Monday, December 31, 2018

Matahari di Penjuru Negeri


  Meninggalkan hiruk pikuk kehidupan di kota untuk merasakan langsung atmosfer kehidupan di ujung negeri kami jalani, bagi kami yang terpilih menjadi pengajar muda melalui program SM-3T. Mengikuti SM-3T adalah pengalaman luar biasa sepanjang perjalanan hidup saya. Melalui program SM-3T kami para sarjana pendidikan dapat ikut berpartisipasi membangun pendidikan di pelosok bumi pertiwi. Senin, 5 September 2016, hari pertama kami 55 guru SM-3T menginjakkan kaki di Bumi Sebalo, begitu masyarakat setempat sering menyebut Kabupaten Bengkayang yang menjadi tempat pengabdian kami sebagai guru SM-3T dari LPTK UNY. Setelah acara penyerahan peserta SM-3T dan pembagian tempat pengabdian selesai, saya beserta kedua rekan SM-3T dibawa oleh kepala sekolah menuju suatu desa yang menjadi tempat pengabdian kami selama satu tahun menjadi guru SM-3T.
                                          

     Kabupaten Bengkayang Provinsi Kalimantan Barat, merupakan tempat pengabdian kami sebagai guru SM-3T, tepatnya di Dusun Polongan, Desa Saba’u, Kecamaatan Samalantan dengan tempat mengajar di SMA N 3 Samalantan dan SD N 11 Polongan. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa saya akan berada di daerah yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia. Di mana di daerah tersebut kita bisa merasakan kehidupan masyarakat di tapal batas NKRI khususnya dalam bidang pendidikan. Bagi saya profesi sebagai pendidik adalah panggilan jiwa, karena melalui profesi tersebut kita dapat mengabdikan diri sebagai pendidik yang akan mencerdaskan kehidupan bangsa, yang menjadi salah satu tujuan Negara Indonesia. Perjalanan menuju Dusun Polongan disambut dengan rintik hujan, hutan lebat dan jalan berlubang yang tergenang air hujan. Kala itu dalam benak saya terbesit masihkah ada kehidupan di daerah seperti ini dan akankah saya betah tinggal di tempat seperti ini selama satu tahun?. Tempat tersebut jauh dari kata ramai, modern serta gemerlapnya kota, dan membuat saya lebih tercengang lagi setelah kepala sekolah saya berkata  “di sini tidak ada sinyal bu” seraya saya menahan tangis rasa ingin kembali pulang ke rumah. Namun saya mencoba menasihati diri saya sendiri bahwa ini adalah pilihan hidup yang sudah saya pilih dan kehidupan ini hanya akan saya alami satu tahun saja.
      Kekhawatiran saya akan kehidupan yang jauh dari kota, kehidupan hampa tanpa sinyal berangsur sirna ketika melihat keramahan penduduk setempat serta semangat dan senyum hangat dari siswa-siswi yang menyambut kedatangan kami. Senyum dan semangat mereka menjadi motivasi tersendiri bagi kami untuk mengabdikan diri membimbing mereka dalam mewujudkan mimpi-mimpi yang mereka impikan selama ini. Hari demi hari terus berjalan, berada di daerah tersebut semakin melatih kami untuk selalu mensyukuri hidup yang ada. Kehidupan di Pulau Jawa dengan segala fasilitas yang hampir semua ada itu tidak kami rasakan di daerah penempatan kami sebagai guru SM-3T. Hidup dengan segala keterbatasan dan kondisi alam yang masih rata-rata merupakan daerah hutan menjadi hal yang benar-benar baru dan mengharukan bagi saya. Kehidupan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa saya akan berada dan mengalami kehidupan seperti ini. Di tempat ini saya diajarkan untuk lebih bersahabat dengan alam serta memanfaatkan semua yang ada di alam ini.
            Kondisi pendidikan di daerah ini tentu jauh berbeda dengan kondisi pendidikan yang ada di Pulau Jawa. Sekolah dengan segala keterbatasan, baik dari sarana-prasarana maupun dari tenaga pendidiknya. Namun keterbatasan tersebut tak menyurutkan semangat mereka untuk selalu berusaha menuntut ilmu sebagai bekal masa depan mereka. Tak sedikit dari mereka datang ke sekolah dengan berjalan kaki walaupun jarak tempuh yang mereka lalui begitu jauh dan melelahkan. Belum lagi jika hujan turun, ada beberapa daerah yang banjir apabila hujan turun dan tidak bisa dilewati. Tak jarang pula dari mereka yang bersekolah sambil berjualan menjajakan dagangannya untuk sedikit membantu biaya sekolah mereka. Seragam lusuh, sepatu robek dan bolong, tas yang sudah tak layak untuk dipakai masih mereka gunakan untuk menimba ilmu di setiap harinya. Terkadang dari siswa itu ada yang meminta pekerjaan kepada kepala sekolah untuk menambah uang saku atau membantu biaya hidup mereka. Bahkan terkadang sampai ada yang tidak berangkat sekolah karena mereka mencari segenggam rupiah demi membantu orang tua mereka.
    Rintihan hati mereka yang kadang bercerita kepada saya “ ibu guru saya belum bisa bayar SPP karena mamak bapak belum ada uang, ibu guru saya tidak jajan karena tidak ada uang saku, ibu guru kemarin saya tidak sekolah karena saya mencari uang membantu mamak dan bapak adik saya masih kecil-kecil”. Kata-kata itulah yang menjadikan rasa haru dan iba betapa mereka sudah harus ikut memikul beban hidup orang tuanya, mereka yang masih anak sekolah yang seharusnya belum saatnya untuk memikirkan beban hidup seperti itu.  Dari kenyataan hidup yang seperti itulah semakin mengetuk pintu hati saya sebagai seorang guru untuk mengeluarkan mereka dari jerat kemiskinan dan serba keterbatasan salah satunya melalui dunia pendidikan. Pengabdian sebagai seorang guru SM-3T ini menjadi fasilitas bagi saya, untuk memberikan motivasi bagi mereka yang menginginkan perubahan dalam kehidupannya. Dengan bekal ilmu yang saya punya walaupun belum seberapa ilmu yang saya miliki, namun dengan sedikit ilmu yang saya berikan kepada mereka saya berharap suatu saat ada andil besar dalam kehidupan mereka.
      Salah satu pengalaman berharga yang saya dapatkan yaitu meskipun mereka berada di daerah tapal batas Indonesia tidak menyurutkan semangat nasionalisme dan patriotisme serta cinta tanah air mereka kepada bumi pertiwi ini. Hal ini sangat terasa pada saat peringatan hari-hari bersejarah bagi Indonesia. Di sekolah ini selalu memperingati dan memeriahkan hari bersejarah nasional seperti Hari Sumpah Pemuda, Hari Kartini, Hari Lahirnya Pancasila, Hari Pramuka, HUT RI, dan hari-hari bersejarah lainnya. Mereka selalu bersemangat untuk memeriahkan peringatan hari-hari tersebut. Sekolah selalu menyempatkan untuk memperingati hari tersebut dengan diisi kegiatan upacara bendera serta dilanjutkan dengan lomba-lomba yang dapat memupuk rasa nasionalisme mereka. Lagu Indonesia Raya serta lagu wajib yang lainnya menjadi pengantar setiap mereka memulai suatu mata pelajaran.
      Siswa-siswi adalah semangat saya untuk tetap mengabdikan diri sebagai guru yang setidaknya menjadi bak lentera di kegelapan penjuru negeri ini. Dengan segala keterbatasan serta masih rendahnya taraf pendidikan di daerah ini setidaknya saya berusaha untuk membangkitkan semangat mereka demi pendidikan yang maju sehingga pelosok negeri akan terlihat terang karena matahari di pelosok negeri kini sudah bersinar dengan terang. Para siswa sebagai generasi penerus bangsa bak mentari yang akan menjadi cahaya terang bagi bumi pertiwi ini. Siswa-siswi di tapal batas sebagai generasi penerus bangsa ini apabila mereka dapat bangkit dan membangun negeri khususnya di daerah-daerah pedalaman bahkan di daerah perbatasan negara ini, maka di setiap penjuru negeri ini akan bersinar layaknya matahari yang tiada henti menyinari alam semesta ini. Gemerlapnya kehidupan kota akan mereka rasakan dengan segala fasilitas yang selalu ada. Keterbatasan infrasturktur yang menjadi kendala selama ini maka tidak akan pernah ada lagi.
            Selain mendapatkan potret kehidupan dari dunia pendidikan, saya juga dapat merasakan kehidupan sosial masyarakat Dusun Polongan di sekitar tempat saya tinggal. Salah satu pengalaman hidup yang saya dapatkan adalah bagaimana mereka untuk bertahan hidup dengan ekonomi yang rata-rata menengah ke bawah. Demi rupiah mereka tidak mengenal siang dan malam, hujan dan panas, lelah dan letih. Demi rupiah mereka rela mencari getah karet ketika dini hari di saat seharusnya mereka terlelap untuk beristirahat namun mereka tetap menjelajahi hutan demi rupiah untuk menyambung hidup mereka. Yang membuat saya lebih tercengang, tak jarang dari mereka para ibu-ibu berani menyusuri hutan sendiri di tengah gelapnya malam untuk mencari getah karet. Dengan kondisi alam yang terdiri dari perbukitan dan pegunungan mereka juga menanam padi gunung sebagai kebutuhan pokok mereka. Bukit atau gunung yang jika dilihat tidak memungkinkan untuk dijadikan lahan karena begitu terjal, akan tetapi tetap mereka gunakan sebagai lahan untuk menanam berbagai jenis tanaman untuk menyambung hidup mereka. Pengalaman hidup yang sebelumnya belum pernah saya rasakan adalah merasakan bagaimana perjuangan mencari sayuran ke dalam hutan, demi sayur untuk mengisi perut kita harus mencarinya di tengah-tengah hutan yang tentu saja membuat saya ngeri ketika melintasinya. Namun pengalaman tersebut menjadi kisah berharga dalam kehidupan saya yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan bahwa saya akan mengalami hal seperti itu.  
       Keramahan warga yang senantiasa mengajak saya dalam kegiatan yang mereka lakukan menjadikan salah satu semangat saya untuk tetap berada di tengah-tengah mereka. Tak jarang mereka datang membawa apapun yang mereka dapatkan dari hutan maupun dari hasil panen mereka untuk diberikan kepada saya selama saya tinggal di sana. Mereka sudah menganggap kami sebagai bagian dari keluarga mereka, bahkan jika ada acara keluarga kami juga diundang untuk dapat berkumpul dengan mereka. Suasana sekolah yang menyenangkan serta suasana kekeluargaan yang terjalin selama di daerah penempatan membuat saya terlena dan tak terasa bahwa pengabdian kami akan segera berakhir. Sapaan anak-anak dan warga yang selalu kami dapati ketika melintas di jalan menjadi kebahgiaan dan kenangan tersendiri bagi saya selama menjadi guru SM-3T. Saya merasa kehadiran saya di tempat itu diterima baik oleh mereka, mereka menyayangi saya, menghormati serta menghargai saya meskipun di tempat itu saya sebagai kaum minoritas dan berbeda latar belakang baik suku, budaya serta agama. Namun mereka tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut, mereka tetap menghargai latar belakang saya dan kami saling bertukar budaya dengan mereka.
      Tidak terasa masa pengabdian saya di Dusun Polongan segera berakhir, Rabu 24 Agustus 2017 kami 55 guru SM-3T Kabupaten Bengkayang harus segera kembali ke LPTK UNY karena masa pengabdiaan kami telah berakhir. Tanpa terasa waktu satu tahun itu hanyalah sekejap mata, waktu yang kami miliki serasa masih kurang untuk bersama mereka para orang-orang luar biasa yang pernah memberikan pengalaman luar biasa kepada saya. Kesan pertama saya datang, apakah saya akan kerasan tinggal di tempat ini? seakan saya lupa pernah mengucapkan kata itu dan tidak pantas saya ucapkan seharusnya. Sepanjang kehidupan yang saya alami selama berada di Dusun Polongan adalah rasa bahagia, bangga serta haru. Saya merasakan bahwa inilah kehidupan saya yang sekarang, saya sudah kerasan dan nyaman dengan kehidupan ini. Ketika mendengar tanggal pemulangan ke LPTK saya serasa masih ingin berada di tempat tersebut. Jujur saya rasakan kehilangan dan serasa ada yang pergi dari hidup saya. Raut kesedihan serta isak tangis para siswa serta warga sekitar ketika perpisahan itu datang semakin memberatkan langkah saya untuk kembali ke Tanah Jawa. Namun saya yakin bahwa ini bukanlah akhir dari pegabdian saya, justru ini adalah langkah awal saya untuk seterusnya akan mengbadi lebih lama dan lebih banyak untuk NKRI. Semangat mengabdi untuk negeri bagi para pendidik tunas bangsa Salam Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia dari kami Guru SM-3T Angkatan VI Kabupaten Bengkayang. (oleh Arifiana Latifah R., S.Pd.)


No comments:

Post a Comment

Merdeka Belajar

 Merdeka Belajar Kebebasan setiap individu atas hak-haknya tanpa melanggar atau mengambil hak kebebasan individu lain-Ki HadjarDewantara Leb...