Friday, January 18, 2019

Jejak Langkah di Lembah Bawang


Adil Ka’Talino, Bacuramin Ka’Saruga, Basengat Ka’Jubata!!! Arus!!! Mendengar seruan ini bergema di aula membuat saya tersadar bahwa saya bukan lagi berada di Pulau Jawa, tetapi sudah resmi menginjakkan kaki di pulau seberang, Pulau Kalimantan. Seruan tersebut merupakan salam khas dari Kabupaten Bengkayang. Menjadi bagian dari program SM-3T yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah membawa saya ke salah satu kabupaten yang berbatasan langsung dengan Negara Malaysia ini untuk menjalani masa pengabdian selama satu tahun.
            Surat keterangan yang dibacakan oleh Pak Rudi, perwakilan dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkayang, menyatakan bahwa saya akan ditugaskan untuk mengabdi di SMA Negeri 1 Lembah Bawang. Mendengar itu, saya sempat merasa resah karena hasil googling menyatakan bahwa Kecamatan Lembah Bawang merupakan salah satu kecamatan yang memiliki akses jalan yang sulit di Kabupaten Bengkayang, selain Kecamatan Siding dan Suti Semarang. Namun, saya berusaha untuk menguatkan hati seraya memantapkan langkah untuk mengabdi dan berbagi ilmu pada sesama.
            Jalan tanah kuning yang berlumpur mewarnai perjalanan saya dan dua rekan SM-3T lainnya saat pertama kali diantar oleh rombongan guru dan Kepala Sekolah menuju Kecamatan Lembah Bawang. “Astagfirullah”, tak henti-hentinya saya menggumamkan istigfar melihat kondisi jalan yang teramat licin dan motor yang tak henti-hentinya nyaris terpeleset. Terbesit pikiran dalam otak saya, “Jangan-jangan pak guru yang memboncengkan saya merupakan pensiunan pembalap off road” melihat betapa gesitnya dia mengendarai motor di jalan seperti itu. Namun, saya juga tidak menampik kenyataan bahwa saya disuguhi pemandangan yang indah pada beberapa titik perjalanan. Hamparan perkebunan sawit, kelokan sungai dengan air yang bening, dan babi-babi yang berjalan hilir mudik menjadi pemandangan menarik dan baru bagi saya.
            Setibanya di sekolah, kami diperkenalkan kepada guru-guru yang hadir pada hari itu. Sambutan hangat yang mereka berikan kepada kami membuat kami merasa dipertemukan dengan keluarga baru. Selain itu, kepala sekolah juga meminta kami untuk tinggal di sekolah. Akhirnya, kami memutuskan untuk menempati bangunan yang terletak di bukit sekolah.  Bangunan itu berisi beberapa ruangan lengkap dengan dapur dan toilet. Karena letaknya yang berada di atas bukit, kami mendapat banyak jaringan untuk berkomunikasi dengan keluarga kami di Jawa. Namun, karena letaknya juga,  kami kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Air bersih harus diangkut dari sumur yang terletak di samping kantor menuju bangunan atas tempat kami tinggal. Untungnya, terdapat tiga orang siswa, yaitu Alex, Andy, dan Reki, yang selalu siap sedia membantu kami. Menimba air dan mengangkutnya ke bangunan atas menggunakan motor untuk persediaan memasak. Ketiga anak ini memilih untuk tinggal di sekolah karena jarak rumah mereka yang terlalu jauh dari sekolah. Mereka adalah penolong-penolong yang sering membantu kami untuk dapat beradaptasi pada masa-masa tersulit kami.
            Mengabdikan diri selama satu tahun di satu-satunya sekolah menengah atas di wilayah lembah Gunung Bawang memberikan banyak pelajaran berharga bagi saya. Salah satu pelajaran berharga tersebut diberikan oleh anak-anak didik saya. Mereka mengajarkan saya mengenai kekuatan tekad. Saya diperlihatkan betapa kerasnya tekad mereka untuk belajar di sekolah. Mereka rela menempuh jarak puluhan kilometer mengendarai sepeda motor di jalan batu untuk datang ke sekolah. Berangkat subuh buta agar tidak terlambat masuk sekolah pun selalu mereka jalani. Salah satu kejadian yang tidak terlupakan bagi saya adalah ketika Rahmat, salah seorang anak didik, datang ke sekolah pada pukul 07.50. Itu artinya dia telah terlambat 50 menit. Rahmat datang dengan peluh menghiasi wajah. “Rahmat, kok kamu bisa terlambat 50 menit. Ada apa?” tanya saya penasaran yang saat itu sedang piket di kantor. “Iya Bu. Maaf saya terlambat. Motor saya macet di jalan, terus saya jalan kaki ke sekolah Bu”, jawab Rahmat sambil menunduk.
            Saya kaget, pasalnya rumah Rahmat berjarak 10 km dari sekolah dengan kontur jalan berupa tanjakan dan turunan berbatu, dilengkapi dengan hutan karet sepanjang jalan. Sambil membenahi kekagetan saya, saya kembali bertanya, “terus, sekarang motor kamu di rumah kan dek?”. “Motor saya mogok di jalan, Bu. Ya sudah, saya tinggal saja di jalan. Nanti pulang sekolah baru diambil”, ujar Rahmat sambil cengar-cengir. Saya merasa geli namun juga terharu mendengar jawaban Rahmat. Bagaimana bisa motor ditinggal di jalan di tengah hutan (karena memang jarang terdapat bengkel di daerah ini), tidak tahukah dia jika motornya bisa lenyap kapan saja. Di sisi lain, saya merasa tersentuh dengan tekadnya untuk belajar di sekolah hingga merelakan motornya terdampar di tengah hutan.
            Permata-permata Lembah Bawang, begitu saya selalu memandang mereka. Permata mentah yang masih perlu diasah. Diasah tidak melulu harus dengan pemberian materi berlimpah, namun juga pembekalan softskill. Salah satu pembekalan softskill yang bermanfaat adalah dengan memberikan mereka kesempatan untuk mengelola sebuah acara. Tidak hanya pemberian kesempatan, namun sekolah juga memberikan fasilitasi dan bimbingan agar acara berjalan mulus. Masih lekat dalam ingatan saya, bagaimana dewan kerja pramuka SMA Negeri 1 Lembah Bawang ikut berperan dalam menyelenggarakan kegiatan Persami bulan Agustus 2017 lalu. Mereka yang biasanya terlihat slengekan, saat acara Persami terlihat begitu bertanggung jawab. Mereka dilatih untuk bekerja sama mengarahkan peserta Persami yang terdiri dari kelas XI IPA, XI IPS, dan X untuk mengikuti serangkaian kegiatan dalam acara tersebut, mulai dari apel pembukaan, pendirian tenda, api unggun, jelajah malam, hingga halang rintang. Tidak hanya itu, mereka juga dilatih menjadi pribadi yang percaya diri, seperti ketika mereka diberi amanat untuk memberikan ice breaking pada peserta Persami. Pertanyaan-pertanyaan “mampukah mereka menguasai “panggung”?” seketika luntur ketika melihat peserta Persami antusias dan anteng mengikuti ice breaking serta panduan dari Dewan Kerja Pramuka. Melalui pemberian kesempatan ini, anak didik juga dilatih untuk terampil dalam menyelesaikan masalah yang muncul selama kegiatan. Hal itu tergambar ketika beberapa peserta Persami tiba-tiba mengalami kesurupan karena kosong pikirannya selama menjalani halang rintang. Begitu mengetahui terdapat peserta yang mengalami kesurupan, Dewan Kerja Pramuka yang stand by di sekolah langsung mengamankan korban kesurupan dan berusaha menenangkan mereka dibawah bimbingan Pembina Pramuka.
            Anak didik kami bukanlah siswa yang pemalu dan minder hanya karena mereka berasal dari perkampungan yang bahkan lisriknya belum tersebar merata ke seluruh pelosoknya. Mereka adalah anak didik yang tangguh. Mereka selalu berani berjuang mengharumkan nama sekolah dan daerahnya. Mereka selalu antusias mengikuti setiap perlombaan. Antusiasme mereka berbanding lurus dengan persiapan yang mereka lakukan sebelum lomba. Saya teringat salah satu anak didik yang tiba-tiba datang ke kantor dengan wajah malu-malu ditemani satu rekannya. “Bu, saya pengen ikut lomba pidato Bahasa Inggris pada acara Festival Pendidikan besok, tapi saya tidak bisa pidato, bagaimana ya Bu?” tanya Wiwin malu-malu. “Ikut aja, Win. Minimal untuk nambah pengalaman. Kalau tidak bisa pidato, kamu kan bisa latihan, Win. Datang saja ke mess, nanti bisa kami (baca: guru-guru SM-3T) bantu”, jawab saya kepada Wiwin.
            Dan benar saja, semenjak percakapan sore itu, Wiwin rajin mendatangi mess tempat tinggal kami sepulang sekolah. Dia rajin berlatih. Untungnya, ada rekan kami, peserta SM-3T, yang merupakan guru Bahasa Indonesia sehingga sedikit banyak dapat membantu Wiwin latihan. Wiwin dilatih cara berpidato di depan hadirin, serta tidak lupa diajarkan cara supaya tidak gugup saat berada di panggung. Walaupun Wiwin tidak memenangkan perlombaan tersebut, namun Wiwin mengajarkan kepada saya arti sebuah kepercayaan diri. Tidak masalah bagi Wiwin berasal dan bersekolah di kampung dengan fasilitas yang belum memadai dan sumber belajar yang minim sekali, Wiwin berani bersaing dengan siswa-siswa lain yang berasal dari kota dengan fasilitas dan sumber belajar yang lengkap.
            Rahmat dan Wiwin adalah dua dari ribuan permata Lembah Bawang yang menunggu untuk diasah melalui pendidikan. Pendidikan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengoptimalkan potensi yang mereka miliki. Mereka berhak mendapatkan pendidikan yang layak meskipun mereka berada di pelosok negeri. Mereka layak mendapatkannya karena mereka jugalah generasi penerus bangsa. Tangan-tangan mereka yang kelak akan memegang kendali atas bangsa ini. Pendidikan yang layak tentunya akan menjadikan bangsa ini kian besar nantinya. (oleh Febriana Nurrokhmah, S.Pd.)

No comments:

Post a Comment

Merdeka Belajar

 Merdeka Belajar Kebebasan setiap individu atas hak-haknya tanpa melanggar atau mengambil hak kebebasan individu lain-Ki HadjarDewantara Leb...