Sunday, March 31, 2019

Warisan Adat Gawai Dayak


Mengenal Sepintas Warisan Adat Gawai Dayak

Di Desa Sekaruh Kecamatan Teriak Kalimantan Barat


Tidak semua lulusan sarjana pendidikan ingin mengikuti program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Teluar, dan Tertinggal) dengan berbagai alasan, seperti alasan lebih baik mencari kerja di daerah sendiri, tidak bisa jauh dari orang tua, takut tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga, takut bila ditempatkan di daerah yang jauh dari kota dan masih banyak lagi alasan-alasan yang lainnya. Tetapi mengikuti program ini merupakan keinginan penulis dari awal program SM-3T ini diselenggaakan. Melalui progam SM-3T ini selain menambah wawasan serta pengalaman dalam mengajar peserta didik di daerah 3T juga menambah pengetahuan tentang adat masyarakat sekitar di daerah tersebut.
Pada tahun 2017 ini penulis mendapatkan daerah penempatan di Desa Sekaruh, Kecamatan Teriak, Kabupaten Bengkayangan, Kalimantan Barat yang mayoritas penduduknya merupakan suku Dayak. Berdasakan sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk suku Dayak 49.91%, suku Melayu sebesar 16.50%, suku Jawa sebesar 8.66% dan suku Tionghoa 8.17%. Suku Dayak merupakan suku di daerah pedalaman Kalimantan Barat.
Di sini penulis akan menceritakan sepenggal pengalaman selama menjalani rangkaian SM3T di Desa Sekaruh, Kecamatan Teriak, Kabupaten Bengkayangan, Kalimantan Barat yaitu salah satunya tradisi Gawai Dayak yang biasa disebut dengan upacara Tahun Baru Padi. Tradisi Gawai Dayak ini merupakan tradisi turun-temurun yang diwarisi dari nenek moyang pendahulu suku Dayak asli dari Provinsi Kalimantan Barat. Upacara adat Gawai Dayak atau upacara Tahun Baru Padi ini, merupakan upacara adat yang dimaksudkan  sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan berkah dengan hasil panen melimpah yang didapat oleh para petani. Perayaan adat ini memiliki tujuan yang sama di setiap daerah, namun dalam pelaksanaannya setiap desa berbeda-beda tergantung pada kepala adat masing-masing desa. Perayaan ini dilaksanakan setiap awal bulan Januari sampai bulan Juli tiap tahunnya.
 Dalam perayaan Gawai Dayak atau tahun baru padi ini masyarakat akan berkunjung dari rumah kerumah seperti pada saat hari raya Idul Fitri umat muslim. Perayaan ini akan diawali dengan memanjatkan doa kepada sang pencipta melalui doa bersama tiap-tiap anggota keluarga di setiap rumah dan kemudian dilanjutkan dengan acara silaturahmi ke rumah kerabat, tetangga ataupun handai taulan. Ciri khas dari upacara adat ini ditandai dengan salah satu kebiasaan dari masyarakat sekitar yaitu dengan cara para tamu-tamu mereka akan disuguhkan beberapa makan khas Suku Dayak yaitu salah satunya Lemang. Lemang merupakan makanan yang dibuat dari beras ketan yang dimasukkan kedalam bambu dengan ditambah santan. Selanjutnya bambu dibakar di atas bara api untuk memasaknya. Memasak lemang membutuhkan waktu yang cukup panjang sekitar 1 jam karena tidak boleh dengan api yang besar agar bambu tidak terbakar dan beras ketan bisa masak dengan merata. Makanan yang disuguhkan berasal dari hasil panen yang diperoleh para petani.
Setelah berkunjung masyarakat akan diberikan beberapa dari hasil panen tuan rumah selain itu juga diberi lemang untuk dibawa pulang ke rumah. Masyarakat akan saling bertukar hasil panan dengan kerabat atau tamu mereka saat mereka mendatangi rumah kerabat mereka yang lain. Hal ini dimaksudkan akan menambah kerukuanan dari masyarakat Dayak pada khususnya dan masyarakat luas yang berada di daerah itu. Selain itu upacara Gawai Dayak atau upacara Tahun Baru Padi ini turun temurun dilaksanakan tiap tahunnya agar tradisi warisan dari leluhur mereka tetap dikenal oleh anak cucu dan tidak akan pernah punah seiring masuknya arus modernisasi yang mulai menggerogoti warisan adat budaya di Indonesia.(Nuraini Yuniati, S.Pd)

Tuesday, March 26, 2019

Suti Semarang dalam Kenangan


Mendidik merupakan profesi mulia yang kelak di akhirat mendapatkan limpahan pahala
yang tiada tara. Begitulah ungkapan yang bisa diambil dari arti sebuah kata mendidik. Seperti yang tertuang dalam salah satu ayat dalam Al Quran bahwa “tidak akan putus amal jariah seseorang setelah meninggal kecuali tiga perkara, yaitu doa anak sholeh dan sholehah, sedekah jariyah serta yang terakhir adalah ilmu yang bermanfaat”. Sudah jelas bahwa Allah telah menjanjikan pahala yang berlimpah apabila kita menyampaikan ilmu yang bermanfaat. Memilih profesi sebagai pendidik merupakan pilihan yang tidak hanya mengantarkan kita pada profesi dunia melainkan juga profesi akhirat. Berlatarbelakang hal itulah yang membuat saya tergerak untuk memilih profesi sebagai guru.
Guru bukan hanya sekedar menyampaikan ilmu, tapi dari gurulah karakter bangsa ini dapat dibangun. Guru yang hebat adalah guru yang dapat menyampaikan materi dan guru yang dapat mendidik peserta didiknya dengan hati ikhlas, sehingga terbentuklah anak-anak bangsa yang cinta akan tanah airnya. Menjadi guru yang hebat bukan perkara mudah, butuh pengorbanan, keikhlasan dan pengabdian yang tidak memandang di mana kita mendidik. Bukan berkeinginan menjadi seorang guru yang hebat, tetapi mendapatkan pengalaman baru. Itulah alasan pertama yang ada dalam benak saya saat memutuskan mengikuti program     SM-3T. Pengalaman yang kelak akan menjadi bekal saya untuk mencintai profesi ini. Profesi yang bisa saya tekuni bukan hanya sekedar untuk diri saya pribadi tapi untuk banyak orang.
Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal atau yang sering disebut     SM-3T merupakan program dari pemerintah, dimana para sarjana pendidikan dikirim keseluruh pelosok negeri untuk mencukupi keterbatasan guru selama 1 tahun. Awal mulanya tidak terpikir dalam diri saya mengikuti program ini. Hingga pada suatu ketika terlintas dalam pikiran saya apabila saya ingin menjadi seorang pendidik saya ingin mengabdikan diri saya untuk anak-anak di pelosok negeri ini. Hal itulah yang melatarbelakangi diri saya mengikuti program ini. Melalui program ini saya tahu bahwa negeri ini luas tetapi ketimpangan di negeri ini juga nyata adanya, terutama didunia pendidikan.
Ditempatkan disalahsatu kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat, yaitu Kabupaten Bengkayang memberi pengalaman berharga bagi diri saya pribadi. Kabupaten Bengkayang merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Sambas sejak tahun 1999. Kabupaten baru yang mempunyai potensi alam melimpah, seperti emas, karet, sawit dan lada. Kabupaten yang terbagi menjadi 17 kecamatan dan kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara tetangga yaitu Malaysia. Bengkayang memberi cerita tersendiri bagi diri saya selama satu tahun ini. Pengalaman selama 1 tahun di Bengkayang tidak hanya memberi cerita ketika mengabdi sebagai seorang guru, melainkan banyak pengalaman lain yang saya dapatkan.
Pengalaman-pengalaman ini saya dapatkan ketika saya ditempatkan di Kecamatan Suti Semarang, Kabupaten Bengkayang. Kecamatan Suti Semarang merupakan kecamatan pemekaran dari Kecamatan Ledo. Kecamatan yang masuk zona terpencil setelah Kecamatan Siding, karena akses jalan menuju Kecamatan Suti Semarang sangatlah sulit. Akses menuju kecamatan ini sebenarnya dapat dilalui dengan dua jalur, yaitu melalui jalur darat dan jalur air. Jalur darat menjadi alternatif baik apabila hari tidak hujan, sedangkan saat hujan akan lebih baik melewati jalur air atau sungai saja.
Kecamatan Suti Semarang sebenarnya kecamatan yang mempunyai penghasilan tinggi, karena rata-rata penduduknya bermata pencaharian sebagai petani sahang (lada) dan mereka juga noreh (menyadap getah karet). Jadi bisa dibayangkan saja berapa banyak penghasilan yang didapat ketika panen tiba, jika satu kilogram sahang saja terkadang harga jualnya antara Rp 60.000,- sampai Rp 170.000,-. Sedangkan untuk satu kilogram karet yang sudah siap dijual perkiraan harga jualnya antara Rp 7.000,- sampai Rp 10.000,-. Masyarakat kecamatan Suti Semarang sebenarnya tidak bisa dikatakan ketertinggalan dalam perkembangan zaman, karena rata-rata mereka juga mengikuti perkembangan zaman.
Hal yang sulit selama tinggal di Kecamatan Suti Semarang, sebenarnya akses jalan yang benar-benar sulit dilalui apabila hari hujan. Jalan tanah yang naik turun diserati lumpur, membuat jalan begitu licin dan tak jarang kami harus jatuh dari motor berkali-kali. Selain akses jalan yang sulit, kami yang tinggal di Kecamatan Suti Semarang harus merasakan listrik 12 jam saja. Bahkan tidak semua desa bisa merasakan listrik di kecamatan ini, hanya ada empat desa saja yang dapat merasakan listrik. Sedangkan desa-desa lain di kecamatan ini belum mampu menggunakan listrik, mereka masih mengunakan genset untuk menerangi rumah mereka. Keterbatasan aliran listrik di kecamatan ini, tidak lain dan tidak bukan karena listrik yang digunakan hanya memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Disel (PLTD). PLTD ini belum mampu mengaliri listrik secara merata di Kecamatan Suti Semarang.
Di tengah keterbatasan yang ada ditempat penugasan, setidaknya kami atau lebih tepatnya saya masih sangat bersyukur. Setidaknya saya masih bisa merasakan aliran listrik, walau hanya 12 jam saja. Alhamdulilah saya juga tidak kesulitan untuk mendapatkan signal telepon, sehingga kesulitan-kesulitan yang saya hadapi di daerah penugasan masih bisa saya bagi dengan orang-orang terdekat saya. Di tengah keberuntungan tersebut pastinya ada rintangan lain yang mengiringi pengabdian saya di Bumi Sebalo, ketika aliran air sedang tidak bersahabat dengan kami maka tidak jarang saya harus mandi ataupun melakukan aktifitas mencuci di sungai. Hal itu bukanlah rintangan yang harus dihindari melainkan harus dihadapi dengan perasaan bahagia, karena setidaknya dengan berbagai pengalaman ini membuat saya menjadi lebih bersyukur.
Ditempatkan di Kecamatan Suti Semarang memberi pengalaman luar biasa bagi diri saya pribadi. Mengabdi di tempat yang bisa dikatakan terpencil memberi saya banyak pelajaran, tapi satu hal yang pasti semua itu dapat dilalui hanya dengan satu kata yaitu bersyukur. Bersyukur ditempatkan di Kecamatan Suti Semarang, bersyukur bertemu dengan masyarakat lokal yang ramah dan bersyukur dapat mendidik anak-anak Kecamatan Suti Semarang walau hanya satu tahun.
Berbicara anak-anak Suti Semarang, maka kita juga akan berbicara tentang pendidikan mereka. Kecamatan Suti Semarang memiliki beberapa Sekolah Dasar, 3 Sekolah Menengah Pertama dan 1 Sekolah Menengah Atas. Saya mendapat kesempatan mendidik anak-anak di SMA N 1 Suti Semarang. Anak-anak ini rata-rata berasal dari Kecamatan Suti Semarang, tetapi ada beberapa dari mereka yang berasal dari Kabupaten Landak. Sebenarnya Kecamatan Suti Semarang, merupakan kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Landak, sehingga beberapa orang siswa di SMA N 1 Suti Semarang adalah anak-anak dari Landak. Tak jarang dari mereka harus berjalan berkilo-kilo untuk sampai ke sekolah, mereka berangkat dari rumah pukul 05.00 dan sampai disekolah pukul 07.30. Perjuangan anak-anak ini untuk pergi kesekolah tidaklah mudah, karena mereka harus melewati jalan yang benar-benar rusak. Selepas sekolah mereka juga harus bekerja, karena rata-rata dari mereka membiayai sekolah mereka sendiri.
Semangat belajar yang ditunjukkan oleh anak-anak ini begitu luar biasa, tidak jarang dari mereka yang tidak berangkat satu hari hanya untuk mencari uang. Uang itu mereka gunakan untuk membayar kebutuhan sekolah yang mereka perlukan. Keterbatasan fasilitas sekolah juga menjadi beban tersendiri bagi mereka. Akan tetapi, di tengah keterbatasan itu tidak menyurutkan semangat belajar mereka. Jika hari hujan atau jalan becek mereka masih tetap berusaha berangkat sekolah, meskipun saat berangkat mereka menggunakan baju biasa dan ketika sampai di sekolah mereka kemudian ganti baju seragam sekolah. Menyampaikan ilmu kepada mereka membutuhkan kesabaran dan ketulusan, karena mereka bukanlah anak-anak kota yang siap menerima pelajaran dengan begitu banyaknya materi. Materi-materi yang disampaikan kepada mereka harus sedikit demi sedikit, hal ini dikarenakan adanya keterbatasan fasilitas dan daya tangkap mereka yang terbatas. Adanya keterbatasan dari mereka, memberi energi tersendiri bagi kami bahwa mereka butuh bimbingan dan betapa bahagianya bagi kami bisa membimbing mereka. Walaupun kami terutama saya belum bisa dikatakan pendidik bagi mereka, tapi setidaknya saya dapat memberikan ilmu yang saya miliki untuk mereka. Mereka gunakan ataupun tidak, namun setidaknya dari ilmu-ilmu yang kami sampaikan kepada mereka memberi gambaran pada mereka bahwa negeri ini butuh mereka. 
Satu tahun berada di tempat ini memberikan saya banyak pengalaman yang sulit diungkapkan. Merasa beruntung ditugaskan di sini dan bertemu dengan orang-orang hebat yang mampu bertahan dalam kondisi sesulit itu. Bahkan dengan canda tawa, mereka mengajak kami untuk mencari sayur di hutan, belajar bersama dan bermain ke sungai. Tidak jarang mereka mengajak kami untuk nyantuk durian (menunggu durian jatuh) ketika musim durian tiba. Ketika tidak ada lauk untuk makan, tidak jarang kami pergi ke sungai untuk memancing dan mencari tengkuyung (hewan sungai yang enak dimakan). Makanan-makanan yang kami konsumsi rata-rata mencari dan bukan beli. Itulah yang membuat kami merasakan bahwa sebenarnya alam ini telah menyediakan sumber makanan bagi manusianya, tinggal bagaimana manusia itu mau berusaha atau tidak. Pengalaman-pengalaman yang mereka bagi kepada kami merupakan pengalaman yang sulit kami dapatkan. Suti Semarang bukan hanya sebuah kecamatan, tapi Suti Semarang adalah kenangan indah bagi saya.
Suti Semarang memang kecamatan terpencil di Kabupaten Bengkayang, tetapi dari Suti Semarang saya belajar arti bersyukur, menghargai, mandiri, kesabaran, keikhlasan serta ketulusan. Lewat Suti Semaranglah saya akan belajar menghargai profesi ini, bahkan mencintai profesi ini. Sejatinya profesi yang paling mulia di dunia ini adalah profesi sebagai pendidik atau yang sering disebut guru. Semua profesi yang ada di dunia ini tidak akan lepas dari bimbingan seorang guru. Gurulah yang pertama kali mengenalkan kita akan huruf-huruf abjad diwaktu Taman Kanak-Kanak, dan gurulah yang menjadikan seorang dokter mendapatkan gelar dokter. Di Kecamatan Suti Semarang saya belajar arti sebuah ketulusan seorang guru kepada muridnya, dan kasih sayang seorang murid kepada gurunya.(oleh Nur Aini Hanifatun, S.Pd.)

Wednesday, March 20, 2019

Cerita dari Capkala


Capkala merupakan salah satu nama kecamatan di Kabupeten Bengkayang. Capkala terdiri atas enam desa. Akses jalan menuju kecamatan ini bisa dikatakan mudah meskipun kadang ada beberapa jalan yang kondisinya rusak, sedangkan jalan menuju desa-desa di kecamtan ini bervariasi, ada yang jalannya bagus mulus dan ada yang rusak. Berbicara tentang Capkala, kita akan terpesona akan hasil alam yang melimpah, air yang jernih, dan pemandangan bukit serta sawah di sekitanya. Di sini warga-warga Capkala sebagian besar adalah petani karet, kelapa sawit dan padi gunung.
Warga Capkala terdiri atas berbagai ras yang hidup saling berdampingan dari Dayak, Melayu, Cina, Jawa dan lain-lain. Perbedaaan yang menjadikan Capkala semakin indah. Pendidikan di desa ini bisa dikatakan mulai maju. Meskipun tidak termasuk daerah 3T akan tetapi menjadi seorang pengajar di daerah ini tidak semudah dibayangkan. Sebagai pengajar muda kita punya banyak kekuarangan untuk menjadi yang terbaik di mata anak-anak. Awal berada di sana anak-anak begitu antusias melihat kami. Ini merupakan suatu kebanggan bagi kami yang ditempatkan di sana. Kekurangan pengajar sudah menjadi rahasia umum di daerah-daerah Kalimantan apalagi daerah pedalaman. Meskipun tidak terlalu pedalaman sekolah-sekolah di Capkala masih banyak kekurangan guru pengajar.
Sebagai seorang pengajar banyak tantangan yang kita terima setiap harinya, baik di sekolah maupun luar sekolah. Budaya yang berbeda membuat kita harus bisa melebur dan beradaptasi dengan cepat. Contohnya saja, meskipun sudah duduk di bangku menengah atas, siswa-siswi di sini kurang sadar akan pentingnya pendidikan. Motivasi untuk bangkit muncul di akhir atau menjelang kelulusan. Mereka mempunyai cita-cita setelah menginjak kelas tiga atau dua belas. Hal ini sangat disayangkan karena bagi seorang pendidik penting sekali anak-anak memiliki harapan serta keinginan mewujudkan cita-cita sejak awal untuk menyiapkan bekal mereka dijenjang selanjutnya.
 Namun semangat mereka kadang membuat kami terharu. Ketika dipagi hari sekolah hujan tidak menyurutkan mereka untuk datang ke sekolah meskipun dengan kondisi basah, baju kotor dan kendaraan mogok di jalan. Banyak murid yang berjalan kaki untuk datang ke sekolah. Semangat ke sekolah inilah yang patut diancungi jempol karena itu tidak kita temukan di pulau Jawa yang fasilitas sudah lengkap. Serta semangat mereka bekerja membantu orang tua di kebun. Sungguh ibu banggga pada kalian anak-anak SMA Negeri 1 Capkala.(oleh Sella Prasanti, S.Pd.)

Sunday, March 10, 2019

Pengalamanku Mengabdi di Daerah 3T


Tidak terasa satu tahun berlalu dengan begitu cepatnya. Kalimantan. Ya, di sanalah saya menghabiskan masa pengabdian selama satu tahun itu. Kalimantan yang kata orang menakutkan, dikarenakan dulunya orang Kalimantan pernah memakan manusia. Namun, dengan adanya cibiran dari orang tersebut tidak menyurutkan hati ini untuk mengabdikan diri di daerah itu.
            SD Negeri 02 Abah merupakan tempat pengabdian saya. Suka dan duka dirasakan di sana. Suka ketika bisa memberikan ilmu kepada anak-anak di daerah pedalaman dan bisa mengetahui adat istiadat masyarakat setempat. Duka, ketika saya harus jauh dari keluarga dan harus tetap bersabar dalam menghadapi cobaan hari demi hari.
Banyak pengalaman hidup yang diperoleh dari Tanah Borneo ini, baik dari sisi siswa itu sendiri maupun masyarakat setempat. Menempuh waktu 5-10 menit menuju sekolah itu sudah biasa. Tetapi, pernahkan Anda membayangkan jika ada sekolompok anak-anak sekolah khususnya anak Sekolah Dasar (SD) berjalan dari rumah ke sekolah dengan menempuh waktu 2 jam? Hanya di pedalaman Kalimantan inilah hal ini terjadi. Akses jalan di daerah pedalaman Kalimantan belum memadai. Jalan penghubung antara satu desa ke desa lain masih berupa tanah liat. Jadi, bisa dibayangkan seandainya musim hujan tiba maka jalanan menjadi licin. Kepanasan, kedinginan, kehausan dan kelaparan sudah biasa mereka rasakan selama di perjalanan. Namun hal ini tidak mematahkan semangat mereka untuk bersekolah demi meraih kesuksesan di kemudian hari.


            Hidup di tanah Jawa bagaikan hidup di surga. Mengapa tidak, Pulau Jawa dengan segala fasilitas yang memadai, salah satunya yaitu mengenai penerangan/listrik. Ya, listrik inilah sesuatu yang sangat mereka rindukan keberadaannya di tengah-tengah kehidupan mereka. Indonesia merdeka sudah 72 tahun. Namun, masih kita jumpai di daerah pedalaman seperti ini belum terjangkau listrik. Mereka adalah Warga Negara Indonesia (WNI). Mereka tentunya mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan apa yang sebenarnya mereka dapatkan. Antusias belajar siswa-siswi SD Negeri 02 Abah sangat tinggi. Pagi bersekolah, malam harinya mereka gunakan untuk belajar. Setiap malam mereka datang ke rumah saya dan kebetulan tempat tinggal saya berada di sekolah, maka mereka diizinkan belajar di rumah saya. Dengan bekal pelita dan senter seadanya, kegiatan belajarpun dapat berjalan dengan lancar.
            Sebagian besar masyarakat setempat bermatapencaharian sebagai petani. Sama seperti petani lainnya, merekapun menanam padi dan sayur mayur. Tanah Kalimantan yang sangat luas dan subur mendorong mereka untuk berkebun dan berladang. Hasil perkebunan yang sangat menjanjikan yaitu sahang/merica. Harga jual, pada bulan Juli 2017 mencapai Rp 75.000/kg. Bahkan di tahun sebelumnya, sahang bisa mencapai 150.000/kg. Karena kondisi masyarakat sebagai petani inilah membuat kampung menjadi sepi. Mereka pergi ke ladang pukul 07.00 dan pulang pukul 16.00. Sehingga tidak heran apabila setelah pulang sekolah, anak-anak disuruh kerja rumah, seperti mencuci piring, mencuci baju, mengambil air, mengasuh adiknya, menyapu, dan mengepel lantai untuk membantu meringankan pekerjaan orang tuanya. Namun, mereka tidak mengeluh dan menyerah dalam menerima tugas dari orang tua mereka.
            Peristiwa demi peristiwa membuatku semakin dewasa. Betapa berat dan susah hidup di daerah pedalaman dengan segala keterbatasan, baik listrik, signal maupun air. Terima kasih murid-murid, berkat kalian ibu diajarkan arti perjuangan dan bersabar. Ibu yakin suatu saat nanti kalian pasti bisa meraih kesuksesan.
            Mengabdi di daerah pedalaman dengan berbagai macam perbedaan merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi saya. Mulai dari perbedaan agama, suku, maupun bahasa. Sebagian besar masyarakat menganut agama Kristen, bersuku Dayak, dan menggunakan bahasa Dayak Bakati. Mengabdi di lingkungan yang berbeda inilah salah satu pengalaman sekali dalam seumur hidup dan tidak semua orang bisa merasakan pengalaman langka ini.
            Sampai saat ini, masyarakat setempat masih menjunjung tinggi adat istiadat. Pernah suatu ketika saya diundang oleh masyarakat untuk merayakan acara Tahun Baru Padi. Tahun Baru Padi merupakan sebuah acara sebagai wujud rasa syukur masyarakat Dayak atas hasil panen padi. Jadi, tuan rumah yang panen tersebut menyuguhkan berbagai macam olahan hasil panen, seperti lemang (makanan berbahan dasar beras ketan), kue kembang goyang (berbahan dasar tepung terigu), doko-doko, dan lain-lain. Uniknya, tuan rumah memberikan oleh-oleh kepada setiap tamu yang datang ke rumahnya berupa beras kampung. Hal ini bertujuan agar tamu sama-sama merasakan beras kampung hasil panennya. Dan hal ini juga menghindari kata “kemponan”. Kemponan merupakan istilah dari suku Dayak yang berarti keinginan. Apabila seseorang merasa kemponan tetapi tidak terwujud, niscaya orang itu sendiri akan mendapatkan celaka. Lain daerah, lain juga adat dan kebiasaannya. Kita sadari bahwa di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Ya, artinya bahwa kita harus bisa menerima dan menghargainya.
            Perbedaan yang ada di Indonesia jangan dijadikan sebagai memecah belah Indonesia, tetapi jadikanlah perbedaan ini sebagai alat untuk mempersatukan Indonesia. Karena Indonesia tanpa perbedaan bagaikan sayur tanpa garam, hambar rasanya. Perbedaan yang sangat mencolok yaitu ketika masyarakat mengadakan acara pesta, baik pesta khitanan, pernikahan, maupun syukuran. Pesta di sini artinya hajatan. Pernah waktu itu saya diundang oleh masyarakat untuk menghadiri acara pesta khitanan. Uniknya untuk masyarakat Dayak itu sendiri, acara pesta khitanan ini bisa dirayakan sebelum anak itu dikhitan. Jadi, selama pesta belangsung, tuan rumah mengundang masyarakat di desanya untuk makan sebanyak 3 x sehari, yaitu pagi, siang dan sore. Hal ini berlangsung kurang lebih sampai 2 hari berturut-turut. Satu lagi yang unik dari setiap acara pesta dari suku Dayak ialah tuan rumah menyediakan “Gador”. Gador merupakan daging babi yang dipotong kecil-kecil dan dibagikan kepada para tamu undangan. Barang siapa yang menyumbangkan uang paling besar, maka dia akan mendapatkan Gador I, berupa kepala babi.
            Bersyukur saya bisa mengetahui dan mengenal adat istiadat dari berbagai macam suku yang ada di Indonesia. Saya sangat bangga bisa mengikuti program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) dari Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Terima kasih Kemendikbud, sudah mempercayakan saya untuk mencerdaskan anak Indonesia, khususnya di pelosok negeri.(oleh Suprihatin, S.Pd.)


Merdeka Belajar

 Merdeka Belajar Kebebasan setiap individu atas hak-haknya tanpa melanggar atau mengambil hak kebebasan individu lain-Ki HadjarDewantara Leb...