24
tahun silam saya dilahirkan dengan nama Magfiroh. Pendidikan S1 saya peroleh
dari UNY dengan jurusan Pendidikan Ekonomi yang telah mengantarkan saya menjadi
seorang guru. Dengan background
pendidikan guru inilah yang mendorong hati saya untuk mengajar di daerah
pelosok melalui program SM3T. Itulah sekelumit latar belakang saya sebagai
penulis di sini.
SMA
N 1 Capkala Bengkayang itulah daerah penempatan SM3T saat pembagian daerah
penugasan. Sebelumnya tak pernah saya bayangkan daerah seperti apa Capkala itu
yang akan menjadi tempat mengabdi untuk 1 tahun ke depan. Selasa 7 September
2016 untuk pertama kalinya saya sampai di Bengkayang setelah menempuh
perjalanan semalaman dari Pontianak. Kesan pertama yang ada dalam otak saya
saat itu adalah bahwa daerah ini masih asri, udara bersih masih bisa dihirup
karena kota ini tidak terlalu padat kendaraan dan juga belum padat penduduk.
Dan keesokan harinya saya dijemput oleh kepala sekolah daerah penugasan. Rabu 8
September 2016 sampai juga saya di SMAN 1 Capkala yang disambut dengan senyum
dan sapa hangat baik dari guru maupun para siswa-siswinya yang akan menemani
hari-hari selama satu tahun kedepan. Tak pernah terbayangkan sebelumnya
menginjakkan kaki di Tanah Borneo ini yang penuh dengan keberagaman agama, dan
menjunjung tinggi adat budaya, penuh dengan filosofi kehidupan. Melalui
siswa-siswi, saya banyak mengambil pelajaran hidup yang semuanya akan saya ulas
satu persatu.
Menyinggung
soal keberagaman agama, penduduk Capkala menganut keyakinan yang beragam mulai
dari Khatolik, Kristen, Buddha, dan Islam. Disinilah saya mengenal toleransi
beragama di mana penduduknya hidup rukun dan damai saling menghormati sesamanya
meskipun berbeda. Keadaan yang sama terjadi pula dengan perbedaan suku di
Capkala, di sini terdapat suku Dayak, Tionghoa, Melayu dan Jawa yang memiliki
perbedaan kebiasaan, adat istiadat, dan budaya yang menjadikan Capkala kaya dan
kehidupannya tetap berjalan harmonis. Saya memiliki pengalaman merasakan
indahnya toleransi beragama dan keharmonisan di tengah perbedaan adat budaya di
tengah masyarakat. Kala itu menjelang hari raya Idhul Adha saya dan rekan
sesama guru SM3T menerima undangan salah satu siswa kami yaitu Ikke. Dia
merupakan siswa yang beragama Islam mengajak untuk menginap di rumahnya dan
merayakan hari raya Idhul Adha bersama.
Sampai di rumah Ikke saya dikenalkan dengan anggota keluarga dan berbincang
bincang sedikit dengan orang tua Ikke tentang kebiasaan dan adat yang ada
disana. Ternyata saat perayaan hari besar keagamaan warga yang merayakan bukan
hanya dikunjungi oleh sanak keluarga yang muslim saja tetapi juga sanak
keluarga, tetangga ataupun kawan yang non muslim. Begitu juga saat perayaan natal,
sanak keluarga, tetangga ataupun kawan akan berkunjung ke warga yang merayakan
natal.
Tak hanya memiliki keberagaman agama saja, Capkala pun memiliki keberagaman budaya diantaranya tarian khas Dayak, permainan musik tradisional sape, dan lainnya. Tarian khas Dayak biasanya ditarikan secara berkelompok yang terdiri dari 3–5 orang dan diiringi dengan petikan senar sape. Tarian ini digunakan pada saat upacara adat maupun penyambutan tamu. Namun untuk melestarikan tarian khas Dayak ini agar tetap terjaga kelestariannya dalam setiap tahun pada acara gawai padi atau orang Dayak menyebutnya dengan gawai naik dango, yang diadakan dengan lomba tari khas Dayak. Di bawah ini terdapat foto dokumentasi yang berhasil saya abadikan melalui kamera handphone saya:

No comments:
Post a Comment