Wednesday, February 13, 2019

Patahan Kacamata dan Goresan Luka


“Jam berapa nih?”
“Oh.. tidak !!!”
Kulempar selimut hangat yang membungkus tubuhku semalam. Kusahut handuk orens bintang-bintang dan berlari ke kamar mandi. Biarlah kamarku seperti kapal pecah. Berserakan buku dan kertas oret-oretanku setelah belajar keras. Nanti ya kamarku sayang, pulang olimpiade akan kucurahkan seluruh perhatianku untuk merawatmu.
Beker menunjukkan pukul setengah 6 pagi. Hari ini aku olimpiade matematika ke Bengkayang. Semalam aku memang susah tidur karena memikirkan apa yang bisa aku kerjakan esok, seberapa sulit soal yang diberikan, dan apakah yang aku pelajari bakal  keluar dilembaran kertas kuning itu. Kutampar pipiku sebelah kiri, kanan juga sama. Tidak terlalu keras sih, tapi cukup membangunkanku dalam ketakutan akan deretan angka dan rumus mana yang bisa aku aplikasikan untuk menyelesaikan soal.
“Tenang, tenang, tenang, Put... Ingatkan kata Bu Arrini, santai jak, semua bisa diatasi”, sambil kukenakan pakaian seragam biru putih, aku berkata pada diriku sendiri dalam kaca.
“Put... Dah siap belum kau? Kok lama sekali!”
Iyee, tunggu saya, Ik”, jawabku saat mendengar seruan Ikma di depan rumah.
Segera aku lari ke luar rumah, kulihat Ikma sedang menalikan sepatunya. Suasana yang sejuk karena kabut menyertai pagi setelah semalaman hujan. Aku tidak menyangka seperti inikah perasaan mewakili rayon untuk maju ke kabupaten dalam olimpiade sains. Senang, bangga, terharu, takut, kurang percaya diri, campur jadi satu, yang bisa ku katakan dalam hati hanya aku pasti bisa.
“O Buk...Ayo berangkat!”, suara Ikma memanggil guru kami.
“Iya, tunggu dulu. Ibu keluarkan motor. Putri udah di situ belum?”
“Udah Bu, kami udah siap”.
“Hmm..”, suara lirih guru kami.
Namanya adalah Bu Arrini. Beliau yang membimbingku belajar matematika. Beliau adalah salah satu dari dua orang guru SM-3T yang ditugaskan di sekolah kami selama satu tahun. Beliau guru yang tegas di kelas. Wajahnya yang serius membuatku takut saat aku lupa mengerjakan PR. Maklum lah guru matematika, biasanya mendapat sebutan guru killer. Kadang Bu Arrini suka menyindir secara halus jika ada yang malas ngerjain tugas tapi beliau suka bercanda juga, apalagi masalah cinta. Suka jika bercerita dengan beliau.
Berbeda dengan Bu Wulan. Beliau adalah pembimbing Ikma untuk maju dalam olimpiade IPS. Bu Wulan itu suka marah marah. Lebih sering malahan. Dikit-dikit marah, salah sedikit marah. Tapi jika beliau tertawa suasana tegang menjadi cair seketika. Tertawanya Bu Wulan itu beda dari yang lain. Beliau lebih suka bercanda tapi bisa marah seketika itu juga.
“Nanti Ikma sama Ibu, si Putri sama Bu Arrini ya?”, kata Bu Wulan.
Ya okelah, memang aku pengen bonceng Bu Arrini karena beliaulah yang mengajari aku semalaman. Aduh, aku dan Ikma lupa membawa jaket. Hal itu tidak jadi masalah karena kami dipinjami jaket SM3T milik kedua guru kesayangan kami. Wah, coba saja aku bisa memakai jaket ini selamanya. Pasti keren nih. Hanya berkhayal sambil kutarik resleting jaket kebanggaan.
Pinggiran sungai, sampan terparkir rapi di sana. Bengkayang, tunggu aku. Kami menyeberangi sungai Kumba yang berwarna cokelat sehabis hujan tadi malam. Sejuk menusuk tubuh menambah semangatku untuk berjuang. Yah, kurasa ini kesempatan yang Tuhan berikan untukku dalam membanggakan orang tua. Walaupun aku tahu kemampuanku tidak seberapa, tapi jika Tuhan menghendaki, apa yang tidak mungkin?
 “Wahh... gila ni spanduk. Keren wak”, kebiasaan Ikma yang suka heran dengan segala sesuatu.
“Selamat datang, silakan isi daftar hadir. Adek dari sekolah mana?”
“Ya Pak, terimakasih. Kami dari SMP Jagoi”, jawabku.
Terik matahari mulai menyengat kulit. Aku dan Ikma menuju ke lapangan dengan peluh menetes-netes setelah berlari dari tempat parkir menuju tempat registrasi. Kejadian yang hampir membuat kami menyerah. Gagal berangkat olimpiade karena motor rusak. Motor yang dibawa Bu Arrini dan aku mengalami lepas rantai.
“Tidak!!!”, jeritku dalam hati. Tidak ada orang melintas, sedangkan kami berempat perempuan semua yang kurang tahu membenahi motor rusak apalagi rantai lepas. Aduh, apa yang bisa ku lakukan.
“Jemarimu penuh dengan oli, Bu”, nadaku sangat khawatir.
“Tak apa, nanti kita cuci tangan”, suara  Bu Arrini menentramkan kepanikanku sesaat. “Bu Wulan, tolong anak-anak kau bawa dulu sampai ke Bengkayang. Biar motor ini saya yang urus. Bisakan boncengin dua anak? Hati-hati bawa motornya. Tinggalkan saja saya dan motornya di sini”.
“Tapi nanti kau gimana di jalan? Tidak apakah sendiri?”, jawab Bu Wulan.
“Santai. Semoga tidak apa. Cepat pergi, nanti saya susul belakangan”, jawab Bu Arrini seperti biasa.
Aku dan semua peserta olimpiade berbaris rapi melakukan upacara pembukaan. Kusapu pemandangan di depan mata, tapi tak nampak juga guru yang kutinggalkan tadi di jalan. Di mana beliau, apakah sudah perjalanan menuju kemari? Ataukah masih menuntun motor kami yang lepas rantai di jalan tadi? Baik-baik saja kah kau, Bu? Aku menunggumu untuk menyemangati dan menghantarkanku masuk ruangan peserta olimpiade matematika.
***
Itu beliau. Aku melihatnya. Senyuman beliau kepada petugas registrasi. Dengan baju pink berjaket hitam dan celana kain abu-abu yang bernoda oli. Pasti itu dia guruku. Ku tegakkan kepalaku memandang beliau. Ku lihat lambaian tanganmu Bu Arrini. Terimakasih Bu.
“Anak-anak di mana ruangan kalian?”
“Di ruang 01, Bu,” jawabku atas pertanyaan Bu Wulan.
“Bu Arrini hantarkan Putri masuk ya? Ikma saya yang hantar”.
Kusambut tangan hangat Bu Arrini dan Bu Wulan untuk meminta doa restu. Berharap kami lancar dan dimudahkan dalam mengerjakan soal. Kulangkahkan kaki menuju tempat pertarungan kami. Yah, apapun hasilnya aku akan berjuang semaksimal mungkin.
Kuterima lembaran kuning yang ku mimpikan semalam. Huffft, sekarang kenyataan kataku. Kubuka lembaran soal itu, dan memang benar aku harus berjuang keras. Tak apa, waktu yang diberikan yaitu 2 jam akan kugunakan dengan bijak.
***
“Hufft...”
“Kenapa kau, Put? Susah kah soalnya?” tanya Ikma dengan nada bersemangat.
“Lumayan, susah sekali”
“Hahaha, sama juga. Yang penting kita udah berusaha,” Ikma tampak menyemangatiku.
Benar juga. Aku dan Ikma sudah melakukan yang terbaik. Sekarang tinggal kita serahkan keputusan kepada yang berwenang. Tiga terbaik akan mewakili Kabupaten Bengkayang lanjut ke Pontianak. Kalau salah satu dari kami bisa lolos tiga besar, ini bisa masuk rekor dunia kataku dalam hati. Belum pernah sebelumnya sekolah kami ada yang lolos sampai ke Pontianak. Ini pun baru pertama kali kami olimpiade matematika dan olimpiade IPS mendapatkan juara pertama di tingkat rayon. Meski ada sedikit masalah dalam penentuan juara satu olimpiade IPS karena ada dua orang yang memperoleh nilai tertinggi yang sama.
“Halo anak-anak... Gimana tadi ngerjainnya?” tanya Bu Wulan sambil bercanda.
“Yah, begitulah Bu. Ada yang bisa, ada yang susah,” jawab Ikma.
Aku hanya tersenyum kepada Bu Arrini karena memang susah benar soalnya.
“Tidak apa-apa, kalian sudah melakukan yang terbaik. Kita tinggal berdoa saja, besok ajari adik tingkatmu lho yaa! Biar sama-sama pinternya,” jawab Bu Wulan lagi.
***
Seteguk  demi seteguk es cincau masuk ke dalam tenggorokanku yang kering. Ini es cincau paling enak yang pernah kurasakan. Mungkin efek otak terkuras saat mengerjakan soal olimpiade. Kami berhenti di sebuah warung untuk istirahat, makan dan minum sejenak. Pukul dua belas siang kami singgah di kontrakan guru SM3T lain yang bertugas di Bengkayang. Kontrakan yang cukup luas berada di lantai 2. Ada 4 orang di sana. Satu orang mengajar SMK dan 3 lainnya mengajar di SLB.
“Oke, kita pulang jam satu siang saja ya. Menunggu matahari lengser sedikit biar kulit tidak terbakar parah. Hhhi...”
“Yang penting ga kemaleman nyebrang sungainya. Nanti kita kena marah Mamak tu,” sahut Bu Wulan kepada Bu Arrini.
“Nanti pulangnya pelan-pelan saja ya. Hati-hati di jalan” kata Bu Arrini sambil memacking barang bawaan.
Tepat pukul satu siang, kami bersiap pulang. Sangat yang melelahkan mungkin. Tiga jam berkendara pulang ke perbatasan. Panas sekali. Matahari tolonglah kau malu sedikit. Fatamorgana memenuhi aspal. Naik turun bukit, berkelok-kelok, sepoi angin saat melewati hutan, semua itu menjadi hiasan sepanjang perjalanan.
“Astaga !!!”
“Wulan !!!” suara teriakan Bu Arrini keras di telingaku.
Sraakkkk... Terlihat jelas insiden mengerikan. Seluruh badanku serasa kaku saat motor yang dikendarai Bu Wulan jatuh ketika menghindari aspal berlubang. Tubuhku serasa terpental. Motor yang ku kendarai bersama Bu Arrini banting stir ke kanan, beliau terseret aspal dan jatuh ke kiri. Tak sadar aku sudah terduduk di atas motor yang ku kendarai di tengah jalan menuju Lumar.
Aku segera bangkit, tubuhku bergetar hebat. Langkah kakiku tak kuat lagi untuk berjalan. Aku terduduk di pinggir aspal. Seketika kulihat Bu Arrini bangun dengan lengan jaket penuh debu dan koyak terkena aspal.
“Wulan... Wulan... Kamu ga papa?!” suara Bu Arrini sangat keras. Beliau langsung memegang bahu Bu Wulan yang lama tak bergerak di kiri jalan, tengkurap dan tak bergerak. Benar-benar seperti mau copot jantungku.
“Rin... anak-anak dimana?”
“Mereka ga papa, astaga...,” kulihat genangan air mata yang tertahan disana.
“Rin.. Ikma mana? Putri mana? Gimana keadaan mereka?” suara lirih Bu Wulan.
“Itu dia di samping kamu, dia tak apa,” sahut Bu Arrini menenangkan Bu Wulan.
“Aduh, mukaku...”
“Wulan..., kamu...” tak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut Bu Arrini.
Darah mengalir dari hidung Bu Wulan. Kening beliau sobek. Luka lecet parah di bawah mata kanan. Kacamata beliau patah. Banyak darah menetes. Kaca helm Bu Wulan dipenuhi cipratan darah. Sarung tangan beliau memerah karena menahan aliran darah dari hidung. Kulihat di sekeliling, banyak orang tapi tak satupun menolong kami. Hanya dua orang yang memindahkan motor kami ke pinggir jalan. Panik, syok, ingin menangis, dan tak tahu harus berbuat apa.
“Tolong... tolong Pak! Teman saya terjatuh” suara memohon Bu Arrini. Beliau berlari ke arah depan saat ada mobil melintas. “Tolong bawa dia ke rumah sakit!”
Bergetar suara guruku. Berlari dan memohon.
“Aduh, gimana ya, saya bawa penumpang ini,” jawab pengendara mobil.
“Tidak bisakah membawanya ke rumah sakit, Pak? Tolong kami,” mohon Bu Arrini.
Lelaki pengendara mobil itu tidak menjawab. Dia berlari menuju mobil dan malah mengambilkan satu pack tisu untuk membersihkan darah Bu Wulan. Apa apaan ini. Sungguh tidak berperi kemanusiaan. Mobil hitam itu malah pergi.
“Bang, tolong kami Bang, teman saya kecelakaan, tolong bawa dia ke rumah sakit”.
Bergegas Bu Arrini berlari dengan kaki pincang ke belakang mencari pertolongan lain. Terlihat mobil putih yang dikendarai oleh pemuda berhenti di pinggir jalan karena terhalang kerumunan orang yang hanya sekedar melihat kecelakaan. Tampak Bu Wulan tengah merintih menahan sakit dan menekan luka agar darah tidak keluar. Jaket hijau yang beliau kenakan berlengan merah penuh darah.
Pemuda itu bersedia menghantarkan kami ke puskesmas. Bu Arrini memapah Bu Wulan yang sempoyongan karena kehilangan banyak darah. Hatiku bergetar. Nampak dua orang yang berjuang untuk menghantarkan kami pulang tetapi malah mendapatkan musibah. Kubuka pintu mobil, kami semua masuk mobil, kecuali Bu Arrini. Beliau membuntuti mobil dengan motornya yang bengkok stir.
“Kamu kenapa, Ikma? Ibu ga papa kok, ini lihat Ibu masih bisa ketawa, cuma agak kaku aja karena sekarang bibir Ibu jadi tebal, hhe,” Bu Wulan memeluk Ikma yang menangis.
Ikma menangis saat luka diwajah guru IPS ku dibersihkan oleh perawat. Hampir tak ku kenali wajah guru IPS ku ini. Ikma sama sekali tidak menjawab setiap celotehan Bu Wulan yang terdengar menghibur. Dia hanya diam lalu menangis.
“Udah diobati semua lukanya, Wul?” tanya Bu Arrini.
“Udah, kamu gimana keadaannya?”
“Ga papa, cuma lecet dan memar di kaki kiriku. Lutut ku ga kerasa kalau disentuh,” jawab beliau.
“Nanti kita ronsen aja,” sahut Bu Wulan.
Malam hari, kami dijemput kawan guru Bu Wulan menuju ke kontrakan guru SM3T Bengkayang. Rencananya pagi hari kami baru pulang. Kami dicarikan tukang urut untuk mengecek adanya luka terkilir. Bu Wulan dibawa ke rumah sakit untuk di cek ulang, luka di bawah hidungnya cukup dalam sehingga harus dijahit, tetapi Bu Wulan menolaknya. Luka sobek di bawah hidung beliau hanya dibalut dengan kasa dan plester luka biasa. Bu Wulan memang kuat kataku dalam hati. Beliau masih bisa menghibur kami sedangkan beliau yang menderita luka paling parah, lebam ruam, merah bengkak sudah paras cantiknya. Dia memperlihatkan kacamata dan helmnya yang penuh darah.
“Wah, kacamata baru lagi nih. Patah tangkainya. Hmm.. santai, tak masalah,” kata Bu Wulan yang bercanda dengan guru lain yang ada dalam ruangan itu.
Kurebahkan badan di atas kasur kontrakan. Lututku perih tergores aspal. Ikma meringis kesakitan. Siku, bahu, dan perutnya terluka karena terseret di aspal. Saat ku buka mata, hari sudah berganti. Pagi yang cerah, dan aku akan pulang.
***
Tiga hari berlalu, sepi tanpa kehadiran kedua guru tersayangku. Kami belajar bersama mahasiswa yang sedang KKM di dusun. Semoga secepatnya mereka akan berangkat ke sekolah. Aku merindukan guruku.
Hari Senin yang cerah, upacara bendera akan dilaksanakan. Kudengar suara motor itu. Ternyata guru kami berdua berangkat ke sekolah. Yeah, senangnya hatiku. Aku dan semua teman-teman menyambut dan bersorak bahagia karena guru kami sudah bisa mengajar.
Terimakasih guruku, ketulusanmu tak bisa dibayar dengan apapun. Kau mengajarkan keikhlasan dan perjuangan meraih cita-cita untuk masa depan yang lebih baik. Kau mengajarkanku untuk mempunyai mimpi, meraih mimpi, bersyukur atas mimpi yang dicapai, bahkan untuk bersama membagi mimpi dengan orang lain.
-the end-
 oleh Arrini Ditta Margarani, S.Pd.

No comments:

Post a Comment

Merdeka Belajar

 Merdeka Belajar Kebebasan setiap individu atas hak-haknya tanpa melanggar atau mengambil hak kebebasan individu lain-Ki HadjarDewantara Leb...