Saturday, February 23, 2019

Semunying Bertahan dalam Keterbatasan


Kalimantan Barat merupakan kota di Indonesia yang dilewati oleh titik nol derajat, yang di sebut dengan garis katulistiwa yang berada tepat di Kota Pontianak. Dari titik tersebut perjalanan berlanjut kurang lebih 4 jam menuju ke Kabupaten Bengkayang. Selanjutnya, menuju ke arah kecamatan yang berbatasan langsung dengan Negara Malaysia, yaitu Kecamatan Jagoi Babang. Di Kecamatan Jagoi Babang, tepatnya di Dusun Semunying Jaya terdapat sekolah yang berada di tengah perkebunan sawit. Sekolah tersebut adalah SD N 16 Semunying. Letaknya berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia.
            Saat pertama kali dating, sekolah tersebut hanya memiliki 2 ruang kelas dan sudah dalam keadaan rusak parah. Karena keadaan tersebut, pihak sekolah membuat kebijakan untuk kelas tinggi sehari-hari melaksanakan KBM di teras sekolah dan kelas rendah di dalam kelas. Syukur, diakhir tahun 2016 sekolah mendapat bantuan dari Pemda Bengkayang untuk penambahan 2 kelas serta pembuatan sanitasi. Pada pertengahan tahun 2017, sekolah mendapatkan bantuan lagi untuk perbaikan gedung yang rusak serta pembangunan gedung baru yang digunakan sebagai kantor guru. Walaupun sudah ditambah jumlah ruang kelasnya, sekolah tersebut harus berbagi ruangan dengan rombel lain yang bahwasannya satu kelas ditempati oleh 2 rombel. Sumber belajar yang mereka miliki pun masih terbatas.
            SD N 16 Semunying memiliki 1 kepala sekolah yang berstatus sebagai PNS dan 4 guru yang mendapat honor dari perkebunan. Akibat kekurangan guru maka kepala sekolah ikut mengajar sebagai guru kelas. Jumlah siswa di SD N 16 Semunying mengalami peningkatan yang cukup baik pada tahun ajaran 2016/2017 berjumlah 72 siswa, untuk tahun ajaran 2017/2018 menjadi 97 siswa yang terdiri dari 6 rombel.
            Siswa di SD N 16 Semunying terdiri dari beberapa suku antara lain, Dayak, Bugis, Flores, Melayu, dan Jawa. Tetapi mereka tetap saling menghormati serta belajar dan bermain tanpa harus membeda-bedakan. Mayoritas agama siswa adalah Kristen. Siswa tinggal di perumahan divisi perkebunan sawit dan ada pula yang tinggal di Desa Semunying Permai yang kebanyakan ditinggali masyarakat Dayak Iban. Pihak perkebunan PT. Ledo Lestari, ikut membantu dalam hal kenyamanan karyawan mereka dengan menyediakan dete atau truk untuk antar jemput anak sekolah yang rumahnya jauh.
            Semangat siswa untuk menuntut ilmu tidak putus asa. Mereka tetap berangkat walau hujan-panas mereka alami. Kehidupan di perkebunan sawit sangatlah keras. Para pekerja harus melaksanakan apel pukul 05.00 pagi, bagi mereka yang punya anak sekolah harus memasak, menyiapkan keperluan rumah, dan sebagainya. Padahal kondisi perkebunan serba terbatas. Di perkebunan sawit tidak mendapatkan jaringan listrik negara (PLN) jadi mereka menggunakan genset yang hanya hidup dimalam hari selama 2-3 jam. Sumber air yang ada hanyalah sungai kecil yang sudah tercemar oleh pupuk sawit dan mereka harus membeli air bersih untuk minum atau saat musim hujan datang mereka menampung air hujan. Kebutuhan akan pangan pun masih terbilang sulit karena jauh dari pasar dan barang atau makanan yang di jual di dalam perkebunan sangatlah mahal harganya. Terkadang kalau sudah susah bahan makanan mereka mencari bahan makanan di sekitar hutan seperti pakis, miding, rebung, burung, jamur sawit, daun mentimun.
            Susahnya hidup yang dijalani di dalam perkebunan sawit tak membuat mereka bersedih. Tawa dan canda masih nampak dirasakan oleh mereka. Berkumpul bersama-sama dengan orang-orang di sekitar mereka membuat mereka mampu untuk bertahan dalam keterbatasan yang ada. Anak- anak dengan segala keriangannya, tetap asyik bermain dengan alam tanpa mengeluh dengan apa yang ada. Bersyukur atas segala yang ada dan menikmatinya adalah cara terbaik dalam menjalani hidup. Itulah pelajaran yang mereka ajarkan pada saya selama berada di Semunying. Bahkan mereka membantu saya walaupun mereka sendiri juga masih serba kekurangan. Anak- anak datang dan bermain menemani hari- hari saya,  makan bersama-sama,  membawakan makanan serta mencari bahan makanan sepulang sekolah bersama-sama. Untuk Semunying, terimakasih. (oleh Menik Puspita, S.Pd.


Tuesday, February 19, 2019

Tamong Punya Cerita


Sebuah perjalanan yang sangat melelahkan, menguras tenaga dan pikiran. Tanggal 7 September 2016, sebuah cerita perjalanan hidup dimulai. Saat itu hari Rabu, pagi menuju siang, sebuah perjalanan awal saya menuju sebuah daerah antah berantah, yang pada saat itu saya juga susah menyebutkan nama daerahnya. Begitu banyak hal yang berkecamuk di pikiran saya saat itu, sehingga nama desa itupun susah rasanya saya ingat.
            Perjalanan dimulai dari rumah Bapak Kepala Sekolah, Bapak Epi Gunaepi, dengan mengendarai sepeda motor. Awalnya Pak Epi bertanya,Pak Hen, bisa naik motor?, langsung saya jawab,Bisa Pak.... Satu pertanyaan itu membuat saya makin bertanya-tanya dalam hati, Apa maksudnya ini?”. “Kalo hanya naik motor, emak-emak komplek aja bisa, wah ada yang nggak beres ini. Singkat cerita, perjalanan menuju sekolah dimulai dari Simpang Preges, dengan kondisi jalan aspal yang sudah mengelupas. Dilanjutkan dengan jalanan berbatu sekitar 2 km. Sepeda motor sudah bergetar memberontak, tetapi Pak Epi hanya mengatakan, Tidak apa, sudah biasa”.
            Jalan berbatu berganti dengan jalan tanah. Di area perkebunan sawit, jalanan mulai licin, karena semalam memang turun hujan, roda motor berbelok kesana kemari sulit dikendalikan. Tangan mulai terasa berat untuk mengendalikan kemudi, selang sekitar setengah jam lamanya sampailah di sebuah kampung, yakni Kampung Tadan. Di sini kami harus menyebrangi sungai dengan menggunakan jembatan titian satu batang kayu. Keadaan tersebut membuat nyali saya ciut, akhirnya Pak Epi yang menyebrangkan motor melewati jembatan satu batang itu.
            Lanjut bermotor, naik turun bukit, hingga sampai di sebuat bukit. Sekolahnya dimana Pak? Masih jauhkah?”, tanya saya pada Pak Epi. Endak, itu tu, di atas bukit itu jak, sahut Pak Epi”. “Alhamdulillah, akhirnya nak mau sampai jua di sekolah”,  batin saya. Rasa lega menyelimuti hati saya.
Sesampainya di Baloi, motor saya jatuh, dan saat itulah saya menyerah untuk membawanya. Kamipun memutuskan untuk beristirahat sejenak, dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Satu tanjakan saya lewati, sudah tidak kuat rasanya untuk berjalan, tenaga sudah habis.
            Capek kah Pak Hen?”, tanya Pak Epi,
            Iya Pak, capek sekali. Bapak tidak capek kah?”, tanya saya lagi.
            Tidak begitu, udah biasa”, jawab Pak Epi.
            Ndak usah dipikirkan, nikmati jaak, apa adanya”, kata Pak Epi memberi semangat.
            Hingga kini kata-kata itu saya pegang, dan memang terbukti ampuh. Satu tahun sudah terlewati, seperti tidak terasa lama, karena kita menikmati segala yang ada, baik itu senang, susah, sedih, capek, hingga sakit. Akhirnya selesai juga satu tahun pengabdian di Tamong, dengan perjalanan yang ekstrim, jalan tanah, berlumpur saat hujan, mendorong motor di jalan menanjak, terlewati juga. Jangan terlalu dipikirkan, nikmati saja apa yang ada. Itulah salah satu nilai yang saya dapat dalam pengabdian program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) ini.
            Banyak cerita, suka maupun duka yang saya alami dalam pengabdian ini, salah satunya cerita komplotan Trio Error. Di mana anggotanya saya sendiri, Pak Epi selaku kepala sekolah yang berambut putih, dan Pak Jul yang merupakan suami salah seorang guru, orang kota yang nyasar menemani sang istri di pedalaman. Trio Error, selalu memecah keheningan dengan canda tawa yang tidak jelas, saling ejek, bertukar cerita lucu. Hampir semua dewan guru menjadi bahan olokan dari salah satu anggota Trio Error ini. Memang tidak sengaja dibentuk, tetapi mengalir apa adanya. Saling menghibur karena hiburan di sana memang tidak ada. Saling menguatkan, saling memotivasi agar kita tidak banyak memikirkan keadaan yang serba sulit dan terbatas di Tamong. Tamong, ya, Tamong adalah nama desa tersebut. Di mana di desa itu saya ditugaskan untuk mengabdi selama satu tahun.
            Satu tahun, memang waktu yang tidak begitu lama, namun terasa lama bagi kita yang ditugaskan di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Banyak cerita haru, cerita lucu, cerita suka, maupun duka. Ada juga nilai-nilai kehidupan yang dapat saya petik dalam pelaksanaan program SM-3T di SD Negeri 03 Tamong ini. Salah satunya, tidak usah dipikirkan, nikmati saja yang ada. Selain itu, kebersamaan. Seperti apa yang dianut Pak Jul, susah senang sama-sama. Ya, itu yang sangat penting dalam kita berkawan, dan berkehidupan. Contohnya, kita bisa bersenang-senang, namun ketika susah, saat teman kesusahan mendorong motor yang selip di jalan berlumpur, ya kita sebagai teman harus ikut membantu. Teman ada kerja, kita bantu.

Susah senang sama-sama, angkat sama-sama  motor yang masuk lumpur





 Kebiasaan Pak Bos tukang selfie, anak buah angkat motor..ahahaha


            Itulah beberapa pengalaman saya, banyak nilai kehidupan yang saya dapatkan, saya belajar menjalani hidup sederhana, makan seadanya, sinyal susah, listrik hanya pada malam hari, itupun baru saja, selalu bersyukur dengan nikmat yang diberikan Tuhan. Banyak sekali dan mungkin jika saya tulis, satu artikel ini tidaklah cukup. Saling membantu, terus ikhlas menjalani hidup, tetap semangat, salam MBMI. Tamong Punya Cerita... (oleh Hendra Jati Puspita, S.Pd.)


Saturday, February 16, 2019

Belajar dari Anak Suku Dayak Penghuni Hutan Kalimantan


Anak-anak ini merupakan anak Suku Dayak penghuni hutan Kalimantan. Selama satu tahun saya diberi kesempatan untuk belajar dengan mereka tentang banyak hal.
            Desa Sidai Kecamatan Ledo Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat, merupakan tempat tinggal meraka yang juga tempat tinggal saya selama satu tahun pengabdian. Desa ini dihuni oleh Suku Dayak Bekati. Membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam untuk sampai ke desa ini bila dijangkau dari kota kecamatan. Medan jalan pegunungan yang berupa tanah merah ketika hujan berubah menjadi lumpur, sehingga sulit untuk dilalui merupakan penyebab lamanya perjalanaan.  Sehingga desa ini belum ada listrik PLN, bahkan air bersih pun belum menjangkau desa ini. Penerangan ketika malam adalah pelita dan lampu surya pembagian dari pemerintah. Kegiatan MCK (mandi cuci kakus) dilakukan di sungai terdekat. Suatu kebahagian jika hujan datang karena mereka tidak perlu jauh-jauh mengambil air untuk memasak. Bila hujan tidak turun, maka mereka harus mengambil air di sungai bagian atas di mana tidak digunakan untuk mandi ataupun cuci.
            Anak-anak inilah yang bertugas mengambil air setiap harinya. Karena orang tua mereka pagi-pagi sudah pergi menoreh getah karet, ataupun pergi ke hutan untuk meladang dan berkebun. Mengambil air, meraka lakukan sepulang sekolah. Mencuci piring kotor, mencari kayu bakar di hutan, mencari rebung, pakis, ataupun menjala ikan di sungai sudah biasa mereka lakukan, bahkan anak-anak yang duduk di kelas 4 sudah mampu menoreh getah karet dan ada yang mampu memasak makanan sendiri jika orang tua meraka bermalam di ladang. Waktu untuk bermain mereka lakukan ketika mereka sudah selesai mengambil air dan mencuci piring kotor, atau bermain sembari mencari kayu bakar, rebung ataupun pakis. Terkadang sepulang sekolah mereka mengajak saya untuk pergi mencari rebung atau pakis. Bermain dengan mereka pun juga sering saya lakukan ketika sedang di sungai.
            Tanpa sadar mereka mengajarkan saya kemandirian. Karena, mereka yang seharusnya masih bermanja-manjaan dengan orang tua dan banyak bermain tanpa memikirkan tentang mengangkut air atau mencuci piring kotor, diharuskan untuk melakukan segala hal secara mandiri. Mereka juga mengajarkan saya bagaimana cara menikmati alam dengan cara yang menyenangkan dan bermanfaat, tanpa harus menghabisakan banyak uang tentunya. Bahasa daerah Suku Dayak Bekati pun mereka ajarkan pada saya.

“Terima kasih anakku, terima kasih atas semuanya. Pelajaran berharga yang telah kalian ajarkan akan selalu ibu kenang”
(oleh Eka Kusumawardani, S.Pd.)

Wednesday, February 13, 2019

Patahan Kacamata dan Goresan Luka


“Jam berapa nih?”
“Oh.. tidak !!!”
Kulempar selimut hangat yang membungkus tubuhku semalam. Kusahut handuk orens bintang-bintang dan berlari ke kamar mandi. Biarlah kamarku seperti kapal pecah. Berserakan buku dan kertas oret-oretanku setelah belajar keras. Nanti ya kamarku sayang, pulang olimpiade akan kucurahkan seluruh perhatianku untuk merawatmu.
Beker menunjukkan pukul setengah 6 pagi. Hari ini aku olimpiade matematika ke Bengkayang. Semalam aku memang susah tidur karena memikirkan apa yang bisa aku kerjakan esok, seberapa sulit soal yang diberikan, dan apakah yang aku pelajari bakal  keluar dilembaran kertas kuning itu. Kutampar pipiku sebelah kiri, kanan juga sama. Tidak terlalu keras sih, tapi cukup membangunkanku dalam ketakutan akan deretan angka dan rumus mana yang bisa aku aplikasikan untuk menyelesaikan soal.
“Tenang, tenang, tenang, Put... Ingatkan kata Bu Arrini, santai jak, semua bisa diatasi”, sambil kukenakan pakaian seragam biru putih, aku berkata pada diriku sendiri dalam kaca.
“Put... Dah siap belum kau? Kok lama sekali!”
Iyee, tunggu saya, Ik”, jawabku saat mendengar seruan Ikma di depan rumah.
Segera aku lari ke luar rumah, kulihat Ikma sedang menalikan sepatunya. Suasana yang sejuk karena kabut menyertai pagi setelah semalaman hujan. Aku tidak menyangka seperti inikah perasaan mewakili rayon untuk maju ke kabupaten dalam olimpiade sains. Senang, bangga, terharu, takut, kurang percaya diri, campur jadi satu, yang bisa ku katakan dalam hati hanya aku pasti bisa.
“O Buk...Ayo berangkat!”, suara Ikma memanggil guru kami.
“Iya, tunggu dulu. Ibu keluarkan motor. Putri udah di situ belum?”
“Udah Bu, kami udah siap”.
“Hmm..”, suara lirih guru kami.
Namanya adalah Bu Arrini. Beliau yang membimbingku belajar matematika. Beliau adalah salah satu dari dua orang guru SM-3T yang ditugaskan di sekolah kami selama satu tahun. Beliau guru yang tegas di kelas. Wajahnya yang serius membuatku takut saat aku lupa mengerjakan PR. Maklum lah guru matematika, biasanya mendapat sebutan guru killer. Kadang Bu Arrini suka menyindir secara halus jika ada yang malas ngerjain tugas tapi beliau suka bercanda juga, apalagi masalah cinta. Suka jika bercerita dengan beliau.
Berbeda dengan Bu Wulan. Beliau adalah pembimbing Ikma untuk maju dalam olimpiade IPS. Bu Wulan itu suka marah marah. Lebih sering malahan. Dikit-dikit marah, salah sedikit marah. Tapi jika beliau tertawa suasana tegang menjadi cair seketika. Tertawanya Bu Wulan itu beda dari yang lain. Beliau lebih suka bercanda tapi bisa marah seketika itu juga.
“Nanti Ikma sama Ibu, si Putri sama Bu Arrini ya?”, kata Bu Wulan.
Ya okelah, memang aku pengen bonceng Bu Arrini karena beliaulah yang mengajari aku semalaman. Aduh, aku dan Ikma lupa membawa jaket. Hal itu tidak jadi masalah karena kami dipinjami jaket SM3T milik kedua guru kesayangan kami. Wah, coba saja aku bisa memakai jaket ini selamanya. Pasti keren nih. Hanya berkhayal sambil kutarik resleting jaket kebanggaan.
Pinggiran sungai, sampan terparkir rapi di sana. Bengkayang, tunggu aku. Kami menyeberangi sungai Kumba yang berwarna cokelat sehabis hujan tadi malam. Sejuk menusuk tubuh menambah semangatku untuk berjuang. Yah, kurasa ini kesempatan yang Tuhan berikan untukku dalam membanggakan orang tua. Walaupun aku tahu kemampuanku tidak seberapa, tapi jika Tuhan menghendaki, apa yang tidak mungkin?
 “Wahh... gila ni spanduk. Keren wak”, kebiasaan Ikma yang suka heran dengan segala sesuatu.
“Selamat datang, silakan isi daftar hadir. Adek dari sekolah mana?”
“Ya Pak, terimakasih. Kami dari SMP Jagoi”, jawabku.
Terik matahari mulai menyengat kulit. Aku dan Ikma menuju ke lapangan dengan peluh menetes-netes setelah berlari dari tempat parkir menuju tempat registrasi. Kejadian yang hampir membuat kami menyerah. Gagal berangkat olimpiade karena motor rusak. Motor yang dibawa Bu Arrini dan aku mengalami lepas rantai.
“Tidak!!!”, jeritku dalam hati. Tidak ada orang melintas, sedangkan kami berempat perempuan semua yang kurang tahu membenahi motor rusak apalagi rantai lepas. Aduh, apa yang bisa ku lakukan.
“Jemarimu penuh dengan oli, Bu”, nadaku sangat khawatir.
“Tak apa, nanti kita cuci tangan”, suara  Bu Arrini menentramkan kepanikanku sesaat. “Bu Wulan, tolong anak-anak kau bawa dulu sampai ke Bengkayang. Biar motor ini saya yang urus. Bisakan boncengin dua anak? Hati-hati bawa motornya. Tinggalkan saja saya dan motornya di sini”.
“Tapi nanti kau gimana di jalan? Tidak apakah sendiri?”, jawab Bu Wulan.
“Santai. Semoga tidak apa. Cepat pergi, nanti saya susul belakangan”, jawab Bu Arrini seperti biasa.
Aku dan semua peserta olimpiade berbaris rapi melakukan upacara pembukaan. Kusapu pemandangan di depan mata, tapi tak nampak juga guru yang kutinggalkan tadi di jalan. Di mana beliau, apakah sudah perjalanan menuju kemari? Ataukah masih menuntun motor kami yang lepas rantai di jalan tadi? Baik-baik saja kah kau, Bu? Aku menunggumu untuk menyemangati dan menghantarkanku masuk ruangan peserta olimpiade matematika.
***
Itu beliau. Aku melihatnya. Senyuman beliau kepada petugas registrasi. Dengan baju pink berjaket hitam dan celana kain abu-abu yang bernoda oli. Pasti itu dia guruku. Ku tegakkan kepalaku memandang beliau. Ku lihat lambaian tanganmu Bu Arrini. Terimakasih Bu.
“Anak-anak di mana ruangan kalian?”
“Di ruang 01, Bu,” jawabku atas pertanyaan Bu Wulan.
“Bu Arrini hantarkan Putri masuk ya? Ikma saya yang hantar”.
Kusambut tangan hangat Bu Arrini dan Bu Wulan untuk meminta doa restu. Berharap kami lancar dan dimudahkan dalam mengerjakan soal. Kulangkahkan kaki menuju tempat pertarungan kami. Yah, apapun hasilnya aku akan berjuang semaksimal mungkin.
Kuterima lembaran kuning yang ku mimpikan semalam. Huffft, sekarang kenyataan kataku. Kubuka lembaran soal itu, dan memang benar aku harus berjuang keras. Tak apa, waktu yang diberikan yaitu 2 jam akan kugunakan dengan bijak.
***
“Hufft...”
“Kenapa kau, Put? Susah kah soalnya?” tanya Ikma dengan nada bersemangat.
“Lumayan, susah sekali”
“Hahaha, sama juga. Yang penting kita udah berusaha,” Ikma tampak menyemangatiku.
Benar juga. Aku dan Ikma sudah melakukan yang terbaik. Sekarang tinggal kita serahkan keputusan kepada yang berwenang. Tiga terbaik akan mewakili Kabupaten Bengkayang lanjut ke Pontianak. Kalau salah satu dari kami bisa lolos tiga besar, ini bisa masuk rekor dunia kataku dalam hati. Belum pernah sebelumnya sekolah kami ada yang lolos sampai ke Pontianak. Ini pun baru pertama kali kami olimpiade matematika dan olimpiade IPS mendapatkan juara pertama di tingkat rayon. Meski ada sedikit masalah dalam penentuan juara satu olimpiade IPS karena ada dua orang yang memperoleh nilai tertinggi yang sama.
“Halo anak-anak... Gimana tadi ngerjainnya?” tanya Bu Wulan sambil bercanda.
“Yah, begitulah Bu. Ada yang bisa, ada yang susah,” jawab Ikma.
Aku hanya tersenyum kepada Bu Arrini karena memang susah benar soalnya.
“Tidak apa-apa, kalian sudah melakukan yang terbaik. Kita tinggal berdoa saja, besok ajari adik tingkatmu lho yaa! Biar sama-sama pinternya,” jawab Bu Wulan lagi.
***
Seteguk  demi seteguk es cincau masuk ke dalam tenggorokanku yang kering. Ini es cincau paling enak yang pernah kurasakan. Mungkin efek otak terkuras saat mengerjakan soal olimpiade. Kami berhenti di sebuah warung untuk istirahat, makan dan minum sejenak. Pukul dua belas siang kami singgah di kontrakan guru SM3T lain yang bertugas di Bengkayang. Kontrakan yang cukup luas berada di lantai 2. Ada 4 orang di sana. Satu orang mengajar SMK dan 3 lainnya mengajar di SLB.
“Oke, kita pulang jam satu siang saja ya. Menunggu matahari lengser sedikit biar kulit tidak terbakar parah. Hhhi...”
“Yang penting ga kemaleman nyebrang sungainya. Nanti kita kena marah Mamak tu,” sahut Bu Wulan kepada Bu Arrini.
“Nanti pulangnya pelan-pelan saja ya. Hati-hati di jalan” kata Bu Arrini sambil memacking barang bawaan.
Tepat pukul satu siang, kami bersiap pulang. Sangat yang melelahkan mungkin. Tiga jam berkendara pulang ke perbatasan. Panas sekali. Matahari tolonglah kau malu sedikit. Fatamorgana memenuhi aspal. Naik turun bukit, berkelok-kelok, sepoi angin saat melewati hutan, semua itu menjadi hiasan sepanjang perjalanan.
“Astaga !!!”
“Wulan !!!” suara teriakan Bu Arrini keras di telingaku.
Sraakkkk... Terlihat jelas insiden mengerikan. Seluruh badanku serasa kaku saat motor yang dikendarai Bu Wulan jatuh ketika menghindari aspal berlubang. Tubuhku serasa terpental. Motor yang ku kendarai bersama Bu Arrini banting stir ke kanan, beliau terseret aspal dan jatuh ke kiri. Tak sadar aku sudah terduduk di atas motor yang ku kendarai di tengah jalan menuju Lumar.
Aku segera bangkit, tubuhku bergetar hebat. Langkah kakiku tak kuat lagi untuk berjalan. Aku terduduk di pinggir aspal. Seketika kulihat Bu Arrini bangun dengan lengan jaket penuh debu dan koyak terkena aspal.
“Wulan... Wulan... Kamu ga papa?!” suara Bu Arrini sangat keras. Beliau langsung memegang bahu Bu Wulan yang lama tak bergerak di kiri jalan, tengkurap dan tak bergerak. Benar-benar seperti mau copot jantungku.
“Rin... anak-anak dimana?”
“Mereka ga papa, astaga...,” kulihat genangan air mata yang tertahan disana.
“Rin.. Ikma mana? Putri mana? Gimana keadaan mereka?” suara lirih Bu Wulan.
“Itu dia di samping kamu, dia tak apa,” sahut Bu Arrini menenangkan Bu Wulan.
“Aduh, mukaku...”
“Wulan..., kamu...” tak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut Bu Arrini.
Darah mengalir dari hidung Bu Wulan. Kening beliau sobek. Luka lecet parah di bawah mata kanan. Kacamata beliau patah. Banyak darah menetes. Kaca helm Bu Wulan dipenuhi cipratan darah. Sarung tangan beliau memerah karena menahan aliran darah dari hidung. Kulihat di sekeliling, banyak orang tapi tak satupun menolong kami. Hanya dua orang yang memindahkan motor kami ke pinggir jalan. Panik, syok, ingin menangis, dan tak tahu harus berbuat apa.
“Tolong... tolong Pak! Teman saya terjatuh” suara memohon Bu Arrini. Beliau berlari ke arah depan saat ada mobil melintas. “Tolong bawa dia ke rumah sakit!”
Bergetar suara guruku. Berlari dan memohon.
“Aduh, gimana ya, saya bawa penumpang ini,” jawab pengendara mobil.
“Tidak bisakah membawanya ke rumah sakit, Pak? Tolong kami,” mohon Bu Arrini.
Lelaki pengendara mobil itu tidak menjawab. Dia berlari menuju mobil dan malah mengambilkan satu pack tisu untuk membersihkan darah Bu Wulan. Apa apaan ini. Sungguh tidak berperi kemanusiaan. Mobil hitam itu malah pergi.
“Bang, tolong kami Bang, teman saya kecelakaan, tolong bawa dia ke rumah sakit”.
Bergegas Bu Arrini berlari dengan kaki pincang ke belakang mencari pertolongan lain. Terlihat mobil putih yang dikendarai oleh pemuda berhenti di pinggir jalan karena terhalang kerumunan orang yang hanya sekedar melihat kecelakaan. Tampak Bu Wulan tengah merintih menahan sakit dan menekan luka agar darah tidak keluar. Jaket hijau yang beliau kenakan berlengan merah penuh darah.
Pemuda itu bersedia menghantarkan kami ke puskesmas. Bu Arrini memapah Bu Wulan yang sempoyongan karena kehilangan banyak darah. Hatiku bergetar. Nampak dua orang yang berjuang untuk menghantarkan kami pulang tetapi malah mendapatkan musibah. Kubuka pintu mobil, kami semua masuk mobil, kecuali Bu Arrini. Beliau membuntuti mobil dengan motornya yang bengkok stir.
“Kamu kenapa, Ikma? Ibu ga papa kok, ini lihat Ibu masih bisa ketawa, cuma agak kaku aja karena sekarang bibir Ibu jadi tebal, hhe,” Bu Wulan memeluk Ikma yang menangis.
Ikma menangis saat luka diwajah guru IPS ku dibersihkan oleh perawat. Hampir tak ku kenali wajah guru IPS ku ini. Ikma sama sekali tidak menjawab setiap celotehan Bu Wulan yang terdengar menghibur. Dia hanya diam lalu menangis.
“Udah diobati semua lukanya, Wul?” tanya Bu Arrini.
“Udah, kamu gimana keadaannya?”
“Ga papa, cuma lecet dan memar di kaki kiriku. Lutut ku ga kerasa kalau disentuh,” jawab beliau.
“Nanti kita ronsen aja,” sahut Bu Wulan.
Malam hari, kami dijemput kawan guru Bu Wulan menuju ke kontrakan guru SM3T Bengkayang. Rencananya pagi hari kami baru pulang. Kami dicarikan tukang urut untuk mengecek adanya luka terkilir. Bu Wulan dibawa ke rumah sakit untuk di cek ulang, luka di bawah hidungnya cukup dalam sehingga harus dijahit, tetapi Bu Wulan menolaknya. Luka sobek di bawah hidung beliau hanya dibalut dengan kasa dan plester luka biasa. Bu Wulan memang kuat kataku dalam hati. Beliau masih bisa menghibur kami sedangkan beliau yang menderita luka paling parah, lebam ruam, merah bengkak sudah paras cantiknya. Dia memperlihatkan kacamata dan helmnya yang penuh darah.
“Wah, kacamata baru lagi nih. Patah tangkainya. Hmm.. santai, tak masalah,” kata Bu Wulan yang bercanda dengan guru lain yang ada dalam ruangan itu.
Kurebahkan badan di atas kasur kontrakan. Lututku perih tergores aspal. Ikma meringis kesakitan. Siku, bahu, dan perutnya terluka karena terseret di aspal. Saat ku buka mata, hari sudah berganti. Pagi yang cerah, dan aku akan pulang.
***
Tiga hari berlalu, sepi tanpa kehadiran kedua guru tersayangku. Kami belajar bersama mahasiswa yang sedang KKM di dusun. Semoga secepatnya mereka akan berangkat ke sekolah. Aku merindukan guruku.
Hari Senin yang cerah, upacara bendera akan dilaksanakan. Kudengar suara motor itu. Ternyata guru kami berdua berangkat ke sekolah. Yeah, senangnya hatiku. Aku dan semua teman-teman menyambut dan bersorak bahagia karena guru kami sudah bisa mengajar.
Terimakasih guruku, ketulusanmu tak bisa dibayar dengan apapun. Kau mengajarkan keikhlasan dan perjuangan meraih cita-cita untuk masa depan yang lebih baik. Kau mengajarkanku untuk mempunyai mimpi, meraih mimpi, bersyukur atas mimpi yang dicapai, bahkan untuk bersama membagi mimpi dengan orang lain.
-the end-
 oleh Arrini Ditta Margarani, S.Pd.

Merdeka Belajar

 Merdeka Belajar Kebebasan setiap individu atas hak-haknya tanpa melanggar atau mengambil hak kebebasan individu lain-Ki HadjarDewantara Leb...