Sebuah
perjalanan yang sangat melelahkan, menguras tenaga dan pikiran. Tanggal 7 September 2016, sebuah cerita perjalanan hidup dimulai. Saat itu hari
Rabu, pagi menuju siang, sebuah perjalanan
awal saya menuju sebuah daerah antah berantah, yang pada saat itu saya juga susah menyebutkan
nama daerahnya. Begitu
banyak hal
yang berkecamuk di pikiran
saya saat itu, sehingga nama desa itupun susah rasanya saya ingat.
Perjalanan
dimulai dari rumah Bapak Kepala Sekolah, Bapak Epi Gunaepi, dengan mengendarai sepeda motor. Awalnya Pak Epi bertanya, “Pak
Hen, bisa naik motor?”, langsung saya jawab, “Bisa
Pak...”. Satu pertanyaan itu membuat saya makin bertanya-tanya dalam hati, “Apa maksudnya ini?”. “Kalo
hanya
naik motor, emak-emak komplek aja bisa, wah ada yang nggak beres ini”. Singkat cerita, perjalanan menuju sekolah
dimulai dari Simpang
Preges, dengan
kondisi jalan aspal yang sudah mengelupas. Dilanjutkan dengan jalanan berbatu sekitar 2 km. Sepeda motor sudah bergetar memberontak, tetapi Pak Epi hanya mengatakan, “Tidak apa, sudah biasa”.
Jalan
berbatu berganti dengan jalan tanah. Di area
perkebunan sawit, jalanan mulai
licin, karena semalam memang turun hujan,
roda motor berbelok kesana kemari
sulit dikendalikan. Tangan mulai terasa berat untuk mengendalikan
kemudi, selang sekitar
setengah jam lamanya sampailah
di sebuah kampung, yakni
Kampung Tadan. Di sini kami harus menyebrangi sungai dengan menggunakan
jembatan titian satu batang kayu. Keadaan tersebut membuat nyali saya ciut, akhirnya Pak Epi yang
menyebrangkan motor melewati jembatan satu batang itu.
Lanjut
bermotor, naik turun bukit, hingga sampai di sebuat bukit. “Sekolahnya
dimana Pak?
Masih jauhkah?”, tanya saya
pada Pak Epi. “Endak,
itu tu, di atas
bukit itu jak, sahut
Pak
Epi”. “Alhamdulillah, akhirnya nak mau sampai jua
di sekolah”, batin saya. Rasa lega
menyelimuti hati saya.
Sesampainya di Baloi, motor saya jatuh, dan saat itulah saya menyerah untuk
membawanya.
Kamipun memutuskan untuk beristirahat
sejenak, dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Satu tanjakan saya lewati, sudah tidak kuat
rasanya untuk berjalan,
tenaga sudah habis.
“Capek kah Pak Hen?”, tanya Pak Epi,
“Iya Pak,
capek sekali. Bapak
tidak capek kah?”,
tanya saya lagi.
”Tidak begitu, udah biasa”, jawab Pak Epi.
“Ndak usah dipikirkan, nikmati jaak,
apa adanya”, kata
Pak Epi memberi semangat.
Hingga
kini kata-kata itu saya pegang, dan memang terbukti ampuh. Satu tahun sudah terlewati, seperti tidak
terasa lama, karena kita menikmati segala yang ada, baik itu senang, susah,
sedih, capek, hingga sakit. Akhirnya selesai juga satu tahun
pengabdian di Tamong, dengan perjalanan yang ekstrim, jalan tanah, berlumpur saat hujan, mendorong motor di jalan menanjak, terlewati juga. Jangan terlalu dipikirkan, nikmati saja apa yang ada. Itulah salah satu nilai yang saya dapat dalam
pengabdian program SM-3T (Sarjana
Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) ini.
Banyak
cerita, suka maupun duka yang saya alami dalam pengabdian ini, salah satunya cerita komplotan Trio Error. Di mana anggotanya saya sendiri, Pak Epi selaku kepala sekolah yang berambut putih, dan Pak Jul yang merupakan suami salah seorang guru, orang kota yang nyasar
menemani sang istri di pedalaman. Trio Error, selalu memecah
keheningan dengan canda tawa yang tidak jelas, saling ejek, bertukar cerita lucu.
Hampir semua dewan guru menjadi
bahan
olokan dari salah satu anggota Trio Error ini. Memang tidak sengaja dibentuk, tetapi
mengalir apa adanya. Saling
menghibur karena hiburan di sana
memang tidak ada.
Saling menguatkan, saling memotivasi agar
kita tidak banyak memikirkan keadaan yang serba sulit dan terbatas di Tamong. Tamong,
ya, Tamong adalah nama desa tersebut.
Di mana
di desa itu saya ditugaskan untuk mengabdi selama satu tahun.
Satu
tahun, memang waktu yang tidak begitu lama, namun terasa lama bagi kita yang
ditugaskan di daerah 3T (terdepan,
terluar, dan tertinggal). Banyak cerita haru, cerita lucu, cerita
suka, maupun duka.
Ada juga nilai-nilai kehidupan yang dapat saya petik dalam pelaksanaan program
SM-3T di SD Negeri 03 Tamong ini. Salah satunya, tidak usah
dipikirkan, nikmati saja yang ada. Selain
itu,
kebersamaan.
Seperti apa yang dianut Pak Jul, susah
senang sama-sama. Ya, itu yang sangat penting dalam kita berkawan, dan berkehidupan. Contohnya, kita bisa
bersenang-senang, namun ketika susah, saat teman kesusahan mendorong motor yang
selip di jalan berlumpur, ya kita sebagai teman
harus ikut membantu. Teman ada kerja, kita bantu.
Itulah
beberapa pengalaman saya, banyak nilai kehidupan yang saya dapatkan, saya
belajar menjalani hidup sederhana, makan seadanya, sinyal susah, listrik hanya pada malam hari, itupun baru saja, selalu bersyukur
dengan nikmat yang diberikan Tuhan.
Banyak sekali dan mungkin jika saya tulis, satu artikel
ini tidaklah cukup. Saling membantu, terus ikhlas menjalani hidup, tetap
semangat, salam MBMI. Tamong Punya
Cerita... ( oleh Hendra Jati Puspita, S.Pd.)
No comments:
Post a Comment