Monday, December 31, 2018

Luas Permukaan dan Volume Tabung


Tabung adalah bangun ruang sisi lengkung yang dibentukvoleh dua buah lingkaran identik yang sejajar dan sebuah persegi panjang yang mengelilingi kedua lingkaran tersebut. Tabung memiliki tiga sisi yakni dua sisi datar dan satu sisi lengkung. Benda-benda dalam kehidupan sehari-hari yang menyerupai tabung adalah tong sampah, kaleng susu, lilin, dan pipa.
A.    Unsur-usur Tabung
Tabung merupakan bangun sisi lengkung yang terdiri dari beberapa bangun datar apabila kita buka. Kita dapat melihat jarring-jaring tabung berikut.













Gambar 1. Tabung dan Jaring-jaring Tabung
Setelah mengetahui jaring-jaring tabung, adapun beberapa unsur-unsur tabung.









Gambar 2. Unsur-unsur Tabung
Ø  r1 adalah jari-jari lingkaran tutup tabung
Ø  r2 adalah jari-jari lingkaran alas tabung
Ø  ABCD adalah selimut tabung yang berbentuk segi empat
Ø  r1 = r2 = = r = jari-jari tabung
Ø  AD =BC = t = tinggi tabung
B.     Luas Permukaan Lingkaran
Luas permukaan lingkaran = 2 x luas lingkaran + luas selimut tabung
























C.    Volume Tabung





Tabung merupakan bangun prisma yang alasnya berbentuk lingkaran maka volumenya










Karena alasnya berbentuk lingkaran maka,

 





Keterangan :
r = jari-jari lingkaran alas dan tutup tabung
t = tinggi tabung
π = phi = 3,14 / 22/7

Contoh soal :
1.      Tabung dengan panjang jari-jari 7 cm dan tinggi 10 cm. (π = 22/7) Tentukan :
       a.       Luas Permukaan Tabung
       b.      Volume Tabung
Jawab :
      a.       Luas Permukaan Tabung






        Luas Permukaan Tabung = 2x Luas alas + Luas Selimut Tabung
                               = 2 x 154 + 440 = 308 +440 =748 cm2.
        Jadi luas permukaan tabungnya adalah 748 cm2
      b.      Volume Tabung
  




2.      Sebuah tabung jari-jari alasnya 5 cm dan tingginya 10 cm ( phi = 3,14). Tentukan :
      a.       Luas Permukaan Tabung
      b.      Volume Tabung
Jawab :
     a.      Luas Permukaan Tabung
      Luas alas = 3,14 x 5 x 5 = 78,5 cm2
      Luas selimut = 2 x 3,14 x 5 x 10 =314 cm2
      Luas Permukaan Tabung = 2 x Luas Alas  + Tinggi
                                                   =2 X 78,5 +314 = 157 +314 = 471 cm2
        Jadi Luas permukaan tabungnya adalah 471 cm2
     b.      Volume Tabung
      V = 3,14 X 5 X 5 X 10 = 785 cm3
      Jadi volume tabungnya adalah 785 cm3




-------------------------------------Semoga Bermanfaat -------------------------------------

Matahari di Penjuru Negeri


  Meninggalkan hiruk pikuk kehidupan di kota untuk merasakan langsung atmosfer kehidupan di ujung negeri kami jalani, bagi kami yang terpilih menjadi pengajar muda melalui program SM-3T. Mengikuti SM-3T adalah pengalaman luar biasa sepanjang perjalanan hidup saya. Melalui program SM-3T kami para sarjana pendidikan dapat ikut berpartisipasi membangun pendidikan di pelosok bumi pertiwi. Senin, 5 September 2016, hari pertama kami 55 guru SM-3T menginjakkan kaki di Bumi Sebalo, begitu masyarakat setempat sering menyebut Kabupaten Bengkayang yang menjadi tempat pengabdian kami sebagai guru SM-3T dari LPTK UNY. Setelah acara penyerahan peserta SM-3T dan pembagian tempat pengabdian selesai, saya beserta kedua rekan SM-3T dibawa oleh kepala sekolah menuju suatu desa yang menjadi tempat pengabdian kami selama satu tahun menjadi guru SM-3T.
                                          

     Kabupaten Bengkayang Provinsi Kalimantan Barat, merupakan tempat pengabdian kami sebagai guru SM-3T, tepatnya di Dusun Polongan, Desa Saba’u, Kecamaatan Samalantan dengan tempat mengajar di SMA N 3 Samalantan dan SD N 11 Polongan. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa saya akan berada di daerah yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia. Di mana di daerah tersebut kita bisa merasakan kehidupan masyarakat di tapal batas NKRI khususnya dalam bidang pendidikan. Bagi saya profesi sebagai pendidik adalah panggilan jiwa, karena melalui profesi tersebut kita dapat mengabdikan diri sebagai pendidik yang akan mencerdaskan kehidupan bangsa, yang menjadi salah satu tujuan Negara Indonesia. Perjalanan menuju Dusun Polongan disambut dengan rintik hujan, hutan lebat dan jalan berlubang yang tergenang air hujan. Kala itu dalam benak saya terbesit masihkah ada kehidupan di daerah seperti ini dan akankah saya betah tinggal di tempat seperti ini selama satu tahun?. Tempat tersebut jauh dari kata ramai, modern serta gemerlapnya kota, dan membuat saya lebih tercengang lagi setelah kepala sekolah saya berkata  “di sini tidak ada sinyal bu” seraya saya menahan tangis rasa ingin kembali pulang ke rumah. Namun saya mencoba menasihati diri saya sendiri bahwa ini adalah pilihan hidup yang sudah saya pilih dan kehidupan ini hanya akan saya alami satu tahun saja.
      Kekhawatiran saya akan kehidupan yang jauh dari kota, kehidupan hampa tanpa sinyal berangsur sirna ketika melihat keramahan penduduk setempat serta semangat dan senyum hangat dari siswa-siswi yang menyambut kedatangan kami. Senyum dan semangat mereka menjadi motivasi tersendiri bagi kami untuk mengabdikan diri membimbing mereka dalam mewujudkan mimpi-mimpi yang mereka impikan selama ini. Hari demi hari terus berjalan, berada di daerah tersebut semakin melatih kami untuk selalu mensyukuri hidup yang ada. Kehidupan di Pulau Jawa dengan segala fasilitas yang hampir semua ada itu tidak kami rasakan di daerah penempatan kami sebagai guru SM-3T. Hidup dengan segala keterbatasan dan kondisi alam yang masih rata-rata merupakan daerah hutan menjadi hal yang benar-benar baru dan mengharukan bagi saya. Kehidupan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa saya akan berada dan mengalami kehidupan seperti ini. Di tempat ini saya diajarkan untuk lebih bersahabat dengan alam serta memanfaatkan semua yang ada di alam ini.
            Kondisi pendidikan di daerah ini tentu jauh berbeda dengan kondisi pendidikan yang ada di Pulau Jawa. Sekolah dengan segala keterbatasan, baik dari sarana-prasarana maupun dari tenaga pendidiknya. Namun keterbatasan tersebut tak menyurutkan semangat mereka untuk selalu berusaha menuntut ilmu sebagai bekal masa depan mereka. Tak sedikit dari mereka datang ke sekolah dengan berjalan kaki walaupun jarak tempuh yang mereka lalui begitu jauh dan melelahkan. Belum lagi jika hujan turun, ada beberapa daerah yang banjir apabila hujan turun dan tidak bisa dilewati. Tak jarang pula dari mereka yang bersekolah sambil berjualan menjajakan dagangannya untuk sedikit membantu biaya sekolah mereka. Seragam lusuh, sepatu robek dan bolong, tas yang sudah tak layak untuk dipakai masih mereka gunakan untuk menimba ilmu di setiap harinya. Terkadang dari siswa itu ada yang meminta pekerjaan kepada kepala sekolah untuk menambah uang saku atau membantu biaya hidup mereka. Bahkan terkadang sampai ada yang tidak berangkat sekolah karena mereka mencari segenggam rupiah demi membantu orang tua mereka.
    Rintihan hati mereka yang kadang bercerita kepada saya “ ibu guru saya belum bisa bayar SPP karena mamak bapak belum ada uang, ibu guru saya tidak jajan karena tidak ada uang saku, ibu guru kemarin saya tidak sekolah karena saya mencari uang membantu mamak dan bapak adik saya masih kecil-kecil”. Kata-kata itulah yang menjadikan rasa haru dan iba betapa mereka sudah harus ikut memikul beban hidup orang tuanya, mereka yang masih anak sekolah yang seharusnya belum saatnya untuk memikirkan beban hidup seperti itu.  Dari kenyataan hidup yang seperti itulah semakin mengetuk pintu hati saya sebagai seorang guru untuk mengeluarkan mereka dari jerat kemiskinan dan serba keterbatasan salah satunya melalui dunia pendidikan. Pengabdian sebagai seorang guru SM-3T ini menjadi fasilitas bagi saya, untuk memberikan motivasi bagi mereka yang menginginkan perubahan dalam kehidupannya. Dengan bekal ilmu yang saya punya walaupun belum seberapa ilmu yang saya miliki, namun dengan sedikit ilmu yang saya berikan kepada mereka saya berharap suatu saat ada andil besar dalam kehidupan mereka.
      Salah satu pengalaman berharga yang saya dapatkan yaitu meskipun mereka berada di daerah tapal batas Indonesia tidak menyurutkan semangat nasionalisme dan patriotisme serta cinta tanah air mereka kepada bumi pertiwi ini. Hal ini sangat terasa pada saat peringatan hari-hari bersejarah bagi Indonesia. Di sekolah ini selalu memperingati dan memeriahkan hari bersejarah nasional seperti Hari Sumpah Pemuda, Hari Kartini, Hari Lahirnya Pancasila, Hari Pramuka, HUT RI, dan hari-hari bersejarah lainnya. Mereka selalu bersemangat untuk memeriahkan peringatan hari-hari tersebut. Sekolah selalu menyempatkan untuk memperingati hari tersebut dengan diisi kegiatan upacara bendera serta dilanjutkan dengan lomba-lomba yang dapat memupuk rasa nasionalisme mereka. Lagu Indonesia Raya serta lagu wajib yang lainnya menjadi pengantar setiap mereka memulai suatu mata pelajaran.
      Siswa-siswi adalah semangat saya untuk tetap mengabdikan diri sebagai guru yang setidaknya menjadi bak lentera di kegelapan penjuru negeri ini. Dengan segala keterbatasan serta masih rendahnya taraf pendidikan di daerah ini setidaknya saya berusaha untuk membangkitkan semangat mereka demi pendidikan yang maju sehingga pelosok negeri akan terlihat terang karena matahari di pelosok negeri kini sudah bersinar dengan terang. Para siswa sebagai generasi penerus bangsa bak mentari yang akan menjadi cahaya terang bagi bumi pertiwi ini. Siswa-siswi di tapal batas sebagai generasi penerus bangsa ini apabila mereka dapat bangkit dan membangun negeri khususnya di daerah-daerah pedalaman bahkan di daerah perbatasan negara ini, maka di setiap penjuru negeri ini akan bersinar layaknya matahari yang tiada henti menyinari alam semesta ini. Gemerlapnya kehidupan kota akan mereka rasakan dengan segala fasilitas yang selalu ada. Keterbatasan infrasturktur yang menjadi kendala selama ini maka tidak akan pernah ada lagi.
            Selain mendapatkan potret kehidupan dari dunia pendidikan, saya juga dapat merasakan kehidupan sosial masyarakat Dusun Polongan di sekitar tempat saya tinggal. Salah satu pengalaman hidup yang saya dapatkan adalah bagaimana mereka untuk bertahan hidup dengan ekonomi yang rata-rata menengah ke bawah. Demi rupiah mereka tidak mengenal siang dan malam, hujan dan panas, lelah dan letih. Demi rupiah mereka rela mencari getah karet ketika dini hari di saat seharusnya mereka terlelap untuk beristirahat namun mereka tetap menjelajahi hutan demi rupiah untuk menyambung hidup mereka. Yang membuat saya lebih tercengang, tak jarang dari mereka para ibu-ibu berani menyusuri hutan sendiri di tengah gelapnya malam untuk mencari getah karet. Dengan kondisi alam yang terdiri dari perbukitan dan pegunungan mereka juga menanam padi gunung sebagai kebutuhan pokok mereka. Bukit atau gunung yang jika dilihat tidak memungkinkan untuk dijadikan lahan karena begitu terjal, akan tetapi tetap mereka gunakan sebagai lahan untuk menanam berbagai jenis tanaman untuk menyambung hidup mereka. Pengalaman hidup yang sebelumnya belum pernah saya rasakan adalah merasakan bagaimana perjuangan mencari sayuran ke dalam hutan, demi sayur untuk mengisi perut kita harus mencarinya di tengah-tengah hutan yang tentu saja membuat saya ngeri ketika melintasinya. Namun pengalaman tersebut menjadi kisah berharga dalam kehidupan saya yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan bahwa saya akan mengalami hal seperti itu.  
       Keramahan warga yang senantiasa mengajak saya dalam kegiatan yang mereka lakukan menjadikan salah satu semangat saya untuk tetap berada di tengah-tengah mereka. Tak jarang mereka datang membawa apapun yang mereka dapatkan dari hutan maupun dari hasil panen mereka untuk diberikan kepada saya selama saya tinggal di sana. Mereka sudah menganggap kami sebagai bagian dari keluarga mereka, bahkan jika ada acara keluarga kami juga diundang untuk dapat berkumpul dengan mereka. Suasana sekolah yang menyenangkan serta suasana kekeluargaan yang terjalin selama di daerah penempatan membuat saya terlena dan tak terasa bahwa pengabdian kami akan segera berakhir. Sapaan anak-anak dan warga yang selalu kami dapati ketika melintas di jalan menjadi kebahgiaan dan kenangan tersendiri bagi saya selama menjadi guru SM-3T. Saya merasa kehadiran saya di tempat itu diterima baik oleh mereka, mereka menyayangi saya, menghormati serta menghargai saya meskipun di tempat itu saya sebagai kaum minoritas dan berbeda latar belakang baik suku, budaya serta agama. Namun mereka tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut, mereka tetap menghargai latar belakang saya dan kami saling bertukar budaya dengan mereka.
      Tidak terasa masa pengabdian saya di Dusun Polongan segera berakhir, Rabu 24 Agustus 2017 kami 55 guru SM-3T Kabupaten Bengkayang harus segera kembali ke LPTK UNY karena masa pengabdiaan kami telah berakhir. Tanpa terasa waktu satu tahun itu hanyalah sekejap mata, waktu yang kami miliki serasa masih kurang untuk bersama mereka para orang-orang luar biasa yang pernah memberikan pengalaman luar biasa kepada saya. Kesan pertama saya datang, apakah saya akan kerasan tinggal di tempat ini? seakan saya lupa pernah mengucapkan kata itu dan tidak pantas saya ucapkan seharusnya. Sepanjang kehidupan yang saya alami selama berada di Dusun Polongan adalah rasa bahagia, bangga serta haru. Saya merasakan bahwa inilah kehidupan saya yang sekarang, saya sudah kerasan dan nyaman dengan kehidupan ini. Ketika mendengar tanggal pemulangan ke LPTK saya serasa masih ingin berada di tempat tersebut. Jujur saya rasakan kehilangan dan serasa ada yang pergi dari hidup saya. Raut kesedihan serta isak tangis para siswa serta warga sekitar ketika perpisahan itu datang semakin memberatkan langkah saya untuk kembali ke Tanah Jawa. Namun saya yakin bahwa ini bukanlah akhir dari pegabdian saya, justru ini adalah langkah awal saya untuk seterusnya akan mengbadi lebih lama dan lebih banyak untuk NKRI. Semangat mengabdi untuk negeri bagi para pendidik tunas bangsa Salam Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia dari kami Guru SM-3T Angkatan VI Kabupaten Bengkayang. (oleh Arifiana Latifah R., S.Pd.)


Infrasruktur Berperan Penting untuk Pendidikan


Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan bagi setiap manusia di muka bumi ini, pendidikan sering juga disebut sebagai proses belajar, sering pula orang menyebutnya proses dari yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu. Pendidikan tentunya sangat berperan penting dalam kehidupan setiap manusia, oleh karena itu dalam setiap kesempatan sudah sewajarnya semua orang berbondong–bondong mencari bahkan merebut setiap kesempatan untuk mengenyam pendidikan.
Pada tulisan ini akan sedikit  membahas salah satu bagian terkecil faktor yang mampu menunjang pendidikan agar berjalan dengan baik. Salah satu potret pendidikan yang akan di bahas atau dijadikan contoh dalam tulisan ini adalah pendidikan yang sudah lama berjalan di salah satu kecamatan di Kabupaten Bengkayang Provinsi Kalimantan Barat. Pendidikan yang sudah lama berjalan ini begitu menarik perhatian semua kalangan termasuk penulis sendiri, begitu banyak faktor penghambat proses pendidikan tersebut, salah satunya adalah infrastruktur. Infrastruktur merupakan salah satu penunjang atau pendukung terjadinya proses pendidikan, seperti yang tertera pada judul di atas “infrastruktur sangat berperan penting untuk pendidikan”, bayangkan saja seandainya akses murid dan tenaga pengajar menuju ke sekolah terhambat, tentunya proses pendidikan itu tidak akan berjalan sesuai dengan yang direncanakan. 
Infrastruktur merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya proses pendidikan, tetapi hal itu sama sekali bertolak belakang dengan kenyataan yang ada di salah satu kecamatan di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, kondisi geografis dan perekonomian daerah menjadi hal utama penyebab susahnya infrastruktur yang dilalui oleh pelajar dan tenaga pengajar di kecamatan tersebut, jarak tempuh yang cukup jauh juga menjadi faktor penghambat terjadinya proses pendidikan di kecamatan tersebut, seperti  yang terlihat pada gambar berikut ini.

             
Gambar di atas merupakan bukti nyata kondisi infrastruktur yang dilalui oleh pelajar dan tenaga pengajar demi mengikuti proses pendidikan. Tenaga pengajar yang tinggal di kecamatan lain dan mengabdi atau mengajar di kecamatan Lembah Bawang memerlukan waktu kurang lebih satu jam untuk  tiba di tempat pengabdian atau mengajar. Ini merupakan salah satu jalan masuk dari tiga jalan masuk menuju kecamatan lembah bawang. Kondisi jalan ini akan lebih parah lagi ketika musim penghujan, bukan sekedar lumpur dan jarak yang menghambat perjalanan tetapi banjir pun sering kali melintasi jalanan ini. Beberapa hal ini menjadi kendala yang besar bagi tenaga pendidik, jikalau kondisi sudah hujan dan banjir tenaga pendidik sedikit kesulitan untuk tiba di tempat pengabdian, bahkan sering kali tenaga pendidik membatalkan perjalanan menuju tempat pengabdian karena kondisi jalan yang sudah tidak memungkinkan. Pertanyaan besar muncul seketika, bagaimana nasib pelajar kalau tenaga pengajar membatalkan perjalanan menuju tempat pengabdian atau sekolah? Pertanyaan ini yang sering muncul ketika kondisi alam sudah tidak bersahabat, sebab tenaga pengajar yang mengajar di beberapa sekolah di kecamatan Lembah Bawang kurang lebih hampir 80% berdomisili di luar kecamatan ini, sehingga ketika muncul pertanyaan seperti di atas maka akan muncul jawaban, “tidak akan terjadi proses pembelajaran”. Hal ini pun sering kali terjadi pada saat-saat tertentu, dan pastinya proses pendidikan tidak akan berjalan dengan baik seperti yang diharapkan, ini merupakan masalah besar bagi pendidikan yang ada di sini, masalah yang harus diatasi demi terjaganya kondisi pendidikan yang sesuai dengan standar. Ini lah cerita singkat tentang potret infrastruktur yang ada di kecamatan Lembah Bawang Kalimantan  Barat.
Dari cerita singkat di atas, dapat kita simpulkan sendiri bagaimana kondisi dan keadaan pelajar ketika alam tidak menundukung infrastruktur yang ada, oleh sebab itu penulis berani mengatakan bahwa infrastruktur memiliki peran penting untuk bidang pendidikan, terutama untuk pendidikan di kecamatan Lembah Bawang. Selain untuk pendidikan, infrastruktur juga sangat mempengaruhi ekonomi warga bahkan kesehatan warga, karena susahnya akses menuju rumah sakit ataupun tempat pengobatan lainnnya. Semua kondisi yang ada di kecamatan Lembah bawang menggambarkan bahwa betapa sulitnya proses pendidikan yang terjadi,  betapa kurangnya standarisasi aspek penunjang pendidikan.
Pada dasarnya proses pendidikan akan berjalan dengan baik ketika semua aspek penunjang proses pendidikan berjalan dengan baik, namun jika salah satu dari faktor penunjang itu sendiri tidak berjalan dengan baik maka kesenjangan proses pendidikan pun pasti akan terjadi seperti pada cerita singkat di atas. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan alasan untuk semua kalangan dalam mempertahankan pendidikan yang ada di kecamatan Lembah Bawang, yaitu semangat dan kemampuan dari semua pelajar yang ada, hal ini juga yang menjadi motivasi tersendiri bagi para tenaga pengajar termasuk penulis sendiri agar tetap bertahan dalam mengemban tugas sebagai seorang guru. Semoga dengan kondisi yang ada di kecamatan Lembah Bawang ini juga bisa menjadi motivasi bagi semua pelajar, guru, masyarakat, dan pemerintah yang berada di luar kecamatan Lembah Bawang untuk lebih semangat dan bersungguh–sungguh menjaga pendidikan yang ada di NKRI, semoga semua faktor penunjang proses pendidikan yang belum merata dapat segera teratasi dan semoga semua proses pendidikan yang sudah berjalan dengan baik mampu ditingkatkan dan dipertahankan, demi keutuhan dan kemajuan NKRI.
Akhirnya melalui tulisan ini juga penulis ingin menyampaikan pesan dari pelajar di pelosok Negeri terutama di kecamatan Lembah Bawang, provinsi Kalimantan Barat, untuk semua pelajar, guru, pemerintah, dan masyarakat yang mungkin sekarang sudah bisa menikmati pendidikan dengan baik  tanpa kurang suatu apa pun, “tetaplah menjaga dan menjunjung tinggi nilai Bangsa dan Negara lewat pendidikan yang kalian dapatkan, jagalah selalu keutuhan bumi Pertiwi dari Sabang Sampai Marauke agar tetap menjadi NKRI, jangan pernah sia-siakan pendidikan yang kalian dapatkan dengan mudah, karena kami yang berada di pelosok negeri ini masih harus mempertaruhkan nyawa demi meraih sedikit pendidikan, semoga kita semua tetap menjadi NKRI yang kompak dan harmonis meskipun berada di daratan yang berbeda, salam hangat dari pelosok Negeri”.
(by. Agustinus L. T. Jemparut, S. Pd.)

Wednesday, December 26, 2018

Guru dan Pengabdian di Bumi Sebalo


      Waktu itu adalah kali pertama untuk saya menginjakan kaki di tanah Borneo. Bukan dalam rangka berlibur namun untuk sebuah tugas pengabdian. Singkat cerita, keesokan harinya akhirnya sampailah saya di daerah penugasan, Kabupaten Bengkayang. Tidak banyak cerita dari kabupaten ini yang saya ketahui. Tapi tugas tetap tugas dan harus tetap dijalani apapun yang akan dihadapi dan saya meyakini ini adalah keputusan yang sudah saya ambil dan pilihan terbaik untuk saya secara pribadi.
Oh ya, sebelumnya bolehlah saya memperkenalkan diri, Achmad Rifqirridho Azzaky sebuah nama yang diberikan oleh orang tua saya sejak saya lahir, bagi sebagian orang mungkin nama saya sedikit susah tapi saya biasa disapa Ridho. Saya berasal dari Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, bukan daerah perkotaan memang tapi sangat nyaman untuk ditinggali. Saya mendapat tugas pengabdian Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) di salah satu kabupaten di Kalimantan Barat tepatnya di Kabupaten Bengkayang. Saya ditempatkan di Kecamatan Lembah Bawang, yakni di SMP Negeri 2 Lembah Bawang. Kebetulan saya sendiri yang ditempatkan di sekolah ini, yang terdekat dengan kawan sesama guru SM-3T ada di TK Negeri Pembina Lembah Bawang yang letaknya tidak begitu jauh.
     Saya ditempatkan di kecamatan Lembah Bawang ini bersama dengan empat rekan saya, yang kesemuanya bertugas di sekolah-sekolah yang berbeda. Mereka semua berempat yakni Agustinus L.T Jemparut biasa dipanggil Tinus atau Tyno, dia berasal dari Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur dan dia ditempatkan di SMP Negeri 3 Lembah Bawang, Alfiana Rinawati biasa dipanggil Alfi, dia berasal dari Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dia ditempatkan di TK Negeri Pembina Lembah Bawang, Nining Lisnawati biasa dipanggil Nining, dia berasal dari Magetan Jawa Timur, dia ditempatkan di SMA Negeri 1 Lembah Bawang, dan yang terakhir Febriana Nurrokhmah biasa dipanggil Febri dia ditempatkan bersama Nining di SMA Negeri 1 Lembah Bawang.
      Singkat cerita, saya dan rekan-rekan sampai di daerah penempatan pada hari Rabu, 7 September 2016. Kita sudah membuat janji untuk bertemu ketika sudah sampai, karena kita berangkat ke daerah tidak bersama. Betapa bingung kita ketika ingin menghubungi satu sama lain, jaringan selular pun tidak ada. Akhirnya saya mengajak beberapa murid untuk mengantar di daerah Kecamatan dan syukurnya bertemu dengan kawan, kecuali Tyno yang masih di kota bersama Kepala Sekolahnya. Tak terasa malam pun tiba, kita masih di SMA, karena kita sudah memutuskan untuk tinggal bersama, dan keputusannya yang terletak di tengah yaitu di SMA Negeri 1 Lembah Bawang. Di sini ada ruang yang bisa dipakai untuk menjadi tempat tinggal dan sudah diizinkan oleh Kepala SMA.
     Di sini listrik ada meski menggunakan tenaga surya, sinyal ada karena letak daerahnya cukup tinggi, tetapi air susah didapat, karena tempatnya di atas, sedangkan air di bagian bawah dan harus turun jika akan mengambil air untuk keperluan sehari-hari. Jangan bayangkan ada tangga, yang ada justru tanjakan curam dan masih berbalut tanah kuning yang jika kena air sangatlah licin. Tapi lupakan itu terlebih dahulu, malam pertama ini kami masih berempat, listrik belum sampai atas, akhirnya kita diajak untuk mandi dan menginap di tempat guru SMA yang berada di sekitar sekolah.
Pagi pun tiba, belum ada aktivitas, masih merancang apa yang akan kami lakukan, berangkat ke sekolah juga belum karena kami masah dalam tahap adaptasi. Akhirnya kami pun berkumpul berlima. Kami merancang apa yang akan kita beli untuk hidup satu tahun ke depan secara bersama. Yang paling utama adalah kendaraan, kami perlu untuk pergi menuju ke sekolah penugasan. Kami pun langsung berusaha beradaptasi secepat mungkin dengan lingkungan sekitar. Waktu dengan cepat berlalu, kami sudah harus menjalani kewajiban kami di sekolah, hari Sabtu saya bersama rekan saya, Alfi, kali pertama ke sekolah  untuk mengajar, kami disuguhi alam yang luar biasa, kami melewati jalan setapak di tengah hutan menggunakan sepeda motor, karena jarak dari tempat tinggal menuju ke sekolah sekitar 8km, tapi ketika bersimpangan dengan motor lain harus bergantian karena jalan yang begitu sempit dan tidak mulus pastinya, ada jalan berbatunya, ada tanah datarnya, ada juga tanah yang berkubang air, ada tanjakan dan turunan yang terjal, dan ada juga jembatan yang hanya dengan kayu satu papan saja. Itu keadaan nyata dan satu-satunya jalan menuju sekolah dan harus kami jalani, saya bersyukur karena masih ada rekan yang berdekatan penempatannya, jadi ketika di jalan kami selalu bercerita atau membicarakan apapun agar waktu di jalan tidak terasa.
      Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat dan sudah satu bulan, pada saat itu ada pelebaran jalan dimana jalan yang setiap hari saya lewati untuk ke sekolah. Dalam hati merasa senang bakal nyaman jalannya, bakal lebih cepat waktu tempuh untuk kesana. Pelebaran jalan itu pun dimulai, dengan berdatangannya alat-alat berat dan mobil pembawa batu dan pasir untuk pengerasan jalan. Pelebaran ini kira-kira akan berlangsung dua bulan lamanya. Suatu hari setelah pelebaran, turun hujan di pagi hari yang tidak terlalu deras. Sempat muncul keraguan untuk berangkat ke sekolah, tetapi kami merasa berdosa ketika hanya di tempat tinggal dengan santai. Kami putuskan untuk berangkat ketika hujan mulai reda, berbekal sepatu boot pemberian dari Pemerintah kami berangkat. Sampai di seperempat jalan, mulai terasa medan yang kami lewati, jalan yang sehari sebelumnya baru saja ditimbun tanah dan pagi harinya di guyur hujan terasa berat dan sangat licin untuk dilewati. Bukan tanah merah seperti kondisi tanah di tempat kami tinggal, tapi tanah putih yang begitu licin dan sangat mudah menempel di roda sepeda motor dan sangat susah untuk dilepaskan. Hal yang terjadi adalah roda sepeda motor kami tidak bisa bergerak, karena penuh dengan tanah yang menempel di roda sepeda motor dan bagian lainnya. Akhirnya kami putuskan untuk mendorong motor dengan kondisi roda yang tidak dapat berputar, mungkin lebih tepatnya menyeret sepeda motor kami. Di depan ada jembatan dan berjarak kurang lebih 200 meter dari kondisi kami terjebak. Tetapi jarak itu sudah cukup membuat tenaga kami habis untuk "mendorong" sepeda motor dengan kondisi roda yang tidak dapat berputar. Sesampainya di jembatan, kami langsung berusaha untuk membersihkan tanah yang menempel dengan harapan roda sepeda motor kami dapat berputar kembali karena jam sudah hampir menunjukan jam 8. Kami sudah kehabisan akal bagaimana cara membersihkan tanah itu, dengan sisa tenaga kami akhirnya roda sepeda motor kami dapat berputar kembali meski tidak semua tanah yang menempel dapat dibersihkan. Tetapi sudah cukup untuk bergerak kembali agar kami bisa melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah. Akhirnya kami sampai di sekolah meski jam sudah menunjukan hampir di angka 9 dan waktunya hampir istirahat dan rekan saya yang bertugas di TK sudah hampir selesai jam belajarnya.
      Dua bulan sudah berjalan, dengan keadaan yang bisa dibilang susah karena kami tinggal di daerah atas yang susah akan air dan tidak punya tetangga rumah, akhirnya memasuki bulan ketiga kami memutuskan untuk pindah tempat tinggal. Kami dibagi dua, saya dan rekan yang bertugas di TK tinggal di rumah milik rekan guru di desa sekolah kami berada, sedangkan yang bertiga tinggal di rumah rekan guru yang bertugas di SMP Negeri 3 Lembah Bawang. Kondisi di tempat tinggal yang baru, terdapat sumber air yaitu sumur jadi lebih mudah, tetapi untuk listrik belum sampai di desa ini. Sumber penerangannya yaitu berasal dari mesin. Tetapi tempat tinggal kami tidak memiliki. Satu-satunya dari lampu yang kami sambungkan dengan Power Bank yang setiap tiga hari kami titipkan untuk diisi ulang di tempat rekan guru yang memiliki mesin. Kehidupan seperti itu kami jalani sampai empat bulan.
    Ketika memasuki bulan maret, ada pergantian struktur di kecamatan, yaitu pergantian Camat. Setelah Camat baru sudah bertugas, kami berlima diundang untuk hadir di kantor kecamatan. Kami diminta untuk menempati rumah dinas Camat. Dalam hati kami, kami ingin menolak karena kami sudah merasa nyaman dengan kondisi yang sudah kami jalani. Tetapi kami tidak bisa menolak, itu permintaan atau bahkan bisa dikatakan perintah dari kecamatan. Akhirnya kami berlima berkumpul lagi dan tinggal bersama di rumah dinas Camat. Selama kami tinggal di sana, kami pun sangat merasa nyaman. Kami merasa di rumah kami sendiri atau seperti saat kami menimba ilmu di Perguruan Tinggi dengan fasilitas yang diberikan. Kami merasa tidak seperti SM-3T, kenapa bisa seperti itu, karena kami tinggal di rumah dinas Camat yang pastinya bertembok, rumah yang luas, listrik yang lancar, air yang ada setiap waktu, ditambah tempat tidur berbahan busa dan bahkan spring bed, dan adanya televisi sebagai hiburan kami. Dengan fasilitas itu kami sangat merasa nyaman dan betah untuk di rumah, tetapi kami juga masih menyeimbangi dengan ikut bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, kadang kala kami yang berkunjung, kadang pula masyarakat yang mengunjungi kami. Di rumah dinas Camat itu kami tinggal sampai kami selesai menjalani tugas pengabdian di sekolah masing-masing khususnya kecamatan Lembah Bawang.
      Kegiatan-kegiatan yang saya ikuti selama penugasan, saya bagi menjadi dua. Pertama, program kerja SM-3T Kabupaten Bengkayang, dan yang kedua kegiatan kemasyarakatan. Untuk program kerja dari SM-3T Kabupaten Bengkayang itu adalah Sosialisasi dan Try Out SBMPTN, pengumpulan donasi, dan Festival Pendidikan Kabupaten Bengkayang. Sedangkan kegiatan kemasyarakatan mengikuti kegiatan yang ada di masyarakat, termasuk kegiatan-kegiatan adat yang ada. Seperti, Tahun Baru Padi, kegiatan adat ini sebagai rasa syukur dengan hasil panen yang didapat, kegiatan ini dilaksanakan oleh masing-masing dusun dengan waktu yang berbeda. Kegiatan Naik Dango, kegiatan ini sebagai puncak rangkaian kegiatan adat yang ada, istilah lainnya yaitu Gawai Dayak. Kegiatan ini berisi lomba-lomba dan kegiatan adat yang sudah langka, Sibo Sunsak, yaitu acara adat memanjat pinang tetapi dengan cara terbalik (biasanya kaki di bawah kepala di atas, kegiatan ini dilakukan secara terbalik, yaitu kaki di atas dan kepala di bawah). Kegiatan ini diikuti oleh orang-orang pilihan yang sebelumnya sudah mengikuti ritual adat terlebih dahulu.
      Tempat penempatan saya di Kecamatan Lembah Bawang, berada tepat di kaki Gunung Bawang. Sehingga tempat ini pastinya kaya akan tempat yang bisa dijadikan sebagai objek wisata. Alam di sini sangat masih terjaga kelestariannya, masih benar-benar hutan yang lebat dan masih tumbuh pohon-pohon besar dan juga sumber mata air yang membentuk air terjun yang indah. Hal itu membuat pemandangan di sini sangatlah indah dan memanjakan mata dan pastinya membuat saya pribadi semakin nyaman, betah, dan membuat rindu ketika sudah kembali ke rumah sendiri. Ditambah lagi keramahan orang-orang di sini, yang selalu menyapa ketika berjumpa di jalan. Apalagi siswa-siswi atau anak sekolah dari TK sampai SMA, setiap bertemu di manapun dan kapanpun selalu menyapa dengan ramah. Hal itu yang membuat beda antara di lingkungan rumah saya (Pulau Jawa pada umumnya) dengan suasana di daerah penempatan (Lembah Bawang khususnya). Hal itu pula yang membuat saya merindukan suasana seperti ketika mengabdi di daerah tugas, di daerah penempatan, daerah 3T.
Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia!
(by.  Achmad Rifqirridho Azzaky, S.Pd.)

Merdeka Belajar

 Merdeka Belajar Kebebasan setiap individu atas hak-haknya tanpa melanggar atau mengambil hak kebebasan individu lain-Ki HadjarDewantara Leb...