Capkala,
daerah yang belum pernah saya tahu sebelumnya bahkan namanya pun Belu pernah saya
dengar, namun ternyata masih menjadi bagian dari Indonesia. Capkala adalah nama
sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan
Barat. Kecamatan Capkala terletak pada wilayah pegunungan Kabupaten Bengkayang,
dengan nilai kearifan lokal dan adat Suku Dayak yang masih sangat kental. Pada
akhirnya, program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal
(SM3T) memperkenalkan saya dengan daerah Capkala sebagai tempat penugasan
selama satu tahun terhitung sejak tanggal 5 September 2016 sampai dengan
tanggal 24 Agustus 2017.
Berdasarkan
Surat Keterangan dari Kabupaten Bengkayang, saya ditugaskan untuk mengajar di
SMP Negeri 3 Capkala. Sekolah yang baru dua tahun dibangun melalui hasil
kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak Australia. Ya, Pemerintah
Daerah Kabupaten Bengkayang menyadari bahwa daerahnya merupakan daerah yang
sedang berkembang, karena merupakan daerah pemekaran baru dari wilayah Kabupaten
Sambas sejak tahun 1999. Pemerintah Daerah berpendapat bahwa untuk membangun
wilayahnya, mesti terlebih dahulu membangun manusianya, sehingga Pemda setempat
sangat gencar memprioritaskan aspek pendidikan dalam bidang pembangunan. Telah
banyak sekolah-sekolah baru yang dibangun dalam beberapa kurun waktu terakhir.
Pembangunan sekolah tidak luput juga dilaksanakan di daerah yang terdalam pada
wilayah kecamatan, seperti halnya SMP Negeri 3 Capkala.
SMP
Negeri 3 Capkala berlokasi di ujung Desa Saheban. Lokasi sekolah dikelilingi
persawahan dan bukit-bukit. Tujuan dibangunnya SMP Negeri 3 Capkala adalah
untuk memfasilitasi anak-anak yang berasal dari desa Sarangan, Sebandut, dan
Setanduk agar lebih dekat ke Sekolah. Sebelum SMP Negeri 3 Capkala didirikan,
anak-anak dari ketiga desa tersebut harus menempuh waktu kurang lebih satu
setengah jam ke sekolah dengan berjalan kaki. Maklum, karena memang belum ada
angkutan umum yang beroperasi di kebanyakan wilayah Kecamatan Capkala. Hal ini
dikarenakan, akses jalan yang masih buruk. Setelah SMP Negeri 3 Capkala
dibangun, anak-anak selambat-lambatnya hanya memerlukan waktu satu jam
berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, namun harus melewati bukit.
Anak–anak
peserta didik di SMP Negeri 3 Capkala merupakan anak–anak petani atau pekebun sederhana,
yang beberapa memiliki umur lebih tua dari usia masuk sekolah menengah pertama.
Hal ini karena mereka merasa harus membantu orang tua mereka bekerja atau
karena budaya bekerja dini yang masih berlaku di lingkungan sekitar, sehingga
setelah lulus sekolah dasar, mereka tidak melanjutkan ke jenjang SMP. Namun
setelah merasakan bekerja dan dengan dorongan dari orang tua, mereka memiliki
kesadaran untuk melanjutkan sekolah kembali ke jenjang SMP. Setelah melanjutkan
ke SMP pun, masih terdapat peserta didik yang berhenti sekolah dengan alasan
yang sama, yaitu bekerja. Selama kurun waktu enam bulan saya mengajar sudah ada
tiga orang peserta didik yang berhenti sekolah, yaitu: Peri (kelas VIII), Ratno
(kelas VIII), dan Parman (Kelas VII). Sedangkan dalam kurun waktu saya mengajar
selama satu tahun, peserta didik yang berhenti sekolah bertambah satu orang,
yaitu Rusdi (Kelas VIII). Semua peserta didik tersebut berhenti karena ingin
bekerja, padahal orang tua masih sangat mendukung mereka untuk sekolah. Pihak
sekolah yang diwaikili oleh wali kelas telah melakukan pendekatan dengan
mendatangi mereka ke rumah, namun keyakinan mereka untuk berhenti masih sangat
kukuh. Selain itu, kegiatan bekerja juga membuat waktu belajar peserta didik
terbatas. Beberapa peserta didik memiliki rutinitas membantu orang tua mereka
di rumah atau sawah sepulang sekolah, sehingga tidak memiliki waktu luang untuk
mengulang pelajaran atau mengerjakan pekerjaan rumah.
Salah
satu peserta didik yang berhenti sekolah adalah murid favorit saya, yaitu
Parman (Kelas VII). Usia Parman saat menempuh kelas VII SMP adalah 16 tahun.
Saya memfavoritkan Parman karena dia sebenarnya termasuk peserta didik yang
ulet. Saat Parman tidak masuk sekolah karena bekerja ataupun suatu hal, dia
akan mencatat semua catatan yang ketinggalan saat dia masuk sekolah. Terkadang
Parman sampai tidak istirahat. Nilai Parman juga tidak lebih rendah dari nilai
peserta didik lain yang rajin berangkat sekolah. Suatu ketika, saat Parman
genap berhenti sekolah selama dua bulan, dia mengirimkan salam kepada saya
melalui Mirna (Kelas VII). Parman mengatakan, “Salam boh untuk Bu Atika”.
Sebagai balasan salam yang dititipkan Parman melalui Mirna tersebut, saya
kirimkan secarik surat untuknya. Kurang lebih isi surat saya kepadanya
seperti berikut:
“Parman, Ibu percaya kamu
masih punya mimpi dan Ibu berharap, Parman masih memiliki keberanian untuk
mewujudkannya.”
Selain
budaya bekerja dini yang menjadi tantangan peserta didik bersekolah, masih
terdapat jarak jauh yang harus ditempuh 80% dari keseluruhan peserta didik
dengan berjalan kaki setiap pagi. Salah satu contohnya adalah peserta didik yang
berasal dari desa Sarangan. Mereka meniti jalan setapak melewati bukit Kinai setiap
pagi dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Medan yang berupa perbukitan
menyulitkan masuknya pembangunan aspal jalan yang berdampak kepada terbatasnya
angkutan umum di sana. Namun demikian kondisi ini tidak sedikitpun menyurutkan
semangat belajar mereka. Pada suatu pagi tepat pada tanggal 2 Mei 2017, mereka
membuktikan semangat bersekolahnya, dengan tetap berangkat sekolah tepat waktu
meskipun hari hujan sedari Subuh. Mereka berangkat sekolah berjalan kaki dengan
menggunakan jas hujan. Seragam mereka disimpan ke dalam tas agar tidak basah. Beberapa
dari mereka yang tidak memiliki jas hujan akhirnya berbasah-basahan ke sekolah.
Luar biasa bukan? aksi nyata mereka untuk memaknai Hari Pendidikan Nasional.
Semangat
lainnya ditunjukkan oleh Garden Kristian (Kelas VIII). Garden adalah perwakilan
lomba olimpiade IPA dari SMP Negeri 3 Capkala. Pada hari pertandingan, peserta
olimpiade diharuskan untuk sampai di sekolah jam 6 pagi karena lokasi
pertandingan adalah di pesisir. Memerlukan waktu satu setengah jam untuk sampai
pada lokasi, mengingat Capkala merupakan daerah yang berada di atas bukit.
Garden datang tepat waktu hari itu, padahal rumahnya berada di desa Sebandut,
yang notabene memerlukan waktu tempuh berjalan kaki selama 45 menit. Jalanan
dari rumah Garden menuju sekolah melewati perkebunan yang jarang terdapat rumah
penduduk atau bahkan penerangan jalan. Garden berangkat sendirian dari rumah
pukul 05.00.
Sayapun
pernah bertanya kepada Linus (Kelas VIII) dan Nikolas (Kelas VII) yang
merupakan peserta didik dengan jarak rumah terjauh dari sekolah. Saya bertanya
kepada mereka, apakah yang membuat mereka semangat untuk pergi ke sekolah
padahal jauh. Jawaban mereka adalah, senang pergi sekolah, dapat belajar,
mengerti banyak hal, dan bertemu dengan kawan-kawan. Linus menambahkan
jawabannya, yaitu ingin menggapai cita–cita sebagai tentara. Sedangkan menjadi
tentara harus sekolah serendah-rendahnya SMA.
Semangat
anak-anak peserta didik SMP Negeri 3 Capkala untuk bersekolah sangat besar
meskipun dalam keterbatasan. Saat saya pertama datang ke sekolah, belum
terdapat buku untuk bahan belajar peserta didik. Mereka hanya belajar
mengandalkan buku catatan yang bersumber dari catatan guru. Tidak tersedia buku
bacaan ataupun buku latihan soal yang dapat dibawa pulang mereka untuk belajar.
Bukan hanya buku, sumber belajar lain seperti internet ataupun alat
pembelajaran IPA dan komputer belum tersedia. Saya dan guru lain sangat mengoptimalkan
penggunaan lingkungan sekitar sebagai media belajar kontekstual bagi mereka.
Meskipun
hasil belajar akademik anak-anak termasuk rendah, namun mereka unggul dalam prestasi
olahraga. Dalam kurun waktu dua tahun sekolah berjalan, anak anak selalu
mendapatkan juara pada ajang O2SN. Pada tahun ajaran 2016/2017, Andre (Kelas
VII) meraih peringkat pertama lomba atletik putra, sehingga terpilih untuk
mewakili tingkat sub rayon ke tingkat Kabupaten. Selain itu, Merry (Kelas VIII)
meraih peringkat dua lomba atletik putri dan Robertus Geri meraih peringkat
tiga juara catur putra.
Pergantian
Kepala Sekolah di Kabupaten Bengkayang pada pertengahan semester pertama,
memberikan angin segar bagi sekolah. Perlahan beberapa fasilitas sekolah mulai
diperbaiki, seperti pintu-pintu yang rusak. Seiring dengan itu, mulai dilaksanakan
pengadaan buku bacaan di perpustakaan. Semoga semakin hari fasilitas sekolah
semakin baik, sehingga mampu terus membakar semangat anak-anak Capkala untuk
melawan keterbatasan bersekolah.
Saya
telah berkenalan dengan Capkala. Seiring waktu berjalan, hingga akhirnya saya jatuh
cinta dengan beberapa permatanya. Maka Indonesia, mari saya perkenalkan Engkau dengan
mereka,
Indonesia,
mari ikut saya ke Capkala
Saya
perkenalkan pada permata–permatamu
Mereka
yang berjanji untuk tetap semangat dalam keterbatasan
Mereka
yang bermimpi untuk membangun perbatasan
Indonesia,
Tinggal
kau poles sedikit permata–permata itu
Selanjutnya,
biar mereka yang menjamin masa tuamu.
(oleh: Atika Guritna Ayu, S.Pd.)
No comments:
Post a Comment