“Jam berapa
nih?”
“Oh.. tidak
!!!”
Kulempar
selimut hangat yang membungkus tubuhku semalam. Kusahut handuk orens
bintang-bintang dan berlari ke kamar mandi. Biarlah kamarku seperti kapal
pecah. Berserakan buku dan kertas oret-oretanku setelah belajar keras. Nanti ya
kamarku sayang, pulang olimpiade akan kucurahkan seluruh perhatianku untuk
merawatmu.
Beker
menunjukkan pukul setengah 6 pagi. Hari ini aku olimpiade matematika ke Bengkayang.
Semalam aku memang susah tidur karena memikirkan apa yang bisa aku kerjakan
esok, seberapa sulit soal yang diberikan, dan apakah yang aku pelajari bakal keluar dilembaran kertas kuning itu. Kutampar
pipiku sebelah kiri, kanan juga sama. Tidak terlalu keras sih, tapi cukup
membangunkanku dalam ketakutan akan deretan angka dan rumus mana yang bisa aku
aplikasikan untuk menyelesaikan soal.
“Tenang,
tenang, tenang, Put... Ingatkan kata Bu Arrini, santai jak, semua bisa diatasi”, sambil kukenakan pakaian seragam biru
putih, aku berkata pada diriku sendiri dalam kaca.
“Put... Dah
siap belum kau? Kok lama sekali!”
“Iyee, tunggu saya, Ik”, jawabku saat
mendengar seruan Ikma di depan rumah.
Segera aku
lari ke luar rumah, kulihat Ikma sedang menalikan sepatunya. Suasana yang sejuk
karena kabut menyertai pagi setelah semalaman hujan. Aku tidak menyangka
seperti inikah perasaan mewakili rayon untuk maju ke kabupaten dalam olimpiade
sains. Senang, bangga, terharu, takut, kurang percaya diri, campur jadi satu, yang
bisa ku katakan dalam hati hanya aku pasti bisa.
“O Buk...Ayo
berangkat!”, suara Ikma memanggil guru kami.
“Iya, tunggu
dulu. Ibu keluarkan motor. Putri udah di situ belum?”
“Udah Bu,
kami udah siap”.
“Hmm..”,
suara lirih guru kami.
Namanya
adalah Bu Arrini. Beliau yang membimbingku belajar matematika. Beliau adalah
salah satu dari dua orang guru SM-3T yang ditugaskan di sekolah kami selama
satu tahun. Beliau guru yang tegas di kelas. Wajahnya yang serius membuatku
takut saat aku lupa mengerjakan PR. Maklum lah guru matematika, biasanya
mendapat sebutan guru killer. Kadang
Bu Arrini suka menyindir secara halus jika ada yang malas ngerjain tugas tapi
beliau suka bercanda juga, apalagi masalah cinta. Suka jika bercerita dengan
beliau.
Berbeda
dengan Bu Wulan. Beliau adalah pembimbing Ikma untuk maju dalam olimpiade IPS.
Bu Wulan itu suka marah marah. Lebih sering malahan.
Dikit-dikit marah, salah sedikit marah. Tapi jika beliau tertawa suasana tegang
menjadi cair seketika. Tertawanya Bu Wulan itu beda dari yang lain. Beliau
lebih suka bercanda tapi bisa marah seketika itu juga.
“Nanti Ikma
sama Ibu, si Putri sama Bu Arrini ya?”, kata Bu Wulan.
Ya okelah, memang
aku pengen bonceng Bu Arrini karena
beliaulah yang mengajari aku semalaman. Aduh, aku dan Ikma lupa membawa jaket. Hal
itu tidak jadi masalah karena kami dipinjami jaket SM3T milik kedua guru
kesayangan kami. Wah, coba saja aku bisa memakai jaket ini selamanya. Pasti
keren nih. Hanya berkhayal sambil kutarik resleting jaket kebanggaan.
Pinggiran sungai,
sampan terparkir rapi di sana. Bengkayang, tunggu aku. Kami menyeberangi sungai
Kumba yang berwarna cokelat sehabis hujan tadi malam. Sejuk menusuk tubuh
menambah semangatku untuk berjuang. Yah, kurasa ini kesempatan yang Tuhan
berikan untukku dalam membanggakan orang tua. Walaupun aku tahu kemampuanku
tidak seberapa, tapi jika Tuhan menghendaki, apa yang tidak mungkin?
“Wahh... gila ni spanduk. Keren wak”, kebiasaan Ikma yang suka heran
dengan segala sesuatu.
“Selamat
datang, silakan isi daftar hadir. Adek dari sekolah mana?”
“Ya Pak,
terimakasih. Kami dari SMP Jagoi”, jawabku.
Terik
matahari mulai menyengat kulit. Aku dan Ikma menuju ke lapangan dengan peluh
menetes-netes setelah berlari dari tempat parkir menuju tempat registrasi.
Kejadian yang hampir membuat kami menyerah. Gagal berangkat olimpiade karena
motor rusak. Motor yang dibawa Bu Arrini dan aku mengalami lepas rantai.
“Tidak!!!”,
jeritku dalam hati. Tidak ada orang melintas, sedangkan kami berempat perempuan
semua yang kurang tahu membenahi motor rusak apalagi rantai lepas. Aduh, apa
yang bisa ku lakukan.
“Jemarimu
penuh dengan oli, Bu”, nadaku sangat khawatir.
“Tak apa,
nanti kita cuci tangan”, suara Bu Arrini
menentramkan kepanikanku sesaat. “Bu Wulan, tolong anak-anak kau bawa dulu
sampai ke Bengkayang. Biar motor ini saya yang urus. Bisakan boncengin dua
anak? Hati-hati bawa motornya. Tinggalkan saja saya dan motornya di sini”.
“Tapi nanti
kau gimana di jalan? Tidak apakah
sendiri?”, jawab Bu Wulan.
“Santai.
Semoga tidak apa. Cepat pergi, nanti saya susul belakangan”, jawab Bu Arrini
seperti biasa.
Aku dan
semua peserta olimpiade berbaris rapi melakukan upacara pembukaan. Kusapu
pemandangan di depan mata, tapi tak nampak juga guru yang kutinggalkan tadi di
jalan. Di mana beliau, apakah sudah perjalanan menuju kemari? Ataukah masih
menuntun motor kami yang lepas rantai di jalan tadi? Baik-baik saja kah kau,
Bu? Aku menunggumu untuk menyemangati dan menghantarkanku masuk ruangan peserta
olimpiade matematika.
***
Itu beliau.
Aku melihatnya. Senyuman beliau kepada petugas registrasi. Dengan baju pink
berjaket hitam dan celana kain abu-abu yang bernoda oli. Pasti itu dia guruku.
Ku tegakkan kepalaku memandang beliau. Ku lihat lambaian tanganmu Bu Arrini.
Terimakasih Bu.
“Anak-anak
di mana ruangan kalian?”
“Di ruang
01, Bu,” jawabku atas pertanyaan Bu Wulan.
“Bu Arrini
hantarkan Putri masuk ya? Ikma saya yang hantar”.
Kusambut
tangan hangat Bu Arrini dan Bu Wulan untuk meminta doa restu. Berharap kami
lancar dan dimudahkan dalam mengerjakan soal. Kulangkahkan kaki menuju tempat
pertarungan kami. Yah, apapun hasilnya aku akan berjuang semaksimal mungkin.
Kuterima
lembaran kuning yang ku mimpikan semalam. Huffft, sekarang kenyataan kataku.
Kubuka lembaran soal itu, dan memang benar aku harus berjuang keras. Tak apa,
waktu yang diberikan yaitu 2 jam akan kugunakan dengan bijak.
***
“Hufft...”
“Kenapa kau,
Put? Susah kah soalnya?” tanya Ikma dengan nada bersemangat.
“Lumayan,
susah sekali”
“Hahaha,
sama juga. Yang penting kita udah berusaha,” Ikma tampak menyemangatiku.
Benar juga.
Aku dan Ikma sudah melakukan yang terbaik. Sekarang tinggal kita serahkan
keputusan kepada yang berwenang. Tiga terbaik akan mewakili Kabupaten
Bengkayang lanjut ke Pontianak. Kalau salah satu dari kami bisa lolos tiga
besar, ini bisa masuk rekor dunia kataku dalam hati. Belum pernah sebelumnya
sekolah kami ada yang lolos sampai ke Pontianak. Ini pun baru pertama kali kami
olimpiade matematika dan olimpiade IPS mendapatkan juara pertama di tingkat
rayon. Meski ada sedikit masalah dalam penentuan juara satu olimpiade IPS
karena ada dua orang yang memperoleh nilai tertinggi yang sama.
“Halo
anak-anak... Gimana tadi ngerjainnya?” tanya Bu Wulan sambil bercanda.
“Yah,
begitulah Bu. Ada yang bisa, ada yang susah,” jawab Ikma.
Aku hanya
tersenyum kepada Bu Arrini karena memang susah benar soalnya.
“Tidak
apa-apa, kalian sudah melakukan yang terbaik. Kita tinggal berdoa saja, besok
ajari adik tingkatmu lho yaa! Biar sama-sama pinternya,” jawab Bu Wulan lagi.
***
Seteguk demi seteguk es cincau masuk ke dalam
tenggorokanku yang kering. Ini es cincau paling enak yang pernah kurasakan.
Mungkin efek otak terkuras saat mengerjakan soal olimpiade. Kami berhenti di
sebuah warung untuk istirahat, makan dan minum sejenak. Pukul dua belas siang
kami singgah di kontrakan guru SM3T lain yang bertugas di Bengkayang. Kontrakan
yang cukup luas berada di lantai 2. Ada 4 orang di sana. Satu orang mengajar
SMK dan 3 lainnya mengajar di SLB.
“Oke, kita
pulang jam satu siang saja ya. Menunggu matahari lengser sedikit biar kulit
tidak terbakar parah. Hhhi...”
“Yang
penting ga kemaleman nyebrang sungainya. Nanti kita kena marah Mamak tu,” sahut
Bu Wulan kepada Bu Arrini.
“Nanti
pulangnya pelan-pelan saja ya. Hati-hati di jalan” kata Bu Arrini sambil memacking barang bawaan.
Tepat pukul
satu siang, kami bersiap pulang. Sangat yang melelahkan mungkin. Tiga jam
berkendara pulang ke perbatasan. Panas sekali. Matahari tolonglah kau malu
sedikit. Fatamorgana memenuhi aspal. Naik turun bukit, berkelok-kelok, sepoi
angin saat melewati hutan, semua itu menjadi hiasan sepanjang perjalanan.
“Astaga !!!”
“Wulan !!!”
suara teriakan Bu Arrini keras di telingaku.
Sraakkkk... Terlihat
jelas insiden mengerikan. Seluruh badanku serasa kaku saat motor yang
dikendarai Bu Wulan jatuh ketika menghindari aspal berlubang. Tubuhku serasa
terpental. Motor yang ku kendarai bersama Bu Arrini banting stir ke kanan, beliau
terseret aspal dan jatuh ke kiri. Tak sadar aku sudah terduduk di atas motor
yang ku kendarai di tengah jalan menuju Lumar.
Aku segera
bangkit, tubuhku bergetar hebat. Langkah kakiku tak kuat lagi untuk berjalan.
Aku terduduk di pinggir aspal. Seketika kulihat Bu Arrini bangun dengan lengan
jaket penuh debu dan koyak terkena aspal.
“Wulan...
Wulan... Kamu ga papa?!” suara Bu
Arrini sangat keras. Beliau langsung memegang bahu Bu Wulan yang lama tak
bergerak di kiri jalan, tengkurap dan tak bergerak. Benar-benar seperti mau
copot jantungku.
“Rin...
anak-anak dimana?”
“Mereka ga papa, astaga...,” kulihat genangan air
mata yang tertahan disana.
“Rin.. Ikma
mana? Putri mana? Gimana keadaan mereka?” suara lirih Bu Wulan.
“Itu dia di
samping kamu, dia tak apa,” sahut Bu Arrini menenangkan Bu Wulan.
“Aduh,
mukaku...”
“Wulan...,
kamu...” tak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut Bu Arrini.
Darah
mengalir dari hidung Bu Wulan. Kening beliau sobek. Luka lecet parah di bawah
mata kanan. Kacamata beliau patah. Banyak darah menetes. Kaca helm Bu Wulan
dipenuhi cipratan darah. Sarung tangan beliau memerah karena menahan aliran
darah dari hidung. Kulihat di sekeliling, banyak orang tapi tak satupun
menolong kami. Hanya dua orang yang memindahkan motor kami ke pinggir jalan.
Panik, syok, ingin menangis, dan tak tahu harus berbuat apa.
“Tolong...
tolong Pak! Teman saya terjatuh” suara memohon Bu Arrini. Beliau berlari ke
arah depan saat ada mobil melintas. “Tolong bawa dia ke rumah sakit!”
Bergetar
suara guruku. Berlari dan memohon.
“Aduh,
gimana ya, saya bawa penumpang ini,” jawab pengendara mobil.
“Tidak
bisakah membawanya ke rumah sakit, Pak? Tolong kami,” mohon Bu Arrini.
Lelaki
pengendara mobil itu tidak menjawab. Dia berlari menuju mobil dan malah
mengambilkan satu pack tisu untuk
membersihkan darah Bu Wulan. Apa apaan ini. Sungguh tidak berperi kemanusiaan.
Mobil hitam itu malah pergi.
“Bang,
tolong kami Bang, teman saya kecelakaan, tolong bawa dia ke rumah sakit”.
Bergegas Bu
Arrini berlari dengan kaki pincang ke belakang mencari pertolongan lain.
Terlihat mobil putih yang dikendarai oleh pemuda berhenti di pinggir jalan
karena terhalang kerumunan orang yang hanya sekedar melihat kecelakaan. Tampak Bu
Wulan tengah merintih menahan sakit dan menekan luka agar darah tidak keluar.
Jaket hijau yang beliau kenakan berlengan merah penuh darah.
Pemuda itu
bersedia menghantarkan kami ke puskesmas. Bu Arrini memapah Bu Wulan yang
sempoyongan karena kehilangan banyak darah. Hatiku bergetar. Nampak dua orang
yang berjuang untuk menghantarkan kami pulang tetapi malah mendapatkan musibah. Kubuka pintu mobil, kami semua masuk
mobil, kecuali Bu Arrini. Beliau membuntuti mobil dengan motornya yang bengkok stir.
“Kamu
kenapa, Ikma? Ibu ga papa kok, ini
lihat Ibu masih bisa ketawa, cuma agak kaku aja karena sekarang bibir Ibu jadi
tebal, hhe,” Bu Wulan memeluk Ikma yang menangis.
Ikma
menangis saat luka diwajah guru IPS ku dibersihkan oleh perawat. Hampir tak ku
kenali wajah guru IPS ku ini. Ikma sama sekali tidak menjawab setiap celotehan
Bu Wulan yang terdengar menghibur. Dia hanya diam lalu menangis.
“Udah
diobati semua lukanya, Wul?” tanya Bu Arrini.
“Udah, kamu
gimana keadaannya?”
“Ga papa,
cuma lecet dan memar di kaki kiriku. Lutut ku ga kerasa kalau disentuh,” jawab
beliau.
“Nanti kita
ronsen aja,” sahut Bu Wulan.
Malam hari,
kami dijemput kawan guru Bu Wulan menuju ke kontrakan guru SM3T Bengkayang.
Rencananya pagi hari kami baru pulang. Kami dicarikan tukang urut untuk mengecek
adanya luka terkilir. Bu Wulan dibawa ke rumah sakit untuk di cek ulang, luka
di bawah hidungnya cukup dalam sehingga harus dijahit, tetapi Bu Wulan
menolaknya. Luka sobek di bawah hidung beliau hanya dibalut dengan kasa dan
plester luka biasa. Bu Wulan memang kuat kataku dalam hati. Beliau masih bisa
menghibur kami sedangkan beliau yang menderita luka paling parah, lebam ruam,
merah bengkak sudah paras cantiknya. Dia memperlihatkan kacamata dan helmnya
yang penuh darah.
“Wah,
kacamata baru lagi nih. Patah tangkainya. Hmm.. santai, tak masalah,” kata Bu
Wulan yang bercanda dengan guru lain yang ada dalam ruangan itu.
Kurebahkan
badan di atas kasur kontrakan. Lututku perih tergores aspal. Ikma meringis
kesakitan. Siku, bahu, dan perutnya terluka karena terseret di aspal. Saat ku
buka mata, hari sudah berganti. Pagi yang cerah, dan aku akan pulang.
***
Tiga hari
berlalu, sepi tanpa kehadiran kedua guru tersayangku. Kami belajar bersama
mahasiswa yang sedang KKM di dusun. Semoga secepatnya mereka akan berangkat ke
sekolah. Aku merindukan guruku.
Hari Senin
yang cerah, upacara bendera akan dilaksanakan. Kudengar suara motor itu.
Ternyata guru kami berdua berangkat ke sekolah. Yeah, senangnya hatiku. Aku dan
semua teman-teman menyambut dan bersorak bahagia karena guru kami sudah bisa
mengajar.
Terimakasih
guruku, ketulusanmu tak bisa dibayar dengan apapun. Kau mengajarkan keikhlasan dan
perjuangan meraih cita-cita untuk masa depan yang lebih baik. Kau mengajarkanku
untuk mempunyai mimpi, meraih mimpi, bersyukur atas mimpi yang dicapai, bahkan
untuk bersama membagi mimpi dengan orang lain.
-the
end-
oleh Arrini Ditta
Margarani, S.Pd.