Tidak terasa satu tahun berlalu
dengan begitu cepatnya. Kalimantan. Ya, di sanalah saya menghabiskan masa
pengabdian selama satu tahun itu. Kalimantan yang kata orang menakutkan,
dikarenakan dulunya orang Kalimantan pernah memakan manusia. Namun, dengan
adanya cibiran dari orang tersebut tidak menyurutkan hati ini untuk mengabdikan
diri di daerah itu.
SD Negeri 02 Abah merupakan tempat pengabdian saya. Suka
dan duka dirasakan di sana. Suka ketika bisa memberikan ilmu kepada anak-anak
di daerah pedalaman dan bisa mengetahui adat istiadat masyarakat setempat.
Duka, ketika saya harus jauh dari keluarga dan harus tetap bersabar dalam
menghadapi cobaan hari demi hari.
Banyak pengalaman
hidup yang diperoleh dari Tanah Borneo ini, baik dari sisi siswa itu sendiri
maupun masyarakat setempat. Menempuh waktu 5-10 menit menuju sekolah itu sudah
biasa. Tetapi, pernahkan Anda membayangkan jika ada sekolompok anak-anak sekolah
khususnya anak Sekolah Dasar (SD) berjalan dari rumah ke sekolah dengan
menempuh waktu 2 jam? Hanya di pedalaman Kalimantan inilah hal ini terjadi.
Akses jalan di daerah pedalaman Kalimantan belum memadai. Jalan penghubung
antara satu desa ke desa lain masih berupa tanah liat. Jadi, bisa dibayangkan
seandainya musim hujan tiba maka jalanan menjadi licin. Kepanasan, kedinginan,
kehausan dan kelaparan sudah biasa mereka rasakan selama di perjalanan. Namun
hal ini tidak mematahkan semangat mereka untuk bersekolah demi meraih
kesuksesan di kemudian hari.

Sebagian besar masyarakat setempat bermatapencaharian
sebagai petani. Sama seperti petani lainnya, merekapun menanam padi dan sayur
mayur. Tanah Kalimantan yang sangat luas dan subur mendorong mereka untuk
berkebun dan berladang. Hasil perkebunan yang sangat menjanjikan yaitu
sahang/merica. Harga jual, pada bulan Juli 2017 mencapai Rp 75.000/kg. Bahkan
di tahun sebelumnya, sahang bisa mencapai 150.000/kg. Karena kondisi masyarakat
sebagai petani inilah membuat kampung menjadi sepi. Mereka pergi ke ladang
pukul 07.00 dan pulang pukul 16.00. Sehingga tidak heran apabila setelah pulang
sekolah, anak-anak disuruh kerja rumah, seperti mencuci piring, mencuci baju,
mengambil air, mengasuh adiknya, menyapu, dan mengepel lantai untuk membantu
meringankan pekerjaan orang tuanya. Namun, mereka tidak mengeluh dan menyerah
dalam menerima tugas dari orang tua mereka.
Peristiwa demi peristiwa membuatku semakin dewasa. Betapa
berat dan susah hidup di daerah pedalaman dengan segala keterbatasan, baik
listrik, signal maupun air. Terima kasih murid-murid, berkat kalian ibu
diajarkan arti perjuangan dan bersabar. Ibu yakin suatu saat nanti kalian pasti
bisa meraih kesuksesan.
Mengabdi di daerah pedalaman dengan berbagai macam
perbedaan merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi saya. Mulai dari perbedaan
agama, suku, maupun bahasa. Sebagian besar masyarakat menganut agama Kristen,
bersuku Dayak, dan menggunakan bahasa Dayak Bakati. Mengabdi di lingkungan yang
berbeda inilah salah satu pengalaman sekali dalam seumur hidup dan tidak semua
orang bisa merasakan pengalaman langka ini.
Sampai saat ini, masyarakat setempat masih menjunjung
tinggi adat istiadat. Pernah suatu ketika saya diundang oleh masyarakat untuk
merayakan acara Tahun Baru Padi. Tahun Baru Padi merupakan sebuah acara sebagai
wujud rasa syukur masyarakat Dayak atas hasil panen padi. Jadi, tuan rumah yang
panen tersebut menyuguhkan berbagai macam olahan hasil panen, seperti lemang
(makanan berbahan dasar beras ketan), kue kembang goyang (berbahan dasar tepung
terigu), doko-doko, dan lain-lain. Uniknya, tuan rumah memberikan oleh-oleh
kepada setiap tamu yang datang ke rumahnya berupa beras kampung. Hal ini
bertujuan agar tamu sama-sama merasakan beras kampung hasil panennya. Dan hal
ini juga menghindari kata “kemponan”.
Kemponan merupakan istilah dari suku
Dayak yang berarti keinginan. Apabila seseorang merasa kemponan tetapi tidak terwujud, niscaya orang itu sendiri akan
mendapatkan celaka. Lain daerah, lain juga adat dan kebiasaannya. Kita sadari
bahwa di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Ya, artinya bahwa kita
harus bisa menerima dan menghargainya.
Perbedaan yang ada di Indonesia jangan dijadikan sebagai
memecah belah Indonesia, tetapi jadikanlah perbedaan ini sebagai alat untuk
mempersatukan Indonesia. Karena Indonesia tanpa perbedaan bagaikan sayur tanpa
garam, hambar rasanya. Perbedaan yang sangat mencolok yaitu ketika masyarakat
mengadakan acara pesta, baik pesta khitanan, pernikahan, maupun syukuran. Pesta
di sini artinya hajatan. Pernah waktu itu saya diundang oleh masyarakat untuk
menghadiri acara pesta khitanan. Uniknya untuk masyarakat Dayak itu sendiri,
acara pesta khitanan ini bisa dirayakan sebelum anak itu dikhitan. Jadi, selama
pesta belangsung, tuan rumah mengundang masyarakat di desanya untuk makan
sebanyak 3 x sehari, yaitu pagi, siang dan sore. Hal ini berlangsung kurang
lebih sampai 2 hari berturut-turut. Satu lagi yang unik dari setiap acara pesta
dari suku Dayak ialah tuan rumah menyediakan “Gador”. Gador merupakan
daging babi yang dipotong kecil-kecil dan dibagikan kepada para tamu undangan.
Barang siapa yang menyumbangkan uang paling besar, maka dia akan mendapatkan Gador I, berupa kepala babi.
Bersyukur saya bisa mengetahui dan mengenal adat istiadat
dari berbagai macam suku yang ada di Indonesia. Saya sangat bangga bisa
mengikuti program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan
Tertinggal) dari Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Terima
kasih Kemendikbud, sudah mempercayakan saya untuk mencerdaskan anak Indonesia,
khususnya di pelosok negeri.( oleh Suprihatin, S.Pd.)
No comments:
Post a Comment