Seseorang pernah mengatakan bahwa
setiap manusia akan dipertemukan dengan sesuatu yang menjadi jodohnya dan akan
mendapatkan suatu pelajaran yang berharga pula dari jodoh tersebut. Jodoh bukan
hanya perkara pasangan, bisa juga keluarga, teman, sahabat, lingkungan,
situasi, bahkan masalah sekalipun. Dan saya rasa, saya setuju dengan pendapat
itu.
Berawal
dari ketertarikan saya mengikuti program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah
Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud), saya mengikuti berbagai tahapan seleksi, dan akhirnya
saya lolos, ditempatkan di salah satu kabupaten yang berada di daerah 3T
(terdepan, terluar, dan tertinggal). Program SM-3T ini merupakan suatu program
pengabdian sarjana pendidikan untuk berpartisipasi dalam mengatasi permasalahan
penyelenggaraan pendidikan, khususnya keterbatasan tenaga pendidik, percepatan
pembangunan pendidikan di daerah 3T selama satu tahun sebagai penyiapan
pendidik profesional yang akan dilanjutkan dengan program Pendidikan Profesi
Guru (PPG).
Banyak
daerah yang menjadi sasaran penempatan SM-3T dan Kabupaten Bengkayang, Provinsi
Kalimantan Barat adalah jodoh saya. Lebih tepatnya SMA N 2 Siding yang terletak
di Desa Siding, Kecamatan Siding. Kecamatan Siding sebagai salah satu kecamatan
yang berbatasan darat secara langsung dengan Negara Malaysia tentu mendapatkan
perhatian khusus dari pemerintah, baik daerah maupun pusat. Hal ini dapat saya
lihat sejak awal kedatangan saya. Pembangunan akses transportasi (jalan
kabupaten dan jalan negara) yang terus digalakan, banyaknya pendatang yang
ditugaskan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tentara
Nasional Indonesia yang bertugas menjaga lintas batas, Tentara Nasional
Indonesia yang bertugas membantu pembangunan jalan, Nusantara Sehat yang
membantu pelayanan kesehatan, dan SM-3T yang membantu proses pelaksanaan
pendidikan.
Keterbukaan
warga masyarakat menerima kedatangan kami, para pendatang, mencerminkan
tingginya toleransi akan keberagaman yang dimiliki. Masyarakat Suku Dayak
dengan mayoritas agama kepercayaan Kristen Protestan/ Kristen Katholik sebagai
penduduk lokal dapat menerima dan menghormati keberadaan kami, para pendatang
yang mayoritas merupakan Suku Jawa yang menganut agama kepercayaan Islam.
Kebudayaan dan adat lokal masih terus
dilestarikan berdampingan dengan masuknya arus modernisasi. Dari lingkungan
inilah saya mendapatkan contoh riil
bahwa keberagaman dapat berdiri berdampingan dengan adanya toleransi.
Tidak
hanya warga masyarakat umum saja yang menerima kedatangan saya dengan sangat
baik, warga sekolah pun demikian. Lingkungan baru, keluarga baru. Di tengah
keterbatasan tenaga pengajar, sarana dan prasarana sekolah, siswa masih selalu
bersemangat untuk belajar. Fasilitas asrama guru dan siswa yang mampu
diusahakan oleh pihak sekolah pun masih sangat sederhana. Usaha untuk
mengurangi segala keterbatasan ini masih terus dilakukan oleh pihak sekolah
yang bekerja sama dengan masyarakat, Dinas Pendidikan Kabupaten maupun
Provinsi, dan tentu Pemerintah.
Kemandirian, kesederhanaan, rasa berbagi, dan toleransi siswa-siswa di tengah keterbatasan tersebut sering kali membuat saya berpikir dan bercermin. Apabila saya ditempatkan dalam posisi mereka, apakah saya mampu melakukan sebaik apa yang telah mereka lakukan. Dan jawabannya, belum tentu. Di samping semangat dan kompetisi belajar mereka yang masih harus terus ditingkatkan, berbagai perjuangan yang telah mereka lakukan untuk bisa terus bersekolah memang patut untuk dibanggakan dan dipertahankan. (oleh Ulfa Asrifatun N., S.Pd. )
No comments:
Post a Comment