 Lawang menjadi tempat penulis mengabdikan diri sebagai guru SM-3T. Sekolah yang berdiri di antara bukit-bukit perbatasan memiliki 86 siswa dengan pengajar berjumlah 3 guru PNS dan dibantu 2 guru honor. Sekolah ini memiliki 6 ruang kelas, 4 kamar mandi, dan 1 rumah guru. Berbicara tentang siswa-siswa SD Negeri 06 Lawang, mereka selalu memberikan kesan mendalam bagi hidup penulis. Walaupun mereka berada di perbatasan dengan terbatasnya sarana dan prasarana sekolah ataupun terbatasnya akses jalan menuju sekolah yang jarak tempuhnya sekitar 3 jam berjalan kaki menuju sekolah dengan menuruni bukit. Akan tetapi, hal tersebut tidaklah menyurutkan semangat serta menjadi penghambat siswa-siswi untuk menuntut ilmu. Dengan semangat merekalah yang menjadikan salah satu suntikan semangat bagi penulis menjadi guru di Pulau Borneo ini.
Sebagai seorang guru di sekolah yang berbatasan langsung dengan Malaysia tentu menjadi tantangan yang berbeda dan tentunya berat dibandingkan dengan guru lainnya yang berada di Pulau Jawa misalnya. Seorang guru di tapal batas haruslah senantiasa dan selalu mengajarkan semangat nasionalisme serta menanamkan jiwa patriotisme kepada siswa yang berada di garda terdepan negeri ini. Untuk senantiasa memupuk rasa cinta, rasa bangga dan rasa untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena keutuhan dan masa depan negeri berada di tangan murid-murid perbatasan.(oleh Rahmat Hidayat, S.Pd. )


Merdeka Belajar

 Merdeka Belajar Kebebasan setiap individu atas hak-haknya tanpa melanggar atau mengambil hak kebebasan individu lain-Ki HadjarDewantara Leb...