Sunday, January 13, 2019

Permata–Permata Indonesia dari Capkala


Capkala, daerah yang belum pernah saya tahu sebelumnya bahkan namanya pun Belu pernah saya dengar, namun ternyata masih menjadi bagian dari Indonesia. Capkala adalah nama sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat. Kecamatan Capkala terletak pada wilayah pegunungan Kabupaten Bengkayang, dengan nilai kearifan lokal dan adat Suku Dayak yang masih sangat kental. Pada akhirnya, program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) memperkenalkan saya dengan daerah Capkala sebagai tempat penugasan selama satu tahun terhitung sejak tanggal 5 September 2016 sampai dengan tanggal 24 Agustus 2017.
Berdasarkan Surat Keterangan dari Kabupaten Bengkayang, saya ditugaskan untuk mengajar di SMP Negeri 3 Capkala. Sekolah yang baru dua tahun dibangun melalui hasil kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak Australia. Ya, Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkayang menyadari bahwa daerahnya merupakan daerah yang sedang berkembang, karena merupakan daerah pemekaran baru dari wilayah Kabupaten Sambas sejak tahun 1999. Pemerintah Daerah berpendapat bahwa untuk membangun wilayahnya, mesti terlebih dahulu membangun manusianya, sehingga Pemda setempat sangat gencar memprioritaskan aspek pendidikan dalam bidang pembangunan. Telah banyak sekolah-sekolah baru yang dibangun dalam beberapa kurun waktu terakhir. Pembangunan sekolah tidak luput juga dilaksanakan di daerah yang terdalam pada wilayah kecamatan, seperti halnya SMP Negeri 3 Capkala.
SMP Negeri 3 Capkala berlokasi di ujung Desa Saheban. Lokasi sekolah dikelilingi persawahan dan bukit-bukit. Tujuan dibangunnya SMP Negeri 3 Capkala adalah untuk memfasilitasi anak-anak yang berasal dari desa Sarangan, Sebandut, dan Setanduk agar lebih dekat ke Sekolah. Sebelum SMP Negeri 3 Capkala didirikan, anak-anak dari ketiga desa tersebut harus menempuh waktu kurang lebih satu setengah jam ke sekolah dengan berjalan kaki. Maklum, karena memang belum ada angkutan umum yang beroperasi di kebanyakan wilayah Kecamatan Capkala. Hal ini dikarenakan, akses jalan yang masih buruk. Setelah SMP Negeri 3 Capkala dibangun, anak-anak selambat-lambatnya hanya memerlukan waktu satu jam berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, namun harus melewati bukit.
Anak–anak peserta didik di SMP Negeri 3 Capkala merupakan anak–anak petani atau pekebun sederhana, yang beberapa memiliki umur lebih tua dari usia masuk sekolah menengah pertama. Hal ini karena mereka merasa harus membantu orang tua mereka bekerja atau karena budaya bekerja dini yang masih berlaku di lingkungan sekitar, sehingga setelah lulus sekolah dasar, mereka tidak melanjutkan ke jenjang SMP. Namun setelah merasakan bekerja dan dengan dorongan dari orang tua, mereka memiliki kesadaran untuk melanjutkan sekolah kembali ke jenjang SMP. Setelah melanjutkan ke SMP pun, masih terdapat peserta didik yang berhenti sekolah dengan alasan yang sama, yaitu bekerja. Selama kurun waktu enam bulan saya mengajar sudah ada tiga orang peserta didik yang berhenti sekolah, yaitu: Peri (kelas VIII), Ratno (kelas VIII), dan Parman (Kelas VII). Sedangkan dalam kurun waktu saya mengajar selama satu tahun, peserta didik yang berhenti sekolah bertambah satu orang, yaitu Rusdi (Kelas VIII). Semua peserta didik tersebut berhenti karena ingin bekerja, padahal orang tua masih sangat mendukung mereka untuk sekolah. Pihak sekolah yang diwaikili oleh wali kelas telah melakukan pendekatan dengan mendatangi mereka ke rumah, namun keyakinan mereka untuk berhenti masih sangat kukuh. Selain itu, kegiatan bekerja juga membuat waktu belajar peserta didik terbatas. Beberapa peserta didik memiliki rutinitas membantu orang tua mereka di rumah atau sawah sepulang sekolah, sehingga tidak memiliki waktu luang untuk mengulang pelajaran atau mengerjakan pekerjaan rumah.
Salah satu peserta didik yang berhenti sekolah adalah murid favorit saya, yaitu Parman (Kelas VII). Usia Parman saat menempuh kelas VII SMP adalah 16 tahun. Saya memfavoritkan Parman karena dia sebenarnya termasuk peserta didik yang ulet. Saat Parman tidak masuk sekolah karena bekerja ataupun suatu hal, dia akan mencatat semua catatan yang ketinggalan saat dia masuk sekolah. Terkadang Parman sampai tidak istirahat. Nilai Parman juga tidak lebih rendah dari nilai peserta didik lain yang rajin berangkat sekolah. Suatu ketika, saat Parman genap berhenti sekolah selama dua bulan, dia mengirimkan salam kepada saya melalui Mirna (Kelas VII). Parman mengatakan, “Salam boh untuk Bu Atika”. Sebagai balasan salam yang dititipkan Parman melalui Mirna tersebut, saya kirimkan secarik surat untuknya. Kurang lebih isi surat saya kepadanya seperti  berikut:
“Parman, Ibu percaya kamu masih punya mimpi dan Ibu berharap, Parman masih memiliki keberanian untuk mewujudkannya.”
Selain budaya bekerja dini yang menjadi tantangan peserta didik bersekolah, masih terdapat jarak jauh yang harus ditempuh 80% dari keseluruhan peserta didik dengan berjalan kaki setiap pagi. Salah satu contohnya adalah peserta didik yang berasal dari desa Sarangan. Mereka meniti jalan setapak melewati bukit Kinai setiap pagi dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Medan yang berupa perbukitan menyulitkan masuknya pembangunan aspal jalan yang berdampak kepada terbatasnya angkutan umum di sana. Namun demikian kondisi ini tidak sedikitpun menyurutkan semangat belajar mereka. Pada suatu pagi tepat pada tanggal 2 Mei 2017, mereka membuktikan semangat bersekolahnya, dengan tetap berangkat sekolah tepat waktu meskipun hari hujan sedari Subuh. Mereka berangkat sekolah berjalan kaki dengan menggunakan jas hujan. Seragam mereka disimpan ke dalam tas agar tidak basah. Beberapa dari mereka yang tidak memiliki jas hujan akhirnya berbasah-basahan ke sekolah. Luar biasa bukan? aksi nyata mereka untuk memaknai Hari Pendidikan Nasional.
Semangat lainnya ditunjukkan oleh Garden Kristian (Kelas VIII). Garden adalah perwakilan lomba olimpiade IPA dari SMP Negeri 3 Capkala. Pada hari pertandingan, peserta olimpiade diharuskan untuk sampai di sekolah jam 6 pagi karena lokasi pertandingan adalah di pesisir. Memerlukan waktu satu setengah jam untuk sampai pada lokasi, mengingat Capkala merupakan daerah yang berada di atas bukit. Garden datang tepat waktu hari itu, padahal rumahnya berada di desa Sebandut, yang notabene memerlukan waktu tempuh berjalan kaki selama 45 menit. Jalanan dari rumah Garden menuju sekolah melewati perkebunan yang jarang terdapat rumah penduduk atau bahkan penerangan jalan. Garden berangkat sendirian dari rumah pukul 05.00.
Sayapun pernah bertanya kepada Linus (Kelas VIII) dan Nikolas (Kelas VII) yang merupakan peserta didik dengan jarak rumah terjauh dari sekolah. Saya bertanya kepada mereka, apakah yang membuat mereka semangat untuk pergi ke sekolah padahal jauh. Jawaban mereka adalah, senang pergi sekolah, dapat belajar, mengerti banyak hal, dan bertemu dengan kawan-kawan. Linus menambahkan jawabannya, yaitu ingin menggapai cita–cita sebagai tentara. Sedangkan menjadi tentara harus sekolah serendah-rendahnya SMA.
Semangat anak-anak peserta didik SMP Negeri 3 Capkala untuk bersekolah sangat besar meskipun dalam keterbatasan. Saat saya pertama datang ke sekolah, belum terdapat buku untuk bahan belajar peserta didik. Mereka hanya belajar mengandalkan buku catatan yang bersumber dari catatan guru. Tidak tersedia buku bacaan ataupun buku latihan soal yang dapat dibawa pulang mereka untuk belajar. Bukan hanya buku, sumber belajar lain seperti internet ataupun alat pembelajaran IPA dan komputer belum tersedia. Saya dan guru lain sangat mengoptimalkan penggunaan lingkungan sekitar sebagai media belajar kontekstual bagi mereka.
Meskipun hasil belajar akademik anak-anak termasuk rendah, namun mereka unggul dalam prestasi olahraga. Dalam kurun waktu dua tahun sekolah berjalan, anak anak selalu mendapatkan juara pada ajang O2SN. Pada tahun ajaran 2016/2017, Andre (Kelas VII) meraih peringkat pertama lomba atletik putra, sehingga terpilih untuk mewakili tingkat sub rayon ke tingkat Kabupaten. Selain itu, Merry (Kelas VIII) meraih peringkat dua lomba atletik putri dan Robertus Geri meraih peringkat tiga juara catur putra.
Pergantian Kepala Sekolah di Kabupaten Bengkayang pada pertengahan semester pertama, memberikan angin segar bagi sekolah. Perlahan beberapa fasilitas sekolah mulai diperbaiki, seperti pintu-pintu yang rusak. Seiring dengan itu, mulai dilaksanakan pengadaan buku bacaan di perpustakaan. Semoga semakin hari fasilitas sekolah semakin baik, sehingga mampu terus membakar semangat anak-anak Capkala untuk melawan keterbatasan bersekolah.
Saya telah berkenalan dengan Capkala. Seiring waktu berjalan, hingga akhirnya saya jatuh cinta dengan beberapa permatanya. Maka Indonesia, mari saya perkenalkan Engkau dengan mereka,
Indonesia, mari ikut saya ke Capkala
Saya perkenalkan pada permata–permatamu
Mereka yang berjanji untuk tetap semangat dalam keterbatasan
Mereka yang bermimpi untuk membangun perbatasan
Indonesia,
Tinggal kau poles sedikit permata–permata itu
Selanjutnya, biar mereka yang menjamin masa tuamu.
(oleh: Atika Guritna Ayu, S.Pd.)

No comments:

Post a Comment

Merdeka Belajar

 Merdeka Belajar Kebebasan setiap individu atas hak-haknya tanpa melanggar atau mengambil hak kebebasan individu lain-Ki HadjarDewantara Leb...