Friday, August 2, 2019

SM3T dan Kantong Syukurku

Perjalanan saya mengikuti program SM-3T telah mengantarkan saya ke sebuah Dusun di pelosok negeri ini dengan alam yang masih asri, di Bumi Sebalo Kalimantan Barat. Dusun itu bernama Kendaik, terletak di Kecamatan Suti Semarang, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat.
Saya tak  pernah menyangka, menjadi guru SM-3T membuat saya semakin menyadari bahwa saya begitu mencintai negeri ini, Indonesia. Indonesia adalah negeri kaya. Tidak hanya alamnya, tetapi juga budaya dan nilai-nilai yang menjadi roh dan melekat erat mengindahkan bumi Ibu Pertiwi. Inilah yang saya rasakan ketika sedang menjalankan tugas saat sebagai guru SM-3T. Begitu banyak hal yang membuat saya terharu dan tentunya lebih bersyukur. Saya melihat, menilai, belajar banyak hal dan semakin memahami bahwa begitu luar biasanya potensi bangsa ini. Alamnya, sumber daya manusianya, terlebih nilai-nilainya. Masyarakat Indonesia patut bangga karena merekalah sesungguhnya yang menghebatkan dan mampu mengindahkan negeri ini.
Hal ini saya rasakan sendiri, berangkat dari permulaan yang jauh dari perkiraan. Tibalah saya di lokasi penempatan di Bengkayang, Kalimantan Barat. Kali pertama menginjakkan kaki di “Bumi Sebalo”. Kampung penempatan saya berada nun jauh dari pusat kabupaten Bengkayang itu sendiri. Untuk menuju kampung tersebut bisa menggunakan dua jalur, yaitu jalur air dan jalur darat.
Motor air namanya, sampan yang dipasangi pesawat sederhana. Gemericik aliran sungai yang dilewati pun tertelan suara deru motor air. Bunyinya cukup membuat pekak telinga. Suara riuh rendah angin membuat goyangan pohon di sekitar sungai tak terdengar. Hanya cipratan air dan angin yang terasa menerpa wajah. Seperti inilah salah satu menikmati keindahan alam pedalaman Kalimantan Barat.
Tibalah di sebuah Dusun, yaitu Dusun Kendaik yang didiami oleh suku Melayu. Saya sangat bersyukur karena kehadiran saya disambut dengan baik. Saya mendiami perumahan guru milik kepala sekolah saya. Hal yang paling membuat saya tersentuh adalah adalah mereka memperlakukan saya  seperti anak perempuan mereka sendiri. Mereka pun tak sanggup membayangkan bagaimana jika anak perempuannyalah yang ditempatkan disana. Sikap mereka menyiratkan keresahan hati sebagai orang tua yang sesungguhnya. Orang tua yang begitu khawatir, bagaimana jika anak perempuannya sendirilah yang ditempatkan di daerah yang masih dipenuhi keterbatasan. Terlebih terkait masalah keamanan.
Tidak cukup sampai disitu. Bapak kepala sekolah pun memperkenalkan saya kepada seluruh warga kampung sebagai guru SM-3T yang akan mengajar selama setahun. Dia juga secara langsung meminta kepada warga agar menganggap saya layaknya anak atau adik mereka sendiri, tidak ada satu pun yang rela jika anak atau adik sendiri ada yang mengganggu.
Saya benar-benar diperlakukan sebagai saudara sendiri. Begitu pula anak-anak kampung hampir setiap sore dan malam berkunjung ke rumah untuk belajar ataupun sekedar bermain. Bahkan kadang ada warga atau anak-anak yang berkunjung untuk memberi sayuran maupun makanan. Tak jarang pula diundang ke rumah arga untuk sekedar makan malam dan bersantai. Saya terharu tiada habisnya. Rasanya kantong syukur saya selalu terisi penuh.
Nilai-nilai seperti itulah yang sering saya temukan dalam keseharian saya di kampung penugasan. Indonesia kaya akan nilai budaya yang penuh makna. Di Bumi Sebalo ini. Pendidikan pun cukup dihargai. Ada nilai yang secara alami melekat erat pada masyarakat, yaitu warga bekerja keras untuk menyekolahkan anak mereka. Anak-anak juga pada umumnya memiliki semangat belajar yang tinggi. Sekali lagi, kantong syukur saya memenuhi arti.
Saya mengikuti irama pendidikan nun jauh di jantung Kabupaten Bengkayang. Selama satu tahun disini, saya dihadapkan pada realitas pendidikan bangsa kita, dari sudut pandang guru maupun siswa. Suatu hal yang sebelumnya hanya bisa saya lihat di media, kini berada tepat di depan mata dan menjadi keseharian saya. Jalanan ke sekolah yang belum mengalami pengerasan, bangunan sekolah yang minim infrastruktur, siswa-siswi dengan seragamnya yang lusuh, adalah nyata adanya. Kesan pertama saat melihat keadaan ini membuat saya lebih bersyukur, begitu beruntungnya saya bersekolah di perkotaan. Meski kini saya benar-benar menjalaninya, rasanya hati ini malu untuk mengeluh, terutama apabila mengingat perjuangan para guru dan siswa untuk mengajar dan belajar.
Dalam bahasa Jawa, guru itu “digugu lan ditiru”. Dalam bahasa Indonesia artinya diteladani dan dicontoh. Tentu berat rasanya ketika hal tersebut menjadi suatu beban tanggung jawab yang harus diemban. Menurut saya guru itu orang yang mampu berbagi. Berbagi apa saja. Yang terpenting adalah ilmu dan motivasi. Motivasi untuk berpikir ke depan, motivasi untuk maju, motivasi untuk menjadi orang yang bermanfaat, motivasi untuk selalu berpikiran positif, dan semua hal yang berkaitan dengan kebaikan. Tak lupa seorang guru pun harus memberikan energi positif kepada murid-murid di celah memberikan pelajaran.
Disini saya tidak hanya merasakan bagaimana serunya menjadi guru dalam memberikan pelajaran di kelas. Anak tidak fokus, gaduh, bahkan tidak mendengarkan guru bicara di depan. Itu semua menjadi hal yang seru dalam mengatasinya. Saya pun tak mau rugi tidak mengalami serunya menjadi anak-anak. Sepulang sekolah di sore hari saya menyempatkan diri untuk masuk di dunia mereka. Dunia yang penuh dengan canda tawa.
Saya bersyukur. Semakin saya melihat, semakin saya memahami dan menemukan bahwa budaya tanah air sangat kaya dan penuh corak. Nilai-nilai masyarakat di negeri ini begitu luhur. Semua berjuang dan selalu tersenyum serta saling berinteraksi dengan tetap menjunjung tinggi rasa persaudaraan, saling menghargai, dan tolong-menolong.
Kantong syukur saya sungguh tak pernah kosong disini. Saya diberikan Allah keluarga angkat yang luar biasa dan dianggap seperti anak sendiri. Saya belajar begitu banyak. Yang tak kalah berharganya, kesan dan kenangan ini akan saya bawa seumur hidup. Takkan bisa dibayar oleh apapun dan takkan ditemui lagi di kondisi lain mana pun.
Sepengalaman saya menjadi guru SM-3T, memang tidaklah mudah menjadi sosok pendidik. Guru tidaklah sekadar mengajar di depan kelas, tetapi ia haruslah seseorang yang memiliki integritas kepribadian yang tinggi. Dan sampai sekarang pun saya belum sepenuhnya bisa seperti itu. Guru mampu menjadi teladan yang baik di dalam maupun di luar kelas, dan yang paling dasar adalah memiliki keikhlasan yang besar untuk terus berbagi dan menghadapi berbagai keunikan karakter anak.
Saya mungkin hanya menjadi guru dalam satu tahun ini, tetapi bapak/ibu guru yang lain menjalani profesi ini untuk seumur hidup mereka. Doa saya semoga mereka selalu dibimbing dan diberi kekuatan untuk mampu memberikan yang terbaik bagi anak bangsa.
Terima kasih SM-3T. Jika kita tulus meluruskan niat untuk memberi yang baik, kita akan menuai hal yang tak kalah hebatnya. Saya percaya itu, dan Indonesia, saya mencintaimu.(Novita Dispriyani, S.Pd.)

No comments:

Post a Comment

Merdeka Belajar

 Merdeka Belajar Kebebasan setiap individu atas hak-haknya tanpa melanggar atau mengambil hak kebebasan individu lain-Ki HadjarDewantara Leb...