Pemerataan pendidikan
hingga ke seluruh pelosok Indonesia masih menjadi masalah pemerintah yang tak
kunjung terselesaikan. Banyak sekolah-sekolah di daerah terdepan, terluar, dan
tertinggal (3T) yang masih kekurangan sarana dan prasarana untuk menunjang
pembelajaran, hingga jumlah guru
yang belum mencukupi.
Mengabdi dan mengajar di daerah 3T
dengan segala keterbatasannya tentu merupakan tantangan tersendiri yang harus
dihadapi pengajar SM-3T di daerah tugasnya masing-masing. Banyak pengalaman
berharga yang dapat dijadikan pelajaran
selama bertugas satu tahun mengajar di daerah penempatan. Penulis
bertugas di SD Negeri 18 Segiro, Desa Rodaya, Kecamatan Ledo, Kabupaten
Bengkayang, Kalimantan Barat.
Akses menuju ke lokasi tugas penulis
yaitu Segiro biasa ditempuh dengan jalur darat. Untuk menuju SDN 18 Segiro dibutuhkan waktu tempuh kurang lebih 1,5 jam
dari pusat kota Bengkayang dengan menggunakan kendaraan bermotor. Biaya
ojek dari Bengkayang ke Segiro biasanya Rp 60.000,00. Perjalanan melalui darat
memiliki resiko yang tinggi apalagi saat musim penghujan, jalan batu yang licin
dan jalan berlumpur harus dihadapi
sepanjang perjalanan. Selama bertugas di Segiro, penulis pergi
dan pulang sekolah dengan berjalan kaki kurang lebih 15 menit dari tempat
tinggal penulis di kampung Sedane yang
letaknya dekat
dengan
sekolah.
Kondisi fisik bangunan SD Negeri 18 Segiro tidak cukup baik.
Bangunan sekolah hanya terbuat dari papan kayu besi. Ada beberapa bagian atap
dan jendela yang sudah rusak. Karena tergolong SD mini maka tentu saja sekolah
ini hanya terdiri dari dua lokal saja. Dua lokal tersebut dibagi menjadi 5
ruangan yang terdiri dari ruang untuk kelas I/II, ruang untuk kelas III/IV,
ruang kelas V, ruang kelas VI, dan ruang guru. Tidak ada toilet dan kantin di
sekolah ini. Kondisi yang sedemikian rupa membuat pembelajaran sangat tidak
efektif. Siswa kelas I digabung dengan siswa kelas II dalam satu ruangan dengan
1 papan tulis, di sebelah ruang tersebut dengan hanya disekat papan kayu ada
siswa kelas III yang digabung dengan siswa kelas IV, hanya dengan satu papan
tulis juga. Suasana saat pembelajaran menjadi tidak kondusif.
Secara umum
kondisi pendidikan di sekolah tersebut belum berjalan dengan cukup baik.
Keterbatasan guru, sarana dan prasarana cukup menjadi masalah utama bagi proses
pembelajaran di sekolah tersebut. SD Negeri 18 Segiro
memiliki jumlah siswa sebanyak 60
siswa yang terbagi dalam kelas I – VI. Jumlah siswa di SD Negeri 18 Segiro
dapat dikatakan cukup sedikit, tetapi ada 6 rombel yang harus diampu, sedangkan
jumlah tenaga hanya terdapat 1 Kepala Sekolah, 1 Guru PNS, 2 Guru Honorer, dan 1 Operator Sekolah. Kelas I
dan II diampu oleh Bapak Donatus. Kelas III dan IV diampu oleh Bapak Manayan,
Kepala Sekolah SDN 18 Segiro itu sendiri. Sedangkan untuk kelas V dan VI diampu
oleh Ibu Marsiana yang merangkap sebagai guru agama Protestan kelas I sampai
dengan VI juga. Mata pelajaran penjaskes dan mulok diampu oleh Bapak Tomo dan
operator sekolah dipegang oleh Bapak Dedi. Selama mengabdi di Segiro, penulis
mengampu kelas III dan IV. Bapak Manayan dan Bapak Donatus sudah berstatus PNS,
sedangkan Ibu Marsiana, Pak Tomo, serta Pak Dedi masih berstatus honor sekolah.
Terlihat jelas bahwa SD Negeri
18 Segiro masih sangat kekurangan guru kelas. Idealnya harus ada satu guru di
setiap kelas agar pembelajaran berjalan efektif.
Segiro termasuk daerah
yang belum dijangkau listrik PLN. Ketersediaan listrik mengandalkan diesel
pribadi yang terdapat di sebagian kecil rumah warga. Hal ini menyebabkan
penggunaan barang-barang elektronik menjadi sangat terbatas. Aktivitas belajar mengajar dan
kegiatan sekolah tentunya tidak bisa bergantung pada ketersediaan listrik.
Sehingga guru harus mencari alternatif cara agar kegiatan pembelajaran dan
kegiatan sekolah tetap dapat berlangsung tanpa adanya aliran listrik. Media
pembelajaran yang penulis gunakan juga memanfaatkan apa yang ada di lingkungan
sekitar.
Tuntutan mengajar seorang guru di
daerah terpencil lebih berat bila dibandingkan tuntutan guru yang mengajar di
daerah perkotaan. Hambatan ini dipicu oleh masalah minimnya sarana dan
prasarana penunjang proses pembelajaran di daerah terpencil. Hal tersebut tentu saja mempengaruhi hasil
belajar siswa yang masih rendah. Untuk mengatasi rendahnya hasil belajar siswa
tersebut maka penulis memberikan bimbingan belajar di luar jam sekolah, dengan
harapan dapat meningkatkan semangat belajar dan meningkatkan hasil belajar
siswa-siswi SD Negeri 18 Segiro. Siswa-siswi
SD Negeri 18 Segiro memiliki semangat belajar yang luar biasa.
Terbukti dengan banyaknya
anak-anak yang mengikuti bimbingan belajar. Tidak adanya listrik, tidak menyurutkan semangat mereka untuk
tetap belajar. Bimbingan belajar yang penulis lakukan biasanya di Posyandu (tempat
tinggal penulis) atau di rumah Bapak Donatus. Jika malam hari, kami belajar
hanya dengan bercahayakan pelita.
Selain minimnya sarana
dan prasarana, serta kurangnya tenaga pendidik, tingginya angka putus sekolah
juga masih menjadi permasalahan pendidikan di daerah ini. Tidak sedikit siswa
siswi SD Negeri 18 Segiro yang berhenti sekolah saat masih duduk di
kelas I sampai VI. Kebanyakan warga di daerah tersebut juga hanya mengenyam
pendidikan sampai tingkat SD atau SMP saja. Mereka lebih memilih untuk bekerja.
Pada umumnya anak-anak yang tinggal di Sedane dan Segiro bekerja mencari pasak
(bambu) dan kerja dompeng (menambang emas). Tentu saja hal tersebut sangat
memprihatinkan, di usia mereka yang harusnya masih duduk di bangku sekolah namunlebih memilih untuk bekerja. Selama
penulis mengabdi di Segiro, penulis selalu memberikan pengertian tentang
pentingnya pendidikan baik kepada anak-anak ataupun orang tuanya.
Angka putus sekolah di daerah ini
memang cukup tinggi, tetapi banyak juga anak-anak yang semangat belajarnya juga
tinggi. Siswa-siswi yang bersekolah di SD Negeri 18 Segiro merupakan semua anak-anak usia
sekolah yang tinggal di Sedane dan Segiro. SD Negeri 18 Segiro berada di tengah-tengah
antara kampung Sedane dan kampung Segiro. Biasanya anak-anak pergi dan pulang
sekolah dengan berjalan kaki selama kurang lebih 15 menit. Meskipun banyak
keterbatasan, tetapi tidak menyurutkan semangat mereka untuk belajar di
sekolah. Anak-anak lulusan SD Negeri 18 Segiro pun banyak yang
melanjutkan ke SMP di Ledo, Bengkayang, Singkawang, ataupun Pontianak. Bahkan
ada beberapa anak yang tetap berprestasi sampai SMA meski mereka berasal dari
daerah yang masih tergolong 3T. Senyum dan semangat mereka selalu menjadi
penyemangat penulis selama mengajar di SD Negeri 18 Segiro.
Masalah selanjutnya yang
ada di SD Negeri 18 Segiro yaitu adanya
ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang ditempuh. Hal
tersebut dialami Ibu Marsiana Takin, beliau merupakan lulusan S1 Theologi.
Seharusnya Bu Marsiana hanya mengajar mata pelajaran agama Protestan, tetapi
karena di SD Negeri 8 Segiro kekurangan guru maka beliau
merangkap juga menjadi guru kelas V dan VI. Bu Marsiana tinggal di kampung
Sedane dekat dengan sekolah sama seperti penulis selama bertugas di Segiro. Setiap
hari beliau pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Semangat beliau
sungguh luar biasa, meski dengan honor yang minim dan hanya dibayar 3 bulan
sekali beliau sangat rajin pergi mengajar. Beruntung di SD Negeri 18 Segiro ada seorang guru seperti Bu Marsiana. Sudah
7 tahun lamanya beliau mengabdi di SD Negeri 18 Segiro. Sebenarnya banyak tawaran
yang diberikan kepada Bu Marsiana untuk mengajar di sekolah lain tetapi beliau
masih setia mengajar di sekolah tersebut mengingat hanya ada 1 guru kelas saja
yang aktif jika beliau tidak mengajar di situ.
Itulah sedikit potret pendidikan di salah
satu daerah di Kabupaten Bengkayang. Semoga masalah-masalah pendidikan yang ada
di Indonesia, Segiro khususnya dapat segera teratasi. Pendidikan merupakan salah satu
masalah penting
yang menjadi perhatian
pemerintah. Hal ini
dikarenakan tingkat pendidikan masyarakat dapat dijadikan sebagai salah satu indikator yang menunjukkan
kualitas sumber daya manusia
(SDM)
yang ada pada suatu bangsa. Apabila tingkat pendidikan semakin tinggi maka kualitas SDM yang ada juga akan semakin bagus.( oleh Rifa
Nawangsari, S. Pd.)
No comments:
Post a Comment