Adil Ka’Talino, Bacuramin Ka’Saruga, Basengat Ka’Jubata!!! Arus!!!
Mendengar seruan ini bergema di aula membuat saya tersadar bahwa saya bukan
lagi berada di Pulau Jawa, tetapi sudah resmi menginjakkan kaki di pulau
seberang, Pulau Kalimantan. Seruan tersebut merupakan salam khas dari Kabupaten
Bengkayang. Menjadi bagian dari program SM-3T yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)
telah membawa saya ke salah satu kabupaten yang berbatasan langsung dengan
Negara Malaysia ini untuk menjalani masa pengabdian selama satu tahun.
Surat
keterangan yang dibacakan oleh Pak Rudi, perwakilan dari Dinas Pendidikan
Kabupaten Bengkayang, menyatakan bahwa saya akan ditugaskan untuk mengabdi di
SMA Negeri 1 Lembah Bawang. Mendengar itu, saya sempat merasa resah karena
hasil googling menyatakan bahwa
Kecamatan Lembah Bawang merupakan salah satu kecamatan yang memiliki akses jalan
yang sulit di Kabupaten Bengkayang, selain Kecamatan Siding dan Suti Semarang. Namun,
saya berusaha untuk menguatkan hati seraya memantapkan langkah untuk mengabdi
dan berbagi ilmu pada sesama.
Jalan
tanah kuning yang berlumpur mewarnai perjalanan saya dan dua rekan SM-3T
lainnya saat pertama kali diantar oleh rombongan guru dan Kepala Sekolah menuju
Kecamatan Lembah Bawang. “Astagfirullah”, tak henti-hentinya saya menggumamkan
istigfar melihat kondisi jalan yang teramat licin dan motor yang tak
henti-hentinya nyaris terpeleset. Terbesit pikiran dalam otak saya,
“Jangan-jangan pak guru yang memboncengkan saya merupakan pensiunan pembalap off road” melihat betapa gesitnya dia
mengendarai motor di jalan seperti itu. Namun, saya juga tidak menampik kenyataan
bahwa saya disuguhi pemandangan yang indah pada beberapa titik perjalanan.
Hamparan perkebunan sawit, kelokan sungai dengan air yang bening, dan babi-babi
yang berjalan hilir mudik menjadi pemandangan menarik dan baru bagi saya.
Setibanya
di sekolah, kami diperkenalkan kepada guru-guru yang hadir pada hari itu. Sambutan
hangat yang mereka berikan kepada kami membuat kami merasa dipertemukan dengan
keluarga baru. Selain itu, kepala sekolah juga meminta kami untuk tinggal di
sekolah. Akhirnya, kami memutuskan untuk menempati bangunan yang terletak di
bukit sekolah. Bangunan itu berisi
beberapa ruangan lengkap dengan dapur dan toilet.
Karena letaknya yang berada di atas bukit, kami mendapat banyak jaringan untuk
berkomunikasi dengan keluarga kami di Jawa. Namun, karena letaknya juga, kami kesulitan untuk mendapatkan air bersih.
Air bersih harus diangkut dari sumur yang terletak di samping kantor menuju
bangunan atas tempat kami tinggal. Untungnya, terdapat tiga orang siswa, yaitu
Alex, Andy, dan Reki, yang selalu siap sedia membantu kami. Menimba air dan
mengangkutnya ke bangunan atas menggunakan motor untuk persediaan memasak.
Ketiga anak ini memilih untuk tinggal di sekolah karena jarak rumah mereka yang
terlalu jauh dari sekolah. Mereka adalah penolong-penolong yang sering membantu
kami untuk dapat beradaptasi pada masa-masa tersulit kami.
Mengabdikan
diri selama satu tahun di satu-satunya sekolah menengah atas di wilayah lembah
Gunung Bawang memberikan banyak pelajaran berharga bagi saya. Salah satu
pelajaran berharga tersebut diberikan oleh anak-anak didik saya. Mereka
mengajarkan saya mengenai kekuatan tekad. Saya diperlihatkan betapa kerasnya
tekad mereka untuk belajar di sekolah. Mereka rela menempuh jarak puluhan
kilometer mengendarai sepeda motor di jalan batu untuk datang ke sekolah.
Berangkat subuh buta agar tidak terlambat masuk sekolah pun selalu mereka
jalani. Salah satu kejadian yang tidak terlupakan bagi saya adalah ketika
Rahmat, salah seorang anak didik, datang ke sekolah pada pukul 07.50. Itu
artinya dia telah terlambat 50 menit. Rahmat datang dengan peluh menghiasi
wajah. “Rahmat, kok kamu bisa terlambat 50 menit. Ada apa?” tanya saya
penasaran yang saat itu sedang piket di kantor. “Iya
Bu. Maaf saya terlambat. Motor saya macet di jalan, terus saya jalan kaki ke
sekolah Bu”, jawab Rahmat sambil menunduk.
Saya
kaget, pasalnya rumah Rahmat berjarak 10 km dari sekolah dengan kontur jalan
berupa tanjakan dan turunan berbatu, dilengkapi dengan hutan karet sepanjang
jalan. Sambil membenahi kekagetan saya, saya kembali bertanya, “terus, sekarang
motor kamu di rumah kan dek?”. “Motor
saya mogok di jalan, Bu. Ya sudah, saya tinggal saja di jalan. Nanti pulang
sekolah baru diambil”, ujar Rahmat sambil cengar-cengir. Saya merasa geli namun juga terharu
mendengar jawaban Rahmat. Bagaimana bisa motor ditinggal di jalan di tengah
hutan (karena memang jarang terdapat bengkel di daerah ini), tidak tahukah dia
jika motornya bisa lenyap kapan saja. Di sisi lain, saya merasa tersentuh
dengan tekadnya untuk belajar di sekolah hingga merelakan motornya terdampar di
tengah hutan.
Permata-permata
Lembah Bawang, begitu saya selalu memandang mereka. Permata mentah yang masih
perlu diasah. Diasah tidak melulu harus dengan pemberian materi berlimpah,
namun juga pembekalan softskill.
Salah satu pembekalan softskill yang
bermanfaat adalah dengan memberikan mereka kesempatan untuk mengelola sebuah
acara. Tidak hanya pemberian kesempatan, namun sekolah juga memberikan
fasilitasi dan bimbingan agar acara berjalan mulus. Masih lekat dalam ingatan
saya, bagaimana dewan kerja pramuka SMA Negeri 1 Lembah Bawang ikut berperan
dalam menyelenggarakan kegiatan Persami bulan Agustus 2017 lalu. Mereka yang
biasanya terlihat slengekan, saat
acara Persami terlihat begitu bertanggung jawab. Mereka dilatih untuk bekerja
sama mengarahkan peserta Persami yang terdiri dari kelas XI IPA, XI IPS, dan X
untuk mengikuti serangkaian kegiatan dalam acara tersebut, mulai dari apel
pembukaan, pendirian tenda, api unggun, jelajah malam, hingga halang rintang.
Tidak hanya itu, mereka juga dilatih menjadi pribadi yang percaya diri, seperti
ketika mereka diberi amanat untuk memberikan ice breaking pada peserta Persami. Pertanyaan-pertanyaan “mampukah mereka menguasai “panggung”?”
seketika luntur ketika melihat peserta Persami antusias dan anteng mengikuti ice breaking serta panduan dari Dewan
Kerja Pramuka. Melalui pemberian kesempatan ini, anak didik juga dilatih untuk
terampil dalam menyelesaikan masalah yang muncul selama kegiatan. Hal itu
tergambar ketika beberapa peserta Persami tiba-tiba mengalami kesurupan karena kosong pikirannya
selama menjalani halang rintang. Begitu mengetahui terdapat peserta yang
mengalami kesurupan, Dewan Kerja
Pramuka yang stand by di sekolah
langsung mengamankan korban kesurupan
dan berusaha menenangkan mereka dibawah bimbingan Pembina Pramuka.
Anak
didik kami bukanlah siswa yang pemalu dan minder hanya karena mereka berasal
dari perkampungan yang bahkan lisriknya belum tersebar merata ke seluruh
pelosoknya. Mereka adalah anak didik yang tangguh. Mereka selalu berani
berjuang mengharumkan nama sekolah dan daerahnya. Mereka selalu antusias
mengikuti setiap perlombaan. Antusiasme
mereka berbanding lurus dengan persiapan yang mereka lakukan sebelum lomba. Saya
teringat salah satu anak didik yang tiba-tiba datang ke kantor dengan wajah
malu-malu ditemani satu rekannya. “Bu,
saya pengen ikut lomba pidato Bahasa
Inggris pada acara Festival Pendidikan besok, tapi saya tidak bisa pidato,
bagaimana ya Bu?” tanya Wiwin malu-malu. “Ikut
aja, Win. Minimal untuk nambah pengalaman. Kalau tidak bisa pidato, kamu kan
bisa latihan, Win. Datang saja ke mess,
nanti bisa kami (baca: guru-guru SM-3T) bantu”, jawab saya kepada Wiwin.
Dan
benar saja, semenjak percakapan
sore itu, Wiwin rajin mendatangi mess
tempat tinggal kami sepulang sekolah. Dia rajin berlatih. Untungnya, ada rekan
kami, peserta SM-3T, yang merupakan guru Bahasa Indonesia sehingga sedikit
banyak dapat membantu Wiwin latihan. Wiwin dilatih cara berpidato di depan
hadirin, serta tidak lupa diajarkan cara supaya tidak gugup saat berada di
panggung. Walaupun Wiwin tidak memenangkan perlombaan tersebut, namun Wiwin
mengajarkan kepada saya arti sebuah kepercayaan diri. Tidak masalah bagi Wiwin
berasal dan bersekolah di kampung dengan fasilitas yang belum memadai dan
sumber belajar yang minim sekali, Wiwin berani bersaing dengan siswa-siswa lain
yang berasal dari kota dengan fasilitas dan sumber belajar yang lengkap.
Rahmat
dan Wiwin adalah dua dari ribuan permata Lembah Bawang yang menunggu untuk
diasah melalui pendidikan. Pendidikan memberikan kesempatan bagi mereka untuk
mengoptimalkan potensi yang mereka miliki. Mereka berhak mendapatkan pendidikan
yang layak meskipun mereka berada di pelosok negeri. Mereka layak
mendapatkannya karena mereka jugalah generasi penerus bangsa. Tangan-tangan
mereka yang kelak akan memegang kendali atas bangsa ini. Pendidikan yang layak
tentunya akan menjadikan bangsa ini kian besar nantinya. ( oleh Febriana Nurrokhmah, S.Pd.)
No comments:
Post a Comment