Tuesday, January 15, 2019

Salam dari Ujung Negeri


Selamat pagi!
Selamat pagi, pagi, pagi, pagi…!!! NKRI HARGA MATI!
Begitulah teriakan semangat anak-anak tapal batas ketika menjawab salam dari gurunya. Kami yang tinggal di tapal batas Indonesia dengan Malaysia tepatnya di Kecamatan Siding, satu dari dua kecamatan yang ada di Kabupaten Bengkayang yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Hidup di perbatasan dengan Malaysia harus benar-benar menumbuhkan jiwa patriotisme  dan nasionalisme. Kecintaan terhadap tanah air benar-benar diuji di sini, di mana akses keluar masuk Malaysia bisa dikatakan mudah. Hanya dengan naik turun beberapa bukit kita sudah bisa masuk ke Malaysia. Anak-anak sepulang sekolah sering mengajak kami ke Malaysia. Orang-orang di sini memang banyak memiliki kerabatnya yang tinggal di Malaysia. Warga juga menggantungkan hasil buminya seperti jahe dan sahang (lada) untuk dijual ke Malaysia. Tangguhnya orang-orang Dayak, membawa puluhan kilo hasil bumi yang akan dijual ke Malaysia hanya dengan memikul takin (wadah terbuat dari rotan) di kepala mereka. Jalan kaki berpuluh kilometer mendaki perbukitan dan menyusuri lembah, hanya untuk beberapa lembar Ringgit Malaysia. Ketika pulang takin mereka juga tak akan kosong, mereka akan membawa beberapa sembako yang dibelinya di Malaysia. Lembaran-lembaran ringgit yang nantinya juga akan berguna sekali untuk menyambung hidup, membeli kebutuhan sehari-hari dan tentunya untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang bersekolah. Tidak heran ketika anak-anak membeli jajan di kantin sekolah, mereka menggunakan uang Ringgit Malaysia. Tak heran pula ketika ke warung hampir sebagian besar yang dijual di sana adalah produk-produk buatan Malaysia seperti beras, gula, garam, minyak, tepung, sabun, detergen, aneka minuman dan lainnya.
Perjalanan saya di tapal batas ini dimulai ketika saya mengikuti program SM3T. Salah satu program dari Kemendikbud yang menempatkan sarjana-sarjana Pendidikan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Tanggal 6 September 2016 seakan roda waktu baru berjalan. Perjuangan, petualangan, dan pengabdian baru dimulai. Rasa syok menghinggap ketika mendapat lokasi penempatan di Kecamatan Siding. Sedari awal berharap-harap jangan sampai  mendapat tempat ini, kabarnya tempat yang satu ini merupakan kecamatan yang paling jauh dan yang bisa dikatakan paling terisolir di Kabupaten Bengkayang. Di mana akses jalan maupun akses informasi untuk menuju ke sana sangat sulit. Akses jalan menuju Siding bisa ditempuh melalui dua jalur, darat dan air. Akan saling bersinambungan keduanya, ketika musim kemarau orang-orang akan mengandalkan jalur darat dikarenakan air sungai yang surut. Memang masih dapat dijangkau menggunakan sampan, tapi jangan heran jikalau di beberapa tempat kita harus turun ke sungai dan mendorong sampan. Sebaliknya ketika musim penghujan orang-orang akan memanfaatkan jalur air. Jalur darat yang jalannya berupa tanah merah ketika terkena air akan sangat sulit untuk dilewati, apalagi untuk kami pendatang baru yang benar-benar baru merasakan keadaan seperti ini. Naik motorpun harus siap-siap untuk goyang kanan kiri, dan berdorong. Sampai-sampai di beberapa titik bisa-bisa motor lah yang naik manusia, karena jalan yang tidak bisa dilalui. Waktu tempuh menuju pasar terdekat ketika jalan kering hanya satu jam, berbeda ketika jalan sedang berlumpur karena hujan, waktu tempuh bisa sampai tiga atau empat jam. Jembatana atau titian satu papan juga masih banyak kami temui saat awal-awal tiba di sini. Di Bumi Khatulistiwa ini yang hakikatnya memang ditakdirkan untuk hujan sepanjang tahun, kami harus selalu siap dengan keadaan jalan yang seperti ini di mana pagi sampai siang lebih sering panas terik yang seolah mentari membakar kulit kami, dan ketika tengah hari tiba-tiba awan bergerombolan datang dan dalam sekejap hujan deraspun tak terelakkan.
Di era globalisasi seperti saat ini dimana akses informasi dari berbagai penjuru dunia dapat dengan mudah diakses, tetapi tidak bagi masyarakat Siding. Selain akses jalan yang sulit, akses informasi di sini pun sangat sulit dikarenakan tidak ada sinyal. Jangankan untuk berselancar di dunia internet untuk telepon atau sekedar berbalas pesan bertukar informasipun tidak bisa. Entah karena alasan apa satu-satunya tower yang ada di Siding yang menurut informasi didirikan oleh BIN tidak difungsikan. Lalu bagaimana kami yang disini dalam keadaan darurat bertukar informasi? Jawabannya yakni harus memanjat sebuah gunung, Gunung Anggas namanya. Gunung Anggas ini kami rasa seperti warnet. Meski letaknya lumayan jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki, tapi di sini lah tempat terdekat bagi kami untuk bisa mendapatkan akses internet. Cara lain jika hanya untuk mengirim sebuah SMS, yakni dengan cara menggantungkan hp di sudut sekolah. Jika beruntung satu dua strip sinyal bisa didapatkan di tempat ini. Celakanya jika mendapatkan sinyal Roaming dari Malayisa, bisa-bisa pulsa langsung terkuras habis. Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama, setengah tahun pengabdian di sini, tower sudah difungsikan, meskipun hanya bisa untuk sms dan telepon. Hal ini sudah jauh lebih baik, setidaknya untuk bertukar informasi menjadi lebih mudah. Nah, kalau mau akses internet, tetap harus berolahraga mendaki Gunung Anggas. Keterbatasan lainnya yang dijumpai di Siding adalah listrik. Listrik di sini hanya mengandalkan PLTS, jadi listrik hanya menyala dikala malam hari mulai dari jam 17.00 WIB. Listrik padam berbeda-beda di setiap rumah tergantung dari pemakaian. Normalnya jam 07.00 WIB listrik baru padam, tetapi di tempat yang kami tinggali di sekolah, karena banyak yang memakai terkadang jam 21.00 WIB listrik sudah padam. Jikalau kami butuh hiburan ingin menonton televisi, kami pergi ke warung, tentunya sambal menikmati kopi panas dan beberapa gorengan ditemani beberapa warga. Televisi di warung ini walaupun kecil namun bak layar tancap, menjadi tontonan ramai-ramai warga apalagi jika yang disiarkan pertandingan bola.
Sepertinya perbatasan sudah mulai membenahi wajahnya. Daerah terdepan dan terluar yang merupakan halaman bagi negara Indonesia harus senantiasa dipoles dan dipercantik baik dari segi fasilitas fisik maupun Sumber Daya Manusianya. Pemerintah akhir-akhir ini telah menunjukkan perhatiannya, berkat adanya kerja sama antara Dinas PU dan Tentara Zikon maupun Zipur kami bisa sedikit merasakan kenyamanan. Jalan yang awalnya bisa dikatakan hancur sekarang sudah mulai diperbaiki dan diperlebar, jembatan-jembatan juga sudah mulai dibangun. Kepedulian pemerintah juga ditunjukkan dengan mengirim tenaga pendidik (SM3T) untuk membantu dalam dunia pendidikan anak tapal batas. Selain dari bidang pendidikan, ada juga dari bidang kesehatan. Melalui Kemenkes dikirimlah para tenaga kesehatan melalui program Nusantara Sehat. Selain terjun di masyarakat mereka juga melaksanakan beberapa kegiatan di sekolah dengan dibantu oleh guru SM3T, seperti pengembangan materi untuk UKS, peringatan hari HIV/AIDS, serta kegiatan rutin setiap sebulan sekali di hari sabtu minggu ketiga, yakni senam sehat dan dilanjutkan dengan posyandu remaja. Posyandu remaja diisi dengan pengecekan tingkat kesehatan pada setiap siswa serta guru. Kami yang tinggal di perbatasan merasa beruntung bisa hidup bersama berdampingan dengan elemen-elemen pemerintah seperti polisi, tentara, dan tenaga kesehatan. Tentara Lintas Batas (Libas) selain bertugas menjaga perbatasan, mereka juga aktif dalam beberapa kegiatan di sekolah seperti pembekalan materi bela negara serta ikut  dalam kegiatan rutin Pramuka di hari jumat.
Kehadiran mereka menjadikan lingkungan sekolah kami lebih berwarna. Anak-anak menjadi lebih bersemangat untuk bersekolah. Berkilo-kilo meter rela mereka tempuh dengan berjalan kaki hanya untuk mengeyam pendidikan. Konon, orang-orang Dayak dulunya lebih senang tinggal di daerah pedalaman di puncak-puncak pegunungan. Zaman dahulu ketika masih sering terjadi perang antar suku, kondisi ini memudahkan mereka untuk memantau musuh dari atas dan memudahkan mereka sembunyi. Berjam-jam berjalan kaki melewati jalan yang naik turun karena memang berada di daerah pegunungan, belum lagi kalau jalan sedang becek akibat hujan. Akan tetapi bagi mereka kondisi seperti ini sudah biasa. Kondisi inilah yang membuat mereka menjadi lebih tangguh, lebih kuat, dan lebih mandiri. Belum lagi keadaan yang memang mengharuskan mereka untuk tinggal di asrama siswa. Pernah kejadian suatu pagi ketika jam pelajaran berlangsung. Tiba-tiba orang dari atas (sekolah kami berada di dataran rendah/lembah) berlarian membawa ember berisi air berteriak kebakaran, kebakaran. Seketika kami yang sedang belajar pun keluar kelas dan betapa terkejutnya menyaksikan asrama siswa yang berada persis di samping sekolah terbakar. Perasaan lemas seketika dan tanpa sadar air mata pun mengalir. Satu-satunya tempat tinggal mereka yang seadaanya yang hanya berdinding papan dan beratapkan jerami sudah luluh lantah dilalap si jago merah.
Tinggal di asrama membuat mereka mandiri dan memang dasarnya anak-anak di sana sudah dibiasakan dari kecil untuk mandiri oleh orang tuanya. Mereka sudah terbiasa untuk memasak sendiri, mencari kayu api dan sayur-sayuran di hutan, mencari ikan di sungai, berladang, dan lainnya. Sepulang  sekolah kerap kali anak-anak mengajak kami untuk ke hutan mencari sayur. Daun pakis, rebung, dan daun ubi sudah menjadi sayur andalan untuk mereka masak. Saat yang ditunggu-tunggu ketika musim kemarau tiba dalam beberapa hari tidak turun hujan. Jalanan akan mudah dilewati, air sungai jernih dan saat yang tepat untuk mencari ikan. Orang sana menyebutnya dengan istilah nekes. Menyelam ke dasar sungai dan menembak ikan dengan menggunakan senapan yang mereka buat sendiri. Kalau beruntung bisa mendapatkan beberapa ekor udang galah yang besar-besar sebesar lengan tangan. Akan lebih nikmat ketika ikan atau udang yang didapatkan langsung dibakar di tepian sungai. Anak-anak sangat piawai dalam melakukan hal ini. Asalkan membawa Mandau (sejenis parang, senjata tradisional suku Dayak), korek, dan garam pulang-pulang dijamin kenyang. Inilah hiburan kami yang bisa dikatakan satu-satunya dikala rasa bosan melanda. Hijaunya hutan di Tanah Khatulistiwa, jernihnya air sungai, dan suara kicauan-kicauan burung mampu menghipnotis kami dari rasa lelah, bosan, dan rindu rumah. Selain mencari sayur, kayu api ataupun mencari ikan, sepulang sekolah anak-anak menghabiskan sore dengan menyalurkan hobi maupun bakatnya di bidang olahraga. Halaman sekolah bak arena pertandingan, ramai dipenuhi anak-anak. Ada yang bermain sepak bola, voli, basket, tenis meja, bulu tangkis, bahkan sepak takraw yang tentunya dengan lapangan seadanya. Lapangan bulu tangkis yang difungsikan juga untuk basket dan sepak takraw. Urusan lapangan anak-anak perbatasan memang juaranya, sepertinya mereka bermain tanpa ada rasa lelah, tak pandang panas maupun hujan. Tanah lapangan yang semula hijau berumput karena saking seringnya dipakai sampai-sampai berubah seperti layaknya sebuah kubangan, penuh lumpur. Saat yang ditunggu ketika mereka selesai bermain bola penuh lumpur adalah mandi di sungai yang tak jauh dari situ. Melompat dari atas jembatan terjun ke sungai adalah salah satu hal yang paling mengasyikkan. Tak hanya anak-anak SMP maupun SMA, anak-anak SD pun sangat antusias dengan kehadiran guru SM3T, meskipun kami tidak mengajar di SD. Setiap hari Senin ketika kami belum pulang mengajar pun anak-anak sudah datang berhamburan meminta kami untuk mengajar Bahasa Inggris. Kami lebih menerapkan belajar sambil bermain dan bernyanyi, mengenalkan istilah-istilah dasar dalam Bahasa Inggris kepada anak-anak. Semangat mereka ketika bermain sebuah games sangat luar biasa, terkadang justru semangat mereka lah yang menular kepada kami. Suatu kebahagiaan tersendiri bisa berada di antara anak-anak. Saya di sini memang guru mereka, tetapi sepertinya saya yang banyak belajar dari mereka. Belajar tentang kedewasaan, kemandirian, dan kerja keras.
Begitulah gambaran kehidupan di perbatasan dengan segala keterbatasan, namun semangat mereka tak pernah terbatas. Kami yang selalu berpesan kepada anak-anak tuntutlah ilmu setinggi-tingginya, karena mereka lah yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa, generasi yang akan membawa Siding khususnya ke arah peradaban yang lebih maju. Mereka yang harus melanjutkan sekolah sampai jenjang tinggi, jangan sampai teriming-iming untuk bekerja di negara tetangga Malaysia. Anak-anak ketika lulus SMP banyak yang dikirim ke Malaysia karena desakan dari orang tua untuk membantu menunjang ekonomi keluarga, yang memang dari segi upah jauh lebih tinggi. Akan tetapi bagaimanapun juga lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri lain. Anak-anak SMA yang begitu lulus juga diharapkan untuk melanjutkan kuliah. Anak-anak harus bisa eksis di dunia luar, mencari jati diri, mencari pengalaman-pengalaman baru, bukankah pengalaman merupakan guru yang terbaik. Seberangilah laut Nak menuju kehidupan lain yang bisa membawa perubahan, perubahan yang lebih baik tentunya, jangan hanya terkungkung di pedalaman hutan Kalimantan. Kami yang selalu berpesan juga agar terus meningkatkan jiwa patriotisme, nasionalisme, sportifitas, dan daya saing pada jiwa anak-anak.

Salam cinta dari anak-anak ujung negeri dan kami SM3T (Ayi Fidarini-SMP N 1 Siding) dan (Imam Asrofi, Ahmad Chabib, Ulfa Asrifatun Nisfah-SMA N 2 Siding) yang tergabung dalam satu atap”(oleh Ayi Fidarini, S.Pd.)

No comments:

Post a Comment

Merdeka Belajar

 Merdeka Belajar Kebebasan setiap individu atas hak-haknya tanpa melanggar atau mengambil hak kebebasan individu lain-Ki HadjarDewantara Leb...