Friday, February 1, 2019

Kacamata Sebelas Maret


Pandangan matanya buyar                                                 Darah segar mengalir dimukanya                                          Seketika dia terbangun, “mana Ikma?”
Senja kala itu cukup cantik, langit oranye dari atas balkon menyapa dua sosok baru yang baru lima bulan bertugas di Dusun Saparan. Wulan dan Arrini. Mereka sedang bersantai diatas balkon sambil bercerita masyarakat sekitar yang baru bagi mereka tapi sangat hangat dalam kekeluargaan. Sebuah pesan singkat tiba-tiba datang dari pihak sekolah yang mengatakan bahwa mereka harus mencari tiga murid untuk mengikuti olimpiade empat hari kedepan di tingkat subrayon. Sontak mereka hanya berpandangan dan dalam benaknya mereka bertanya. “Empat hari untuk olimpiade? Sanggupkah?”
Keesokan harinya terpilihlah tiga murid yang sesuai kriteria, walaupun sebenarnya ada yang lebih dari mereka namun terbentur masalah usia. Disini murid-murid mereka banyak yang melebihi batas usia anak SMP. Ya maklumlah, saat mereka SD mereka banyak yang tinggal kelas. Tiga murid tersebut diintensifkan mata pelajaran yang akan mereka ikuti di olimpiade. Ikma di IPS, Rani di IPA serta Putri di Matematika. Pagi saat jam istirahat di sekolah, sore sepulang sekolah serta malam ba’da maghrib. Begitulah yang mereka lakukan empat hari tersebut, walaupun sorenya mereka harus membagi waktu juga untuk murid kelas IX yang bersiap untuk menghadapi Ujian Nasional.
Mereka tak tega tapi mau bagaimana lagi, info yang mendadak membuat persiapan yang mendadak pula. Namun mereka sangat takjub dengan semangat murid-muridnya. Tak ada yang mengeluh sedikitpun, ya inilah yang mereka suka dari murid-muridnya. Semangat anak tapal batas yang tak pernah padam ditengah keterbatasan. Anugerah terindah mereka saat bisa ditugaskan disini.
Hari Senin pun datang, hari eksekusi Olimpiade di tingkat subrayon. Dua guru tersebut bersama murid-muridnya menuju ke penyebrangan. Menurunkan motor dan menaikkannya ke atas perahu. Menyebrangi Sungai Kumba, sungai kehidupan bagi Dusun Saparan. Ya inilah keseharian mereka saat akan pergi keluar dusun, menyebrang menunggunakan perahu yang biasa disebut “Bangkong” oleh masyarakat sana. Sesampainya di SMP N 1 Seluas murid-muridnya bersiap mengikuti seleksi didampingi kepala sekolah. Sedangkan keduanya mendapatkan tugas untuk menjadi pengawas sekaligus tim juri.
Seleksi selesai. Mereka pun mulai mengoreksi, dan betapa gemetarnya mereka saat mengetahui hasilnya. Pengumuman dimulai dan murid mereka membawa pulang dua piala. IPS dan Matematika menjadi juara I di tingkat Rayon Jagoi Babang. Namun saat dimasukkan ke Subrayon, Matematika menjadi juara I dan IPS menjadi juara II, padahal skor juara I Seluas dan Jagoi Babang pada mapel IPS sama. Entahlah, tak terlalu mereka pedulikan. Terpenting, empat hari mereka tak sia-sia. Air mata bahagia pun tumpah, siang malam belajar dengan singkat tak sia-sia. Namun ini belum berakhir. Juara I menadakan mereka akan maju ke tingkat kabupaten, ya tak terduga lagi seleksi dilaksanakan hari Sabtu, lima hari dari hari itu.
Rutinitas belajar sore malam pun dimulai lagi pada mapel IPS dan Matematika. Arrini mengampu Matematika dan Wulan mengampu IPS yang memang basic mereka disana saat awal penugasan, walaupun saat mengajar apapun mata pelajaran mereka ajarkan untuk mengisi kekosongan jam saat ada guru yang tak berangkat. Sabtu pun tiba, karena jarak antara dusun mereka dengan kabupaten yang jauh. Mereka harus awal berangkat, Wulan bersama dengan Ikma murid untuk seleksi IPS dan Arrini bersama dengan Putri untuk mapel Matematika.  Karena motor mereka hanya satu maka mereka pinjam motor kepala sekolah. Hati-hati jangan ngebut pesan bapak kepala sekolah mereka yang sangat mendukung semua kegiatan baik intern maupun ekstern.
Jam menunjukkan pukul 07.00 padahal seleksi pukul 08.30. Tak ada pilihan lain, memacu kecepatan tinggi adalah keputusan yang tepat namun beresiko dan nyatanya benar-benar beresiko. Motor yang dinaiki Arrini lepas rantai di kecamatan Lumar. 30 menit menuju kabupaten, akhirnya untuk mengejar waktu Wulan membonceng Ikma sekaligus Putri. Bonceng tiga atau dalam bahasa Melayu “Tanjal”. Sedangkan Arrini berjalan mencari bengkel terdekat. Untungnya sesampainya disana acara belum dimulai. Bergegas mereka registrasi dan berganti seragam. Wulan berpesan kepada muridnya untuk menanyakan sistem penilainnya, “ingat jika pakai -1 jangan kalian kerjakan jika tidak bisa, namun jika tak ada pengurangan -1kerjakan semuanya”.
Sabtu, 11 Maret 2017, Upacara pembukaan Olimpiade tingkat SMP se-Kabupaten Bengkayang pun dimulai, tujuh belas kecamatan berkumpul diwakili oleh murid-murid terbaiknya. Salah duanya adalah murid mereka dari SMP 2 Jagoi Babang. Disana mereka juga bertemu dengan beberapa kawan sesama penugasan di kabupaten Bengkayang yang sama-sama sedang mengantarkan muridnya. Selesai sudah seleksi di tingkat kabupaten, pengumuman akan diumumkan Senin depan. Siapa yang menjadi juara I akan maju mewakili kabupaten ke provinsi, Pontianak.
Selesai seleksi mereka berempat bersantai dahulu di basecamp SM3T Bengkayang, Ikma dan Putri bercerita soal yang mereka kerjakan, ada yang sulit ada yang mudah. Ya bedoa saja kata gurunya semoga kita lolos. Setelah beristirahat sebentar akhirnya mereka berpamitan untuk pulang, teman-teman menyuruh menginap tapi mereka membawa murid jadi tak bisa untuk menginap. Lain kali saja katanya. Wulan berkata pada Ikma untuk bersantai saja saat pulang, tidak seperti berangkat tadi dikejar waktu. 30 menit berlalu, jalanan Lumar mereka lalui, tiba-tiba ada lubang besar yang sontak membuat Wulan kaget. Piker ada jalan kecil yang cukup untuk dilaluinya namun ternyata, braaaaakkkkkkkk……………. dan sraaaakkkkk… disusul motor dibelakangnya.
Pandangan matanya buyar. Darah segar mengalir dimukanya. Seketika dia terbangun, “mana Ikma?”. Ya Wulan terjatuh dan sempat pingsan beberapa saat sampai akhirnya dia terbangun karena suara tak asing didengarnya, Arrini. Di samping Wulan ternyata Arrini ikut terjatuh karena terkejut melihat bagaimana kejadian Wulan terjatuh hingga dia tak sadar ada lubang di depannya. Namun Arrini dan Putri dapat langsung terbangun, dengan motor yang masih di tengah jalan dia menghampiri Wulan yang masih belum sadar hingga beberapa kali dipanggil akhirnya dia bergerak dan bertanya “mana Ikma? Bagaimana dia?”. Dia mulai memegang kacamatanya yang patah dan berbercak darah, Arrini mengulurkan tisu karena dari hidung, pipi dan dahinya mengeluarkan darah. Dia mengelap mukanya sambil bernafas lega Ikma tak kenapa-kenapa.
Percaya tidak, belum ada yang berani menolong mereka walau banyak orang sekitar yang berkumpul sampai akhirnya Arrini yang meminta tolong dan mengatakan bahwa Wulan adalah temannya. Disana ada yang mengatakan orang tak berani menolong pertama kali karena takut jika disalahkan, baru jika ada yang menolong mereka baru mau. Singkatnya, Wulan dibawa menuju puskesmas terdekat namun tutup hingga akhirnya mencari praktek perawat terdekat. Dibersihkannya luka dan Ikma menangis, Wulan kira Ikma menangis karena sakit. Namun dia menangis karena tak tega melihat gurunya terluka. Cesss, ini satu lagi yang membuat Wulan dan Arrini beruntung mengenal mereka.
Perlahan kawan-kawan SM3T di kota datang karena jaraknya yang dekat, mereka mengusulkan untuk membawa Wulan ke kabupaten dan bermalam disana karena waktu yang sudah malam disusul oleh dua pemuda Dusun Saparan. Akhirnya mereka bermalam bersama muridnya di basecamp, sementara Wulan menuju rumahsakit untuk dibersihkan lagi lukanya. Keesokan harinya mereka pulang. Wulan dan Arrini serta kepala sekolah mengantarkan Ikma dan Putri kerumahnya dan meminta maaf kepada orangtua mereka.
Satu kalimat yang tak pernah dilupa adalah dari bapak Ikma “tidak apa-apa pak, untuk apa marah. Musibah kan tidak ada yang tau, tidak ada yang ingin seperti ini. Ini kan untuk prestasi dia juga ke Bengkayang, apapun tentang pendidikan saya akan dukung anak saya walaupun pernah seperti ini”. Ya mereka suka dengan pemikiran orangtua yang selalu mendukung prestasi anaknya. Ikma adalah salah satu murid berprestasi di sekolah mereka baik prestasi akademik maupun nonakademik.
Sesampainya di rumah tak henti orang menjenguknya, murid dan masyarakat Saparan. Sebuah kehangatan yang tak didapatkan dimanapun, terlebih keluarga angkat mereka disana yang sangat baik.
Senin, hari yang ditunggupun datang. Pengumuman seleksi kabupaten bersamaan dengan sorenya murid-murid menjenguk mereka lagi. Di panggil Ikma dan Putri, mereka berkata “kalian belum bisa mewakili kabupaten ke Pontianak, Putri jauh nilainya dan Ikma hanya selisih 1 soal dengan juara I, seleksi kemarin pakai sistem -1”. Ikma pun menangis, dia menangis karena merasa bisa dan tidak tahu jika memakai sistem pengurangan -1, saat petugas ditanya petugas pun tak tau sehingga dia mengira tidak ada sistem pengurangan. Dia pun sedih sambil menahan luka di mukanya, dalam hati dia berkata “jika gurumu ini Nak paham tentang sistem itu mungkin kau sudah maju ke provinsi, maafkan ibu yang sudah mematahkan impianmu karena ketidaktahuan ibu, sakit ibu jatuh mungkin tak seberapa dibanding denganmu Nak, maafkan ibu membuatmu jatuh kedua kalinya”
Luka, darah, patahan kacamata, dan perjuangan mengantarkan mereka menjemput impian di sebelas maret adalah pengalaman berharga bagi mereka. Salah satu pengalaman diantara ribuan pengalaman yang mereka dapatkan selama bertugas di sebuah Dusun bernama Saparan yang dilalui oleh sungai Kumba, sungai kehidupan, dihuni oleh masyarakat dengan keramahtamahan yang luar biasa dan tradisi yang masih berjalan serta sebuah sekolah bernama SMP N 2 Jagoi Babang yang menyimpan mutiara-mutiara terpendam di pelosok negeri dengan semangat dan senyum murid-muridnya yang tak pernah pudar.(oleh  Tri Wulandari,S.Pd)


No comments:

Post a Comment

Merdeka Belajar

 Merdeka Belajar Kebebasan setiap individu atas hak-haknya tanpa melanggar atau mengambil hak kebebasan individu lain-Ki HadjarDewantara Leb...