Monday, February 4, 2019

Potret Pendidikan di Segiro


Pemerataan pendidikan hingga ke seluruh pelosok Indonesia masih menjadi masalah pemerintah yang tak kunjung terselesaikan. Banyak sekolah-sekolah di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) yang masih kekurangan sarana dan prasarana untuk menunjang pembelajaran, hingga jumlah guru yang belum mencukupi.

Mengabdi dan mengajar di daerah 3T dengan segala keterbatasannya tentu merupakan tantangan tersendiri yang harus dihadapi pengajar SM-3T di daerah tugasnya masing-masing. Banyak pengalaman berharga yang dapat dijadikan pelajaran  selama bertugas satu tahun mengajar di daerah penempatan. Penulis bertugas di SD Negeri 18 Segiro, Desa Rodaya, Kecamatan Ledo, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.

Akses menuju ke lokasi tugas penulis yaitu Segiro biasa ditempuh dengan jalur darat. Untuk menuju SDN 18 Segiro dibutuhkan waktu tempuh kurang lebih 1,5 jam dari pusat kota Bengkayang dengan menggunakan kendaraan bermotor. Biaya ojek dari Bengkayang ke Segiro biasanya Rp 60.000,00. Perjalanan melalui darat memiliki resiko yang tinggi apalagi saat musim penghujan, jalan batu yang licin dan jalan berlumpur harus dihadapi sepanjang perjalanan. Selama bertugas di Segiro, penulis pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki kurang lebih 15 menit dari tempat tinggal penulis di kampung Sedane yang letaknya dekat dengan sekolah.

Kondisi fisik bangunan SD Negeri 18 Segiro tidak cukup baik. Bangunan sekolah hanya terbuat dari papan kayu besi. Ada beberapa bagian atap dan jendela yang sudah rusak. Karena tergolong SD mini maka tentu saja sekolah ini hanya terdiri dari dua lokal saja. Dua lokal tersebut dibagi menjadi 5 ruangan yang terdiri dari ruang untuk kelas I/II, ruang untuk kelas III/IV, ruang kelas V, ruang kelas VI, dan ruang guru. Tidak ada toilet dan kantin di sekolah ini. Kondisi yang sedemikian rupa membuat pembelajaran sangat tidak efektif. Siswa kelas I digabung dengan siswa kelas II dalam satu ruangan dengan 1 papan tulis, di sebelah ruang tersebut dengan hanya disekat papan kayu ada siswa kelas III yang digabung dengan siswa kelas IV, hanya dengan satu papan tulis juga. Suasana saat pembelajaran menjadi tidak kondusif.

Secara umum kondisi pendidikan di sekolah tersebut belum berjalan dengan cukup baik. Keterbatasan guru, sarana dan prasarana cukup menjadi masalah utama bagi proses pembelajaran di sekolah tersebut. SD Negeri 18 Segiro memiliki jumlah siswa sebanyak 60 siswa yang terbagi dalam kelas I – VI. Jumlah siswa di SD Negeri 18 Segiro dapat dikatakan cukup sedikit, tetapi ada 6 rombel yang harus diampu, sedangkan jumlah tenaga hanya terdapat 1 Kepala Sekolah, 1 Guru PNS, 2 Guru Honorer, dan 1 Operator Sekolah. Kelas I dan II diampu oleh Bapak Donatus. Kelas III dan IV diampu oleh Bapak Manayan, Kepala Sekolah SDN 18 Segiro itu sendiri. Sedangkan untuk kelas V dan VI diampu oleh Ibu Marsiana yang merangkap sebagai guru agama Protestan kelas I sampai dengan VI juga. Mata pelajaran penjaskes dan mulok diampu oleh Bapak Tomo dan operator sekolah dipegang oleh Bapak Dedi. Selama mengabdi di Segiro, penulis mengampu kelas III dan IV. Bapak Manayan dan Bapak Donatus sudah berstatus PNS, sedangkan Ibu Marsiana, Pak Tomo, serta Pak Dedi masih berstatus honor sekolah. Terlihat jelas bahwa SD Negeri 18 Segiro masih sangat kekurangan guru kelas. Idealnya harus ada satu guru di setiap kelas agar pembelajaran berjalan efektif.

Segiro termasuk daerah yang belum dijangkau listrik PLN. Ketersediaan listrik mengandalkan diesel pribadi yang terdapat di sebagian kecil rumah warga. Hal ini menyebabkan penggunaan barang-barang elektronik menjadi sangat terbatas. Aktivitas belajar mengajar dan kegiatan sekolah tentunya tidak bisa bergantung pada ketersediaan listrik. Sehingga guru harus mencari alternatif cara agar kegiatan pembelajaran dan kegiatan sekolah tetap dapat berlangsung tanpa adanya aliran listrik. Media pembelajaran yang penulis gunakan juga memanfaatkan apa yang ada di lingkungan sekitar.

Tuntutan mengajar seorang guru di daerah terpencil lebih berat bila dibandingkan tuntutan guru yang mengajar di daerah perkotaan. Hambatan ini dipicu oleh masalah minimnya sarana dan prasarana penunjang proses pembelajaran di daerah terpencil. Hal tersebut tentu saja mempengaruhi hasil belajar siswa yang masih rendah. Untuk mengatasi rendahnya hasil belajar siswa tersebut maka penulis memberikan bimbingan belajar di luar jam sekolah, dengan harapan dapat meningkatkan semangat belajar dan meningkatkan hasil belajar siswa-siswi SD Negeri 18 Segiro. Siswa-siswi SD Negeri 18 Segiro memiliki semangat belajar yang luar biasa. Terbukti dengan banyaknya anak-anak yang mengikuti bimbingan belajar. Tidak adanya listrik, tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap belajar. Bimbingan belajar yang penulis lakukan biasanya di Posyandu (tempat tinggal penulis) atau di rumah Bapak Donatus. Jika malam hari, kami belajar hanya dengan bercahayakan pelita.
Selain minimnya sarana dan prasarana, serta kurangnya tenaga pendidik, tingginya angka putus sekolah juga masih menjadi permasalahan pendidikan di daerah ini. Tidak sedikit siswa siswi SD Negeri 18 Segiro yang berhenti sekolah saat masih duduk di kelas I sampai VI. Kebanyakan warga di daerah tersebut juga hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SD atau SMP saja. Mereka lebih memilih untuk bekerja. Pada umumnya anak-anak yang tinggal di Sedane dan Segiro bekerja mencari pasak (bambu) dan kerja dompeng (menambang emas). Tentu saja hal tersebut sangat memprihatinkan, di usia mereka yang harusnya masih duduk di bangku sekolah namunlebih memilih untuk bekerja. Selama penulis mengabdi di Segiro, penulis selalu memberikan pengertian tentang pentingnya pendidikan baik kepada anak-anak ataupun orang tuanya.

Angka putus sekolah di daerah ini memang cukup tinggi, tetapi banyak juga anak-anak yang semangat belajarnya juga tinggi. Siswa-siswi yang bersekolah di SD Negeri 18 Segiro merupakan semua anak-anak usia sekolah yang tinggal di Sedane dan Segiro. SD Negeri 18 Segiro berada di tengah-tengah antara kampung Sedane dan kampung Segiro. Biasanya anak-anak pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki selama kurang lebih 15 menit. Meskipun banyak keterbatasan, tetapi tidak menyurutkan semangat mereka untuk belajar di sekolah. Anak-anak lulusan SD Negeri 18 Segiro pun banyak yang melanjutkan ke SMP di Ledo, Bengkayang, Singkawang, ataupun Pontianak. Bahkan ada beberapa anak yang tetap berprestasi sampai SMA meski mereka berasal dari daerah yang masih tergolong 3T. Senyum dan semangat mereka selalu menjadi penyemangat penulis selama mengajar di SD Negeri 18 Segiro.

Masalah selanjutnya yang ada di SD Negeri 18 Segiro yaitu adanya ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang ditempuh. Hal tersebut dialami Ibu Marsiana Takin, beliau merupakan lulusan S1 Theologi. Seharusnya Bu Marsiana hanya mengajar mata pelajaran agama Protestan, tetapi karena di SD Negeri 8 Segiro kekurangan guru maka beliau merangkap juga menjadi guru kelas V dan VI. Bu Marsiana tinggal di kampung Sedane dekat dengan sekolah sama seperti penulis selama bertugas di Segiro. Setiap hari beliau pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Semangat beliau sungguh luar biasa, meski dengan honor yang minim dan hanya dibayar 3 bulan sekali beliau sangat rajin pergi mengajar. Beruntung di SD Negeri 18 Segiro ada seorang guru seperti Bu Marsiana. Sudah 7 tahun lamanya beliau mengabdi di SD Negeri 18 Segiro. Sebenarnya banyak tawaran yang diberikan kepada Bu Marsiana untuk mengajar di sekolah lain tetapi beliau masih setia mengajar di sekolah tersebut mengingat hanya ada 1 guru kelas saja yang aktif jika beliau tidak mengajar di situ.

Itulah sedikit potret pendidikan di salah satu daerah di Kabupaten Bengkayang. Semoga masalah-masalah pendidikan yang ada di Indonesia, Segiro khususnya dapat segera teratasi. Pendidikan merupakan salah satu masalah penting yang menjadi perhatian pemerintah. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan masyarakat dapat dijadikan sebagai salah satu indikator yang menunjukkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang ada pada suatu bangsa. Apabila tingkat pendidikan semakin tinggi maka kualitas SDM yang ada juga akan semakin bagus.(oleh Rifa Nawangsari, S. Pd.)


No comments:

Post a Comment

Merdeka Belajar

 Merdeka Belajar Kebebasan setiap individu atas hak-haknya tanpa melanggar atau mengambil hak kebebasan individu lain-Ki HadjarDewantara Leb...