Meninggalkan hiruk pikuk kehidupan di kota
untuk merasakan langsung atmosfer kehidupan di ujung negeri kami jalani, bagi kami yang
terpilih menjadi pengajar muda melalui program SM-3T. Mengikuti
SM-3T adalah pengalaman luar biasa sepanjang perjalanan hidup saya. Melalui program
SM-3T kami para sarjana pendidikan dapat ikut berpartisipasi membangun
pendidikan di pelosok bumi pertiwi. Senin, 5 September 2016, hari pertama kami
55 guru SM-3T menginjakkan kaki di Bumi Sebalo, begitu masyarakat setempat sering
menyebut Kabupaten Bengkayang yang menjadi tempat pengabdian kami sebagai guru
SM-3T dari LPTK UNY. Setelah acara penyerahan peserta SM-3T dan pembagian
tempat pengabdian selesai, saya beserta kedua rekan SM-3T dibawa oleh kepala
sekolah menuju suatu desa yang menjadi tempat pengabdian kami selama satu tahun
menjadi guru SM-3T.
Kabupaten Bengkayang Provinsi Kalimantan
Barat, merupakan tempat pengabdian kami sebagai guru SM-3T, tepatnya di Dusun
Polongan, Desa Saba’u, Kecamaatan Samalantan dengan tempat mengajar di SMA N 3
Samalantan dan SD N 11 Polongan. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa
saya akan berada di daerah yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia. Di
mana di daerah tersebut kita bisa merasakan kehidupan masyarakat di tapal batas
NKRI khususnya dalam bidang pendidikan. Bagi saya profesi sebagai pendidik
adalah panggilan jiwa, karena melalui profesi tersebut kita dapat mengabdikan
diri sebagai pendidik yang akan mencerdaskan kehidupan bangsa, yang menjadi
salah satu tujuan Negara Indonesia. Perjalanan menuju Dusun Polongan disambut
dengan rintik hujan, hutan lebat dan jalan berlubang yang tergenang air hujan.
Kala itu dalam benak saya terbesit masihkah ada kehidupan di daerah seperti ini
dan akankah saya betah tinggal di tempat seperti ini selama satu tahun?. Tempat
tersebut jauh dari kata ramai, modern serta gemerlapnya
kota, dan membuat saya lebih tercengang lagi setelah kepala sekolah saya
berkata “di sini tidak ada sinyal bu”
seraya saya menahan tangis rasa ingin kembali pulang ke rumah. Namun saya
mencoba menasihati diri saya sendiri bahwa ini adalah pilihan hidup yang sudah
saya pilih dan kehidupan ini hanya akan saya alami satu tahun saja.
Kekhawatiran
saya akan kehidupan yang jauh dari kota, kehidupan hampa tanpa sinyal berangsur
sirna ketika melihat keramahan penduduk setempat serta semangat dan senyum
hangat dari siswa-siswi yang menyambut kedatangan kami. Senyum dan semangat
mereka menjadi motivasi tersendiri bagi kami untuk mengabdikan diri membimbing
mereka dalam mewujudkan mimpi-mimpi yang mereka impikan selama ini. Hari demi
hari terus berjalan, berada di daerah tersebut semakin melatih kami untuk
selalu mensyukuri hidup yang ada. Kehidupan di Pulau Jawa dengan segala
fasilitas yang hampir semua ada itu tidak kami rasakan di daerah penempatan kami
sebagai guru SM-3T. Hidup dengan segala keterbatasan dan kondisi alam yang
masih rata-rata merupakan daerah hutan menjadi hal yang benar-benar baru dan
mengharukan bagi saya. Kehidupan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa
saya akan berada dan mengalami kehidupan seperti ini. Di tempat ini saya
diajarkan untuk lebih bersahabat dengan alam serta memanfaatkan semua yang ada
di alam ini.
Kondisi pendidikan di daerah ini tentu
jauh berbeda dengan kondisi pendidikan yang ada di Pulau Jawa. Sekolah dengan
segala keterbatasan, baik dari sarana-prasarana maupun dari tenaga pendidiknya.
Namun keterbatasan tersebut tak menyurutkan semangat mereka untuk selalu
berusaha menuntut ilmu sebagai bekal masa depan mereka. Tak sedikit dari mereka
datang ke sekolah dengan berjalan kaki walaupun jarak tempuh yang mereka lalui
begitu jauh dan melelahkan. Belum lagi jika hujan turun, ada beberapa daerah
yang banjir apabila hujan turun dan tidak bisa dilewati. Tak jarang pula dari
mereka yang bersekolah sambil berjualan menjajakan dagangannya untuk sedikit
membantu biaya sekolah mereka. Seragam lusuh, sepatu robek dan bolong, tas yang
sudah tak layak untuk dipakai masih mereka gunakan untuk menimba ilmu di setiap
harinya. Terkadang dari siswa itu ada yang meminta pekerjaan kepada kepala
sekolah untuk menambah uang saku atau membantu biaya hidup mereka. Bahkan
terkadang sampai ada yang tidak berangkat sekolah karena mereka mencari
segenggam rupiah demi membantu orang tua mereka.
Rintihan hati mereka yang kadang bercerita kepada
saya “ ibu guru saya belum bisa bayar SPP karena mamak bapak belum ada uang,
ibu guru saya tidak jajan karena tidak ada uang saku, ibu guru kemarin saya tidak
sekolah karena saya mencari uang membantu mamak dan bapak adik saya masih
kecil-kecil”. Kata-kata itulah yang menjadikan rasa haru dan iba betapa mereka
sudah harus ikut memikul beban hidup orang tuanya, mereka yang masih anak
sekolah yang seharusnya belum saatnya untuk memikirkan beban hidup seperti
itu. Dari kenyataan hidup yang seperti
itulah semakin mengetuk pintu hati saya sebagai seorang guru untuk mengeluarkan
mereka dari jerat kemiskinan dan serba keterbatasan salah satunya melalui dunia
pendidikan. Pengabdian sebagai seorang guru SM-3T ini menjadi fasilitas bagi
saya, untuk memberikan motivasi bagi mereka yang menginginkan perubahan dalam kehidupannya.
Dengan bekal ilmu yang saya punya walaupun belum seberapa ilmu yang saya
miliki, namun dengan sedikit ilmu yang saya berikan kepada mereka saya berharap
suatu saat ada andil besar dalam kehidupan mereka.
Salah satu pengalaman berharga yang saya
dapatkan yaitu meskipun mereka berada di daerah tapal batas Indonesia tidak
menyurutkan semangat nasionalisme dan patriotisme serta cinta tanah air mereka
kepada bumi pertiwi ini. Hal ini sangat terasa pada saat peringatan hari-hari
bersejarah bagi Indonesia. Di sekolah ini selalu memperingati dan memeriahkan
hari bersejarah nasional seperti Hari Sumpah Pemuda, Hari Kartini, Hari
Lahirnya Pancasila, Hari Pramuka, HUT RI, dan hari-hari bersejarah lainnya.
Mereka selalu bersemangat untuk memeriahkan peringatan hari-hari tersebut. Sekolah
selalu menyempatkan untuk memperingati hari tersebut dengan diisi kegiatan
upacara bendera serta dilanjutkan dengan lomba-lomba yang dapat memupuk rasa
nasionalisme mereka. Lagu Indonesia Raya serta lagu wajib yang lainnya menjadi
pengantar setiap mereka memulai suatu mata pelajaran.
Siswa-siswi adalah semangat saya untuk
tetap mengabdikan diri sebagai guru yang setidaknya menjadi bak lentera di
kegelapan penjuru negeri ini. Dengan segala keterbatasan serta masih rendahnya
taraf pendidikan di daerah ini setidaknya saya berusaha untuk membangkitkan
semangat mereka demi pendidikan yang maju sehingga pelosok negeri akan terlihat
terang karena matahari di pelosok negeri kini sudah bersinar dengan terang. Para
siswa sebagai generasi penerus bangsa bak mentari yang akan menjadi cahaya
terang bagi bumi pertiwi ini. Siswa-siswi di tapal batas sebagai generasi
penerus bangsa ini apabila mereka dapat bangkit dan membangun negeri khususnya
di daerah-daerah pedalaman bahkan di daerah perbatasan negara ini, maka di
setiap penjuru negeri ini akan bersinar layaknya matahari yang tiada henti
menyinari alam semesta ini. Gemerlapnya kehidupan kota akan mereka rasakan
dengan segala fasilitas yang selalu ada. Keterbatasan infrasturktur yang
menjadi kendala selama ini maka tidak akan pernah ada lagi.
Selain mendapatkan potret kehidupan dari dunia
pendidikan, saya juga dapat merasakan kehidupan sosial masyarakat Dusun
Polongan di sekitar tempat saya tinggal. Salah satu pengalaman hidup yang saya
dapatkan adalah bagaimana mereka untuk bertahan hidup dengan ekonomi yang
rata-rata menengah ke bawah. Demi rupiah mereka tidak mengenal siang dan malam,
hujan dan panas, lelah dan letih. Demi rupiah mereka rela mencari getah karet
ketika dini hari di saat seharusnya mereka terlelap untuk beristirahat namun
mereka tetap menjelajahi hutan demi rupiah untuk menyambung hidup mereka. Yang
membuat saya lebih tercengang, tak jarang dari mereka para ibu-ibu berani
menyusuri hutan sendiri di tengah gelapnya malam untuk mencari getah karet.
Dengan kondisi alam yang terdiri dari perbukitan dan pegunungan mereka juga
menanam padi gunung sebagai kebutuhan pokok mereka. Bukit atau gunung yang jika
dilihat tidak memungkinkan untuk dijadikan lahan karena begitu terjal, akan
tetapi tetap mereka gunakan sebagai lahan untuk menanam berbagai jenis tanaman
untuk menyambung hidup mereka. Pengalaman hidup yang sebelumnya belum pernah saya
rasakan adalah merasakan bagaimana perjuangan mencari sayuran ke dalam hutan,
demi sayur untuk mengisi perut kita harus mencarinya di tengah-tengah hutan
yang tentu saja membuat saya ngeri
ketika melintasinya. Namun pengalaman tersebut menjadi kisah berharga dalam
kehidupan saya yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan bahwa saya akan
mengalami hal seperti itu.
Keramahan
warga yang senantiasa mengajak saya dalam kegiatan yang mereka lakukan
menjadikan salah satu semangat saya untuk tetap berada di tengah-tengah mereka.
Tak jarang mereka datang membawa apapun yang mereka dapatkan dari hutan maupun
dari hasil panen mereka untuk diberikan kepada saya selama saya tinggal di
sana. Mereka sudah menganggap kami sebagai bagian dari keluarga mereka, bahkan
jika ada acara keluarga kami juga diundang untuk dapat berkumpul dengan mereka.
Suasana sekolah yang menyenangkan serta suasana kekeluargaan yang terjalin
selama di daerah penempatan membuat saya terlena dan tak terasa bahwa pengabdian
kami akan segera berakhir. Sapaan anak-anak dan warga yang selalu kami dapati
ketika melintas di jalan menjadi kebahgiaan dan kenangan tersendiri bagi saya
selama menjadi guru SM-3T. Saya merasa kehadiran saya di tempat itu diterima
baik oleh mereka, mereka menyayangi saya, menghormati serta menghargai saya
meskipun di tempat itu saya sebagai kaum minoritas dan berbeda latar belakang
baik suku, budaya serta agama. Namun mereka tidak pernah mempermasalahkan hal
tersebut, mereka tetap menghargai latar belakang saya dan kami saling bertukar
budaya dengan mereka.
Tidak terasa masa pengabdian saya di
Dusun Polongan segera berakhir, Rabu 24 Agustus 2017 kami 55 guru SM-3T
Kabupaten Bengkayang harus segera kembali ke LPTK UNY karena masa pengabdiaan
kami telah berakhir. Tanpa terasa waktu satu tahun itu hanyalah sekejap mata,
waktu yang kami miliki serasa masih kurang untuk bersama mereka para
orang-orang luar biasa yang pernah memberikan pengalaman luar biasa kepada
saya. Kesan pertama saya datang, apakah saya akan kerasan tinggal di tempat ini? seakan saya lupa pernah mengucapkan
kata itu dan tidak pantas saya ucapkan seharusnya. Sepanjang kehidupan yang
saya alami selama berada di Dusun Polongan adalah rasa bahagia, bangga serta
haru. Saya merasakan bahwa inilah kehidupan saya yang sekarang, saya sudah kerasan dan nyaman dengan kehidupan ini.
Ketika mendengar tanggal pemulangan ke LPTK saya serasa masih ingin berada di
tempat tersebut. Jujur saya rasakan kehilangan dan serasa ada yang pergi dari
hidup saya. Raut kesedihan serta isak tangis para siswa serta warga sekitar ketika
perpisahan itu datang semakin memberatkan langkah saya untuk kembali ke Tanah
Jawa. Namun saya yakin bahwa ini bukanlah akhir dari pegabdian saya, justru ini
adalah langkah awal saya untuk seterusnya akan mengbadi lebih lama dan lebih banyak
untuk NKRI. Semangat mengabdi untuk negeri bagi para pendidik tunas bangsa
Salam Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia dari kami Guru SM-3T Angkatan VI
Kabupaten Bengkayang. ( oleh
Arifiana Latifah R., S.Pd.)
No comments:
Post a Comment