Pandangan matanya
buyar Darah
segar mengalir dimukanya Seketika
dia terbangun, “mana Ikma?”
Senja kala itu cukup cantik, langit oranye dari atas balkon menyapa dua
sosok baru yang baru lima bulan bertugas di Dusun Saparan. Wulan dan Arrini.
Mereka sedang bersantai diatas balkon sambil bercerita masyarakat sekitar yang
baru bagi mereka tapi sangat hangat dalam kekeluargaan. Sebuah pesan singkat tiba-tiba
datang dari pihak sekolah yang mengatakan bahwa mereka harus mencari tiga murid
untuk mengikuti olimpiade empat hari kedepan di tingkat subrayon. Sontak mereka
hanya berpandangan dan dalam benaknya mereka bertanya. “Empat hari untuk
olimpiade? Sanggupkah?”
Keesokan harinya terpilihlah tiga murid yang sesuai kriteria, walaupun sebenarnya
ada yang lebih dari mereka namun terbentur masalah usia. Disini murid-murid
mereka banyak yang melebihi batas usia anak SMP. Ya maklumlah, saat mereka SD
mereka banyak yang tinggal kelas. Tiga murid tersebut diintensifkan mata
pelajaran yang akan mereka ikuti di olimpiade. Ikma di IPS, Rani di IPA serta
Putri di Matematika. Pagi saat jam istirahat di sekolah, sore sepulang sekolah
serta malam ba’da maghrib. Begitulah yang mereka lakukan empat hari tersebut,
walaupun sorenya mereka harus membagi waktu juga untuk murid kelas IX yang
bersiap untuk menghadapi Ujian Nasional.
Mereka tak tega tapi mau bagaimana lagi, info yang mendadak membuat
persiapan yang mendadak pula. Namun mereka sangat takjub dengan semangat
murid-muridnya. Tak ada yang mengeluh sedikitpun, ya inilah yang mereka suka
dari murid-muridnya. Semangat anak tapal batas yang tak pernah padam ditengah
keterbatasan. Anugerah terindah mereka saat bisa ditugaskan disini.
Hari Senin pun datang, hari eksekusi Olimpiade di tingkat subrayon. Dua
guru tersebut bersama murid-muridnya menuju ke penyebrangan. Menurunkan motor
dan menaikkannya ke atas perahu. Menyebrangi Sungai Kumba, sungai kehidupan
bagi Dusun Saparan. Ya inilah keseharian mereka saat akan pergi keluar dusun,
menyebrang menunggunakan perahu yang biasa disebut “Bangkong” oleh masyarakat
sana. Sesampainya di SMP N 1 Seluas murid-muridnya bersiap mengikuti seleksi
didampingi kepala sekolah. Sedangkan keduanya mendapatkan tugas untuk menjadi
pengawas sekaligus tim juri.
Seleksi selesai. Mereka pun mulai mengoreksi, dan betapa gemetarnya
mereka saat mengetahui hasilnya. Pengumuman dimulai dan murid mereka membawa
pulang dua piala. IPS dan Matematika menjadi juara I di tingkat Rayon Jagoi
Babang. Namun saat dimasukkan ke Subrayon, Matematika menjadi juara I dan IPS
menjadi juara II, padahal skor juara I Seluas dan Jagoi Babang pada mapel IPS
sama. Entahlah, tak terlalu mereka pedulikan. Terpenting, empat hari mereka tak
sia-sia. Air mata bahagia pun tumpah, siang malam belajar dengan singkat tak
sia-sia. Namun ini belum berakhir. Juara I menadakan mereka akan maju ke
tingkat kabupaten, ya tak terduga lagi seleksi dilaksanakan hari Sabtu, lima
hari dari hari itu.
Rutinitas belajar sore malam pun dimulai lagi pada mapel IPS dan
Matematika. Arrini mengampu Matematika dan Wulan mengampu IPS yang memang basic
mereka disana saat awal penugasan, walaupun saat mengajar apapun mata pelajaran
mereka ajarkan untuk mengisi kekosongan jam saat ada guru yang tak berangkat.
Sabtu pun tiba, karena jarak antara dusun mereka dengan kabupaten yang jauh.
Mereka harus awal berangkat, Wulan bersama dengan Ikma murid untuk seleksi IPS
dan Arrini bersama dengan Putri untuk mapel Matematika. Karena motor mereka hanya satu maka mereka
pinjam motor kepala sekolah. Hati-hati jangan ngebut pesan bapak kepala sekolah
mereka yang sangat mendukung semua kegiatan baik intern maupun ekstern.
Jam menunjukkan pukul 07.00 padahal seleksi pukul 08.30. Tak ada
pilihan lain, memacu kecepatan tinggi adalah keputusan yang tepat namun
beresiko dan nyatanya benar-benar beresiko. Motor yang dinaiki Arrini lepas
rantai di kecamatan Lumar. 30 menit menuju kabupaten, akhirnya untuk mengejar
waktu Wulan membonceng Ikma sekaligus Putri. Bonceng tiga atau dalam bahasa
Melayu “Tanjal”. Sedangkan Arrini berjalan mencari bengkel terdekat. Untungnya
sesampainya disana acara belum dimulai. Bergegas mereka registrasi dan berganti
seragam. Wulan berpesan kepada muridnya untuk menanyakan sistem penilainnya,
“ingat jika pakai -1 jangan kalian kerjakan jika tidak bisa, namun jika tak ada
pengurangan -1kerjakan semuanya”.
Sabtu, 11 Maret 2017, Upacara pembukaan Olimpiade tingkat SMP
se-Kabupaten Bengkayang pun dimulai, tujuh belas kecamatan berkumpul diwakili
oleh murid-murid terbaiknya. Salah duanya adalah murid mereka dari SMP 2 Jagoi
Babang. Disana mereka juga bertemu dengan beberapa kawan sesama penugasan di
kabupaten Bengkayang yang sama-sama sedang mengantarkan muridnya. Selesai sudah
seleksi di tingkat kabupaten, pengumuman akan diumumkan Senin depan. Siapa yang
menjadi juara I akan maju mewakili kabupaten ke provinsi, Pontianak.
Selesai seleksi mereka berempat bersantai dahulu di basecamp SM3T
Bengkayang, Ikma dan Putri bercerita soal yang mereka kerjakan, ada yang sulit
ada yang mudah. Ya bedoa saja kata gurunya semoga kita lolos. Setelah
beristirahat sebentar akhirnya mereka berpamitan untuk pulang, teman-teman
menyuruh menginap tapi mereka membawa murid jadi tak bisa untuk menginap. Lain
kali saja katanya. Wulan berkata pada Ikma untuk bersantai saja saat pulang,
tidak seperti berangkat tadi dikejar waktu. 30 menit berlalu, jalanan Lumar
mereka lalui, tiba-tiba ada lubang besar yang sontak membuat Wulan kaget. Piker
ada jalan kecil yang cukup untuk dilaluinya namun ternyata,
braaaaakkkkkkkk……………. dan sraaaakkkkk… disusul motor dibelakangnya.
Pandangan matanya buyar. Darah segar mengalir dimukanya. Seketika dia
terbangun, “mana Ikma?”. Ya Wulan terjatuh dan sempat pingsan beberapa saat
sampai akhirnya dia terbangun karena suara tak asing didengarnya, Arrini. Di
samping Wulan ternyata Arrini ikut terjatuh karena terkejut melihat bagaimana
kejadian Wulan terjatuh hingga dia tak sadar ada lubang di depannya. Namun
Arrini dan Putri dapat langsung terbangun, dengan motor yang masih di tengah
jalan dia menghampiri Wulan yang masih belum sadar hingga beberapa kali
dipanggil akhirnya dia bergerak dan bertanya “mana Ikma? Bagaimana dia?”. Dia
mulai memegang kacamatanya yang patah dan berbercak darah, Arrini mengulurkan
tisu karena dari hidung, pipi dan dahinya mengeluarkan darah. Dia mengelap
mukanya sambil bernafas lega Ikma tak kenapa-kenapa.
Percaya tidak, belum ada yang berani menolong mereka walau banyak orang
sekitar yang berkumpul sampai akhirnya Arrini yang meminta tolong dan
mengatakan bahwa Wulan adalah temannya. Disana ada yang mengatakan orang tak
berani menolong pertama kali karena takut jika disalahkan, baru jika ada yang
menolong mereka baru mau. Singkatnya, Wulan dibawa menuju puskesmas terdekat
namun tutup hingga akhirnya mencari praktek perawat terdekat. Dibersihkannya
luka dan Ikma menangis, Wulan kira Ikma menangis karena sakit. Namun dia
menangis karena tak tega melihat gurunya terluka. Cesss, ini satu lagi yang
membuat Wulan dan Arrini beruntung mengenal mereka.
Perlahan kawan-kawan SM3T di kota datang karena jaraknya yang dekat,
mereka mengusulkan untuk membawa Wulan ke kabupaten dan bermalam disana karena
waktu yang sudah malam disusul oleh dua pemuda Dusun Saparan. Akhirnya mereka
bermalam bersama muridnya di basecamp, sementara Wulan menuju rumahsakit untuk
dibersihkan lagi lukanya. Keesokan harinya mereka pulang. Wulan dan Arrini
serta kepala sekolah mengantarkan Ikma dan Putri kerumahnya dan meminta maaf
kepada orangtua mereka.
Satu kalimat yang tak
pernah dilupa adalah dari bapak Ikma “tidak apa-apa pak, untuk apa marah.
Musibah kan tidak ada yang tau, tidak ada yang ingin seperti ini. Ini kan untuk
prestasi dia juga ke Bengkayang, apapun tentang pendidikan saya akan dukung
anak saya walaupun pernah seperti ini”. Ya mereka suka dengan pemikiran
orangtua yang selalu mendukung prestasi anaknya. Ikma adalah salah satu murid
berprestasi di sekolah mereka baik prestasi akademik maupun nonakademik.
Sesampainya di rumah tak henti orang menjenguknya, murid dan masyarakat
Saparan. Sebuah kehangatan yang tak didapatkan dimanapun, terlebih keluarga
angkat mereka disana yang sangat baik.
Senin, hari yang ditunggupun datang. Pengumuman seleksi kabupaten
bersamaan dengan sorenya murid-murid menjenguk mereka lagi. Di panggil Ikma dan
Putri, mereka berkata “kalian belum bisa mewakili kabupaten ke Pontianak, Putri
jauh nilainya dan Ikma hanya selisih 1 soal dengan juara I, seleksi kemarin
pakai sistem -1”. Ikma pun menangis, dia menangis karena merasa bisa dan tidak
tahu jika memakai sistem pengurangan -1, saat petugas ditanya petugas pun tak
tau sehingga dia mengira tidak ada sistem pengurangan. Dia pun sedih sambil
menahan luka di mukanya, dalam hati dia berkata “jika gurumu ini Nak paham
tentang sistem itu mungkin kau sudah maju ke provinsi, maafkan ibu yang sudah
mematahkan impianmu karena ketidaktahuan ibu, sakit ibu jatuh mungkin tak
seberapa dibanding denganmu Nak, maafkan ibu membuatmu jatuh kedua kalinya”
Luka, darah, patahan kacamata, dan perjuangan mengantarkan mereka
menjemput impian di sebelas maret adalah pengalaman berharga bagi mereka. Salah
satu pengalaman diantara ribuan pengalaman yang mereka dapatkan selama bertugas
di sebuah Dusun bernama Saparan yang dilalui oleh sungai Kumba, sungai
kehidupan, dihuni oleh masyarakat dengan keramahtamahan yang luar biasa dan
tradisi yang masih berjalan serta sebuah sekolah bernama SMP N 2 Jagoi Babang
yang menyimpan mutiara-mutiara terpendam di pelosok negeri dengan semangat dan
senyum murid-muridnya yang tak pernah pudar. (oleh Tri Wulandari,S.Pd)
No comments:
Post a Comment