Perjalanan saya mengikuti program SM-3T telah mengantarkan saya ke sebuah
Dusun di pelosok negeri ini dengan
alam yang masih asri, di Bumi Sebalo Kalimantan Barat. Dusun itu bernama Kendaik, terletak di Kecamatan Suti Semarang, Kabupaten Bengkayang, Provinsi
Kalimantan Barat.
Saya tak pernah menyangka, menjadi guru SM-3T
membuat saya semakin menyadari bahwa saya begitu mencintai negeri ini, Indonesia. Indonesia adalah negeri
kaya. Tidak hanya alamnya, tetapi juga budaya dan nilai-nilai yang menjadi roh
dan melekat erat mengindahkan bumi Ibu Pertiwi. Inilah yang saya rasakan ketika
sedang menjalankan tugas saat sebagai
guru SM-3T. Begitu banyak hal yang membuat saya terharu dan tentunya lebih bersyukur. Saya melihat,
menilai, belajar banyak hal dan
semakin memahami bahwa begitu luar biasanya potensi bangsa ini. Alamnya, sumber
daya manusianya, terlebih nilai-nilainya. Masyarakat Indonesia patut bangga
karena merekalah sesungguhnya yang menghebatkan dan mampu mengindahkan negeri
ini.
Hal ini saya rasakan sendiri, berangkat dari permulaan yang jauh dari
perkiraan. Tibalah saya di lokasi penempatan di Bengkayang, Kalimantan Barat.
Kali pertama menginjakkan kaki di “Bumi Sebalo”. Kampung penempatan saya berada
nun jauh dari pusat kabupaten Bengkayang itu sendiri. Untuk menuju kampung
tersebut bisa menggunakan dua jalur, yaitu jalur air dan jalur darat.
Motor air namanya, sampan yang dipasangi pesawat sederhana. Gemericik
aliran sungai yang dilewati pun tertelan suara deru motor air. Bunyinya cukup
membuat pekak telinga. Suara riuh rendah angin membuat goyangan pohon di
sekitar sungai tak terdengar. Hanya cipratan air dan angin yang terasa menerpa
wajah. Seperti inilah salah satu menikmati keindahan alam pedalaman Kalimantan
Barat.
Tibalah di sebuah Dusun, yaitu Dusun Kendaik yang didiami oleh suku
Melayu. Saya sangat bersyukur karena kehadiran saya disambut dengan baik. Saya
mendiami perumahan guru milik kepala sekolah saya. Hal yang paling membuat saya
tersentuh adalah adalah mereka memperlakukan saya seperti anak perempuan mereka sendiri. Mereka
pun tak sanggup membayangkan bagaimana jika anak perempuannyalah yang
ditempatkan disana. Sikap mereka menyiratkan keresahan hati sebagai orang tua
yang sesungguhnya. Orang tua yang begitu khawatir, bagaimana jika anak
perempuannya sendirilah yang ditempatkan di daerah yang masih dipenuhi
keterbatasan. Terlebih terkait masalah keamanan.
Tidak cukup sampai disitu. Bapak kepala sekolah pun memperkenalkan saya
kepada seluruh warga kampung sebagai guru SM-3T yang akan mengajar selama
setahun. Dia juga secara langsung meminta kepada warga agar menganggap saya
layaknya anak atau adik mereka sendiri, tidak ada satu pun yang rela jika anak
atau adik sendiri ada yang mengganggu.
Saya benar-benar diperlakukan sebagai saudara sendiri. Begitu pula
anak-anak kampung hampir setiap sore dan malam berkunjung ke rumah untuk
belajar ataupun sekedar bermain. Bahkan kadang ada warga atau anak-anak yang
berkunjung untuk memberi sayuran maupun makanan. Tak jarang pula diundang ke
rumah arga untuk sekedar makan malam dan bersantai. Saya terharu tiada
habisnya. Rasanya kantong syukur saya selalu terisi penuh.
Nilai-nilai seperti itulah yang sering saya temukan dalam keseharian saya
di kampung penugasan. Indonesia kaya akan nilai budaya yang penuh makna. Di
Bumi Sebalo ini. Pendidikan pun cukup dihargai. Ada nilai yang secara alami
melekat erat pada masyarakat, yaitu warga bekerja keras untuk menyekolahkan
anak mereka. Anak-anak juga pada umumnya memiliki semangat belajar yang tinggi.
Sekali lagi, kantong syukur saya memenuhi arti.
Saya mengikuti irama pendidikan nun jauh di jantung Kabupaten Bengkayang.
Selama satu tahun disini, saya dihadapkan pada realitas pendidikan bangsa kita,
dari sudut pandang guru maupun siswa. Suatu hal yang sebelumnya hanya bisa saya
lihat di media, kini berada tepat di depan mata dan menjadi keseharian saya.
Jalanan ke sekolah yang belum mengalami pengerasan, bangunan sekolah yang minim
infrastruktur, siswa-siswi dengan seragamnya yang lusuh, adalah nyata adanya. Kesan
pertama saat melihat keadaan ini membuat saya lebih bersyukur, begitu
beruntungnya saya bersekolah di perkotaan. Meski kini saya benar-benar
menjalaninya, rasanya hati ini malu untuk mengeluh, terutama apabila mengingat
perjuangan para guru dan siswa untuk mengajar dan belajar.
Dalam bahasa Jawa, guru itu “digugu lan ditiru”. Dalam bahasa Indonesia
artinya diteladani dan dicontoh. Tentu berat rasanya ketika hal tersebut
menjadi suatu beban tanggung jawab yang harus diemban. Menurut saya guru itu
orang yang mampu berbagi. Berbagi apa saja. Yang terpenting adalah ilmu dan
motivasi. Motivasi untuk berpikir ke depan, motivasi untuk maju, motivasi untuk
menjadi orang yang bermanfaat, motivasi untuk selalu berpikiran positif, dan
semua hal yang berkaitan dengan kebaikan. Tak lupa seorang guru pun harus
memberikan energi positif kepada murid-murid di celah memberikan pelajaran.
Disini saya tidak hanya merasakan bagaimana serunya menjadi guru dalam
memberikan pelajaran di kelas. Anak tidak fokus, gaduh, bahkan tidak
mendengarkan guru bicara di depan. Itu semua menjadi hal yang seru dalam
mengatasinya. Saya pun tak mau rugi tidak mengalami serunya menjadi anak-anak.
Sepulang sekolah di sore hari saya menyempatkan diri untuk masuk di dunia
mereka. Dunia yang penuh dengan canda tawa.
Saya bersyukur. Semakin saya melihat, semakin saya memahami dan menemukan
bahwa budaya tanah air sangat kaya dan penuh corak. Nilai-nilai masyarakat di
negeri ini begitu luhur. Semua berjuang dan selalu tersenyum serta saling
berinteraksi dengan tetap menjunjung tinggi rasa persaudaraan, saling
menghargai, dan tolong-menolong.
Kantong syukur saya sungguh tak pernah kosong disini. Saya diberikan
Allah keluarga angkat yang luar biasa dan dianggap seperti anak sendiri. Saya
belajar begitu banyak. Yang tak kalah berharganya, kesan dan kenangan ini akan
saya bawa seumur hidup. Takkan bisa dibayar oleh apapun dan takkan ditemui lagi
di kondisi lain mana pun.
Sepengalaman saya menjadi guru SM-3T, memang tidaklah mudah menjadi sosok
pendidik. Guru tidaklah sekadar mengajar di depan kelas, tetapi ia haruslah
seseorang yang memiliki integritas kepribadian yang tinggi. Dan sampai sekarang
pun saya belum sepenuhnya bisa seperti itu. Guru mampu menjadi teladan yang
baik di dalam maupun di luar kelas, dan yang paling dasar adalah memiliki
keikhlasan yang besar untuk terus berbagi dan menghadapi berbagai keunikan
karakter anak.
Saya mungkin hanya menjadi guru dalam satu tahun ini, tetapi bapak/ibu
guru yang lain menjalani profesi ini untuk seumur hidup mereka. Doa saya semoga
mereka selalu dibimbing dan diberi kekuatan untuk mampu memberikan yang terbaik
bagi anak bangsa.
Terima kasih SM-3T. Jika kita tulus meluruskan niat untuk memberi yang
baik, kita akan menuai hal yang tak kalah hebatnya. Saya percaya itu, dan
Indonesia, saya mencintaimu.(Novita Dispriyani,
S.Pd.)
No comments:
Post a Comment