Selamat pagi!
Selamat
pagi, pagi, pagi, pagi…!!! NKRI HARGA MATI!
Begitulah teriakan semangat anak-anak tapal batas
ketika menjawab salam dari gurunya. Kami yang tinggal di tapal batas Indonesia dengan
Malaysia tepatnya di Kecamatan Siding, satu dari dua kecamatan yang ada di
Kabupaten Bengkayang yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Hidup di perbatasan
dengan Malaysia harus benar-benar menumbuhkan jiwa patriotisme dan nasionalisme. Kecintaan terhadap tanah
air benar-benar diuji di sini, di mana akses keluar masuk Malaysia
bisa dikatakan mudah. Hanya dengan naik turun beberapa bukit kita sudah bisa
masuk ke Malaysia. Anak-anak sepulang sekolah sering mengajak kami ke Malaysia.
Orang-orang di sini memang banyak memiliki kerabatnya yang tinggal di Malaysia.
Warga juga menggantungkan hasil buminya seperti jahe dan sahang (lada) untuk dijual
ke Malaysia. Tangguhnya orang-orang Dayak, membawa puluhan kilo hasil bumi yang akan dijual ke
Malaysia hanya dengan memikul takin (wadah terbuat dari rotan) di kepala mereka.
Jalan kaki berpuluh kilometer mendaki perbukitan dan menyusuri lembah, hanya
untuk beberapa lembar Ringgit Malaysia. Ketika pulang takin mereka juga tak
akan kosong, mereka akan membawa beberapa sembako yang dibelinya di Malaysia. Lembaran-lembaran
ringgit yang nantinya juga akan berguna sekali untuk menyambung hidup, membeli
kebutuhan sehari-hari dan tentunya untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang
bersekolah. Tidak heran ketika anak-anak membeli jajan di kantin sekolah, mereka
menggunakan uang Ringgit Malaysia. Tak heran pula ketika ke warung hampir
sebagian besar yang dijual di sana adalah produk-produk buatan Malaysia seperti
beras, gula, garam, minyak, tepung, sabun, detergen, aneka minuman dan lainnya.
Perjalanan saya di tapal batas ini dimulai ketika saya
mengikuti program SM3T. Salah satu program dari Kemendikbud yang menempatkan
sarjana-sarjana Pendidikan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Tanggal
6 September 2016 seakan roda waktu baru berjalan. Perjuangan, petualangan, dan
pengabdian baru dimulai. Rasa syok menghinggap ketika mendapat lokasi
penempatan di Kecamatan Siding. Sedari awal berharap-harap jangan sampai mendapat tempat ini, kabarnya tempat yang
satu ini merupakan kecamatan yang paling jauh dan yang bisa dikatakan paling
terisolir di Kabupaten Bengkayang. Di mana akses jalan
maupun akses informasi untuk menuju ke sana sangat sulit. Akses jalan menuju
Siding bisa ditempuh melalui dua jalur, darat dan air. Akan saling
bersinambungan keduanya, ketika musim kemarau orang-orang akan mengandalkan
jalur darat dikarenakan air sungai yang surut. Memang masih dapat dijangkau menggunakan
sampan, tapi jangan heran jikalau di beberapa tempat kita harus turun ke sungai
dan mendorong sampan. Sebaliknya ketika musim penghujan orang-orang akan
memanfaatkan jalur air. Jalur darat yang jalannya berupa tanah merah ketika
terkena air akan sangat sulit untuk dilewati, apalagi untuk kami pendatang baru
yang benar-benar baru merasakan keadaan seperti ini. Naik motorpun harus
siap-siap untuk goyang kanan kiri, dan berdorong. Sampai-sampai di beberapa
titik bisa-bisa motor lah yang naik manusia, karena jalan yang tidak bisa dilalui.
Waktu tempuh menuju pasar terdekat ketika jalan kering hanya satu jam, berbeda
ketika jalan sedang berlumpur karena hujan, waktu tempuh bisa sampai tiga atau
empat jam. Jembatana atau titian satu papan juga masih banyak kami temui saat
awal-awal tiba di sini. Di Bumi Khatulistiwa ini yang hakikatnya memang
ditakdirkan untuk hujan sepanjang tahun, kami harus selalu siap dengan keadaan
jalan yang seperti ini di mana pagi sampai siang lebih sering panas terik yang
seolah mentari membakar kulit kami, dan ketika tengah hari tiba-tiba awan
bergerombolan datang dan dalam sekejap hujan deraspun tak terelakkan.
Di era globalisasi seperti saat ini dimana akses
informasi dari berbagai penjuru dunia dapat dengan mudah diakses, tetapi tidak
bagi masyarakat Siding. Selain akses jalan yang sulit, akses informasi di sini
pun sangat sulit dikarenakan tidak ada sinyal. Jangankan untuk berselancar di
dunia internet untuk telepon atau sekedar berbalas pesan bertukar informasipun
tidak bisa. Entah karena alasan apa satu-satunya tower yang ada di Siding yang
menurut informasi didirikan oleh BIN tidak difungsikan. Lalu bagaimana kami
yang disini dalam keadaan darurat bertukar informasi? Jawabannya yakni harus
memanjat sebuah gunung, Gunung Anggas namanya. Gunung Anggas ini kami rasa
seperti warnet. Meski letaknya lumayan jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki,
tapi di sini lah tempat terdekat bagi kami untuk bisa
mendapatkan akses internet. Cara lain jika hanya untuk mengirim sebuah SMS,
yakni dengan cara menggantungkan hp di sudut sekolah. Jika beruntung satu dua
strip sinyal bisa didapatkan di tempat ini. Celakanya jika mendapatkan sinyal
Roaming dari Malayisa, bisa-bisa pulsa langsung terkuras habis. Akan tetapi hal
ini tidak berlangsung lama, setengah tahun pengabdian di sini, tower sudah
difungsikan, meskipun hanya bisa untuk sms dan telepon. Hal ini sudah jauh lebih
baik, setidaknya untuk bertukar informasi menjadi lebih mudah. Nah, kalau mau
akses internet, tetap harus berolahraga mendaki Gunung Anggas. Keterbatasan
lainnya yang dijumpai di Siding adalah listrik. Listrik di sini
hanya mengandalkan PLTS, jadi listrik hanya menyala dikala malam hari mulai
dari jam 17.00 WIB. Listrik padam berbeda-beda di setiap rumah tergantung dari
pemakaian. Normalnya jam 07.00 WIB listrik baru padam, tetapi di tempat yang
kami tinggali di sekolah, karena banyak yang memakai terkadang jam 21.00 WIB
listrik sudah padam. Jikalau kami butuh hiburan ingin menonton televisi, kami
pergi ke warung, tentunya sambal menikmati kopi panas dan beberapa gorengan
ditemani beberapa warga. Televisi di warung ini walaupun kecil namun bak layar
tancap, menjadi tontonan ramai-ramai warga apalagi jika yang disiarkan
pertandingan bola.
Sepertinya perbatasan sudah mulai membenahi wajahnya. Daerah
terdepan dan terluar yang merupakan halaman bagi negara Indonesia harus
senantiasa dipoles dan dipercantik baik dari segi fasilitas fisik maupun Sumber
Daya Manusianya. Pemerintah akhir-akhir ini telah menunjukkan perhatiannya, berkat
adanya kerja sama antara Dinas PU dan Tentara Zikon maupun Zipur kami bisa
sedikit merasakan kenyamanan. Jalan yang awalnya bisa dikatakan hancur sekarang
sudah mulai diperbaiki dan diperlebar, jembatan-jembatan juga sudah mulai
dibangun. Kepedulian pemerintah juga ditunjukkan dengan mengirim tenaga
pendidik (SM3T) untuk membantu dalam dunia pendidikan anak tapal batas. Selain
dari bidang pendidikan, ada juga dari bidang kesehatan. Melalui Kemenkes dikirimlah
para tenaga kesehatan melalui program Nusantara Sehat. Selain terjun di masyarakat
mereka juga melaksanakan beberapa kegiatan di sekolah dengan dibantu oleh guru
SM3T, seperti pengembangan materi untuk UKS, peringatan hari HIV/AIDS, serta
kegiatan rutin setiap sebulan sekali di hari sabtu minggu ketiga, yakni senam
sehat dan dilanjutkan dengan posyandu remaja. Posyandu remaja diisi dengan pengecekan
tingkat kesehatan pada setiap siswa serta guru. Kami yang tinggal di perbatasan
merasa beruntung bisa hidup bersama berdampingan dengan elemen-elemen
pemerintah seperti polisi, tentara, dan tenaga kesehatan. Tentara Lintas Batas
(Libas) selain bertugas menjaga perbatasan, mereka juga aktif dalam beberapa
kegiatan di sekolah seperti pembekalan materi bela negara serta ikut dalam kegiatan rutin Pramuka di hari jumat.
Kehadiran mereka menjadikan lingkungan sekolah kami
lebih berwarna. Anak-anak menjadi lebih bersemangat untuk bersekolah.
Berkilo-kilo meter rela mereka tempuh dengan berjalan kaki hanya untuk mengeyam
pendidikan. Konon, orang-orang Dayak dulunya lebih senang tinggal di daerah
pedalaman di puncak-puncak pegunungan. Zaman dahulu ketika masih sering terjadi
perang antar suku, kondisi ini memudahkan mereka untuk memantau musuh dari atas
dan memudahkan mereka sembunyi. Berjam-jam berjalan kaki melewati jalan yang
naik turun karena memang berada di daerah pegunungan, belum lagi kalau jalan
sedang becek akibat hujan. Akan tetapi bagi mereka kondisi seperti ini sudah
biasa. Kondisi inilah yang membuat mereka menjadi lebih tangguh, lebih kuat, dan
lebih mandiri. Belum lagi keadaan yang memang mengharuskan mereka untuk tinggal
di asrama siswa. Pernah kejadian suatu pagi ketika jam pelajaran berlangsung.
Tiba-tiba orang dari atas (sekolah kami berada di dataran rendah/lembah)
berlarian membawa ember berisi air berteriak kebakaran, kebakaran. Seketika
kami yang sedang belajar pun keluar kelas dan betapa terkejutnya menyaksikan asrama
siswa yang berada persis di samping sekolah terbakar. Perasaan lemas seketika
dan tanpa sadar air mata pun mengalir. Satu-satunya tempat tinggal mereka yang
seadaanya yang hanya berdinding papan dan beratapkan jerami sudah luluh lantah
dilalap si jago merah.
Tinggal di asrama membuat mereka mandiri dan memang dasarnya
anak-anak di sana sudah dibiasakan dari kecil untuk mandiri oleh orang tuanya.
Mereka sudah terbiasa untuk memasak sendiri, mencari kayu api dan sayur-sayuran
di hutan, mencari ikan di sungai, berladang, dan lainnya. Sepulang sekolah kerap kali anak-anak mengajak kami
untuk ke hutan mencari sayur. Daun pakis, rebung, dan daun ubi sudah menjadi
sayur andalan untuk mereka masak. Saat yang ditunggu-tunggu ketika musim
kemarau tiba dalam beberapa hari tidak turun hujan. Jalanan akan mudah
dilewati, air sungai jernih dan saat yang tepat untuk mencari ikan. Orang sana
menyebutnya dengan istilah nekes. Menyelam ke dasar sungai dan menembak ikan dengan
menggunakan senapan yang mereka buat sendiri. Kalau beruntung bisa mendapatkan
beberapa ekor udang galah yang besar-besar sebesar lengan tangan. Akan lebih
nikmat ketika ikan atau udang yang didapatkan langsung dibakar di tepian
sungai. Anak-anak sangat piawai dalam melakukan hal ini. Asalkan membawa Mandau
(sejenis parang, senjata tradisional suku Dayak), korek, dan garam
pulang-pulang dijamin kenyang. Inilah hiburan kami yang bisa dikatakan
satu-satunya dikala rasa bosan melanda. Hijaunya hutan di Tanah Khatulistiwa,
jernihnya air sungai, dan suara kicauan-kicauan burung mampu menghipnotis kami
dari rasa lelah, bosan, dan rindu rumah. Selain mencari sayur, kayu api ataupun
mencari ikan, sepulang sekolah anak-anak menghabiskan sore dengan menyalurkan
hobi maupun bakatnya di bidang olahraga. Halaman sekolah bak arena pertandingan,
ramai dipenuhi anak-anak. Ada yang bermain sepak bola, voli, basket, tenis
meja, bulu tangkis, bahkan sepak takraw yang tentunya dengan lapangan seadanya.
Lapangan bulu tangkis yang difungsikan juga untuk basket dan sepak takraw.
Urusan lapangan anak-anak perbatasan memang juaranya, sepertinya mereka
bermain tanpa ada rasa lelah, tak pandang panas maupun hujan. Tanah lapangan yang
semula hijau berumput karena saking seringnya dipakai sampai-sampai berubah
seperti layaknya sebuah kubangan, penuh lumpur. Saat yang ditunggu ketika
mereka selesai bermain bola penuh lumpur adalah mandi di sungai yang
tak jauh dari situ. Melompat dari atas jembatan terjun ke sungai adalah salah
satu hal yang paling mengasyikkan. Tak hanya anak-anak SMP maupun SMA,
anak-anak SD pun sangat antusias dengan kehadiran guru SM3T, meskipun kami tidak
mengajar di SD. Setiap hari Senin ketika kami belum pulang mengajar pun
anak-anak sudah datang berhamburan meminta kami untuk mengajar Bahasa Inggris.
Kami lebih menerapkan belajar sambil bermain dan bernyanyi, mengenalkan istilah-istilah
dasar dalam Bahasa Inggris kepada anak-anak. Semangat mereka ketika bermain
sebuah games sangat luar biasa,
terkadang justru semangat mereka lah yang menular kepada kami. Suatu
kebahagiaan tersendiri bisa berada di antara anak-anak. Saya di sini
memang guru mereka, tetapi sepertinya saya yang banyak belajar dari mereka.
Belajar tentang kedewasaan, kemandirian, dan kerja keras.
Begitulah gambaran kehidupan di perbatasan dengan
segala keterbatasan, namun semangat mereka tak pernah terbatas. Kami yang
selalu berpesan kepada anak-anak tuntutlah ilmu setinggi-tingginya, karena
mereka lah yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa, generasi yang
akan membawa Siding khususnya ke arah peradaban yang lebih maju. Mereka yang
harus melanjutkan sekolah sampai jenjang tinggi, jangan sampai teriming-iming
untuk bekerja di negara tetangga Malaysia. Anak-anak ketika lulus SMP banyak
yang dikirim ke Malaysia karena desakan dari orang tua
untuk membantu menunjang ekonomi keluarga, yang memang dari segi upah jauh
lebih tinggi. Akan tetapi bagaimanapun juga lebih baik hujan batu di negeri
sendiri daripada hujan emas di negeri lain. Anak-anak SMA yang begitu lulus
juga diharapkan untuk melanjutkan kuliah. Anak-anak harus bisa eksis di dunia
luar, mencari jati diri, mencari pengalaman-pengalaman baru, bukankah pengalaman
merupakan guru yang terbaik. Seberangilah laut Nak menuju kehidupan lain yang
bisa membawa perubahan, perubahan yang lebih baik tentunya, jangan hanya
terkungkung di pedalaman hutan Kalimantan. Kami yang selalu berpesan juga agar
terus meningkatkan jiwa patriotisme, nasionalisme, sportifitas, dan daya saing
pada jiwa anak-anak.
“Salam
cinta dari anak-anak ujung negeri dan kami SM3T (Ayi Fidarini-SMP N
1 Siding) dan (Imam Asrofi, Ahmad Chabib, Ulfa Asrifatun Nisfah-SMA N
2 Siding) yang tergabung dalam satu atap”( oleh Ayi Fidarini, S.Pd.)
No comments:
Post a Comment