Sunday, July 21, 2019

Perjalanan ke Ujung Negeri


24 tahun silam saya dilahirkan dengan nama Magfiroh. Pendidikan S1 saya peroleh dari UNY dengan jurusan Pendidikan Ekonomi yang telah mengantarkan saya menjadi seorang guru. Dengan background pendidikan guru inilah yang mendorong hati saya untuk mengajar di daerah pelosok melalui program SM3T. Itulah sekelumit latar belakang saya sebagai penulis di sini.
SMA N 1 Capkala Bengkayang itulah daerah penempatan SM3T saat pembagian daerah penugasan. Sebelumnya tak pernah saya bayangkan daerah seperti apa Capkala itu yang akan menjadi tempat mengabdi untuk 1 tahun ke depan. Selasa 7 September 2016 untuk pertama kalinya saya sampai di Bengkayang setelah menempuh perjalanan semalaman dari Pontianak. Kesan pertama yang ada dalam otak saya saat itu adalah bahwa daerah ini masih asri, udara bersih masih bisa dihirup karena kota ini tidak terlalu padat kendaraan dan juga belum padat penduduk. Dan keesokan harinya saya dijemput oleh kepala sekolah daerah penugasan. Rabu 8 September 2016 sampai juga saya di SMAN 1 Capkala yang disambut dengan senyum dan sapa hangat baik dari guru maupun para siswa-siswinya yang akan menemani hari-hari selama satu tahun kedepan. Tak pernah terbayangkan sebelumnya menginjakkan kaki di Tanah Borneo ini yang penuh dengan keberagaman agama, dan menjunjung tinggi adat budaya, penuh dengan filosofi kehidupan. Melalui siswa-siswi, saya banyak mengambil pelajaran hidup yang semuanya akan saya ulas satu persatu.
Menyinggung soal keberagaman agama, penduduk Capkala menganut keyakinan yang beragam mulai dari Khatolik, Kristen, Buddha, dan Islam. Disinilah saya mengenal toleransi beragama di mana penduduknya hidup rukun dan damai saling menghormati sesamanya meskipun berbeda. Keadaan yang sama terjadi pula dengan perbedaan suku di Capkala, di sini terdapat suku Dayak, Tionghoa, Melayu dan Jawa yang memiliki perbedaan kebiasaan, adat istiadat, dan budaya yang menjadikan Capkala kaya dan kehidupannya tetap berjalan harmonis. Saya memiliki pengalaman merasakan indahnya toleransi beragama dan keharmonisan di tengah perbedaan adat budaya di tengah masyarakat. Kala itu menjelang hari raya Idhul Adha saya dan rekan sesama guru SM3T menerima undangan salah satu siswa kami yaitu Ikke. Dia merupakan siswa yang beragama Islam mengajak untuk menginap di rumahnya dan merayakan hari raya  Idhul Adha bersama. Sampai di rumah Ikke saya dikenalkan dengan anggota keluarga dan berbincang bincang sedikit dengan orang tua Ikke tentang kebiasaan dan adat yang ada disana. Ternyata saat perayaan hari besar keagamaan warga yang merayakan bukan hanya dikunjungi oleh sanak keluarga yang muslim saja tetapi juga sanak keluarga, tetangga ataupun kawan yang non muslim. Begitu juga saat perayaan natal, sanak keluarga, tetangga ataupun kawan akan berkunjung ke warga yang merayakan natal.













Tak hanya memiliki keberagaman agama saja, Capkala pun memiliki keberagaman budaya diantaranya tarian khas Dayak, permainan musik tradisional sape, dan lainnya. Tarian khas Dayak biasanya ditarikan secara berkelompok yang terdiri dari 3–5 orang dan diiringi dengan petikan senar sape. Tarian ini digunakan pada saat upacara adat maupun penyambutan tamu. Namun untuk melestarikan tarian khas Dayak ini agar tetap terjaga kelestariannya dalam setiap tahun pada acara gawai padi atau orang Dayak menyebutnya dengan gawai naik dango, yang diadakan dengan lomba tari khas Dayak. Di bawah ini terdapat foto dokumentasi yang berhasil saya abadikan melalui kamera handphone saya:

       











Text Box: Foto ini diambil pada saat merayakan Idul Adha di rumah Ikke                                                                                  













Text Box: Foto ini diambil pada saat penyambutan tamu dari SMA Harapan Bangsa Samalantan dalam pertandingan persahabatan




(oleh Magfiroh, S.Pd)

No comments:

Post a Comment

Merdeka Belajar

 Merdeka Belajar Kebebasan setiap individu atas hak-haknya tanpa melanggar atau mengambil hak kebebasan individu lain-Ki HadjarDewantara Leb...