SM3T
merupakan program pemerintah dalam bidang pendidikan yang bertujuan untuk
memeratakan pendidikan di daerah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal).
Pesertanya sarjana strata 1 (S1) dari berbagai universitas yang bergabung di
bawah sejumlah LPTK di Indonesia, termasuk UNY. Saya adalah satu peserta SM3T
angkatan ke VI dari LPTK UNY yang ditempatkan di Kabupaten Bengkayang tepatnya
di Kecamatan Jagoi Babang.
SD
Negeri 14 Peleng, itulah tempat saya mengabdi di Dusun Peleng Desa Sinar Baru Kecamatan
Jagoi Babang yang langsung berbatasan dengan Malaysia. Sebuah dusun yang semua
penduduknya Melayu dengan jumlah 102 Kepala Keluarga. Dusun tersebut terletak
di seberang sungai Kumba dengan formasi perkampungan memanjang. Semua rumah di
kampung ini masih berbentuk rumah panggung. Jarak dari ujung kampung sampai
ujung lainnya sekitar 700 meter.
Tepat
pukul 12. 00 WIB bulan September 2016 saya dan Kepala Sekolah telah sampai di
kampung Peleng. Kami di jemput oleh salah satu siswa untuk menyeberang sungai
naik perahu. Koper di tangan kanan dan ransel di punggung saya bawa ke rumah
yang akan kami tuju. Kami berjalan dari ujung kampung sampai ujung kampung di
bawah teriknya matahari. Sampai di tempat, saya dan kepala sekolah di buatkan
minum oleh seorang guru SD Negeri 14 Peleng yang memang satu-satunya guru di
sana. Mess guru inilah yang akan menjadi tempat tinggalku selama 1 tahun. Sore
hari setelah istirahat, saya di ajak mandi dan mencuci. Alangkah heran dan
shoknya, setelah tahu sebagian besar warga Peleng memanfaatkan air sungai untuk
berbagai kebutuhan hidup. Tidak ada yang mempunyai sumur. Beberapa sudah
mempunyai kamar mandi di dalam rumah itupun orang yang tergolong mampu. Mandi,
mencuci alat dapur dan pakaian dilakukan di atas kayu apung yang di susun serta
dilengkapi dengan wc. Mereka menyebutnya jamban. Dari ujung kampung terdapat
puluhan jamban. Ada jamban milik pribadi, ada juga jamban yang dipakai
bersama-sama. Termasuk jamban yang di dekat rumah saya, dipakai 6 keluarga.
Bila pagi sebelum pukul 7 tempat tersebut penuh sehingga harus antri supaya
tidak karam. 3 hari pertama memang sulit bagi saya untuk menyesuaikan keadaan.
Setelah seminggu akhirnya saya bisa beradaptasi dengan kondisi tersebut. 1
bulan saya menikmatinya bersama anak-anak di sana yang pandai berenang.
Walaupun hidup dengan air sungai, mereka terlihat sehat dan bahagia.
Masyarakat
di kampung tersebut menyambut saya dengan gembira. Saya diajak keliling kampung
untuk melihat-lihat keadaan sekitar. Kondisinya memang masih alami. Lingkungan
sekitar masih hijau dan asri. Hanya saja kampung tersebut terletak jauh dari
kota dan kecamatan sehingga jika keluar kampung jalannya masih sepi. Saya
bersyukur karena terdapat 1 masjid yang letaknya di tengah-tengah kampung. Itu
artinya saya bisa leluasa untuk menunaikan ibadah sebagai orang yang beragama
Islam.
Tidak
lama di sana, tibalah Hari Raya Kurban. Hari Raya tersebut tidak ada bedanya
dengan Hari Raya Idul Fitri di Jawa. Meskipun memotong hewan kurban, keliling
dari rumah ke rumah tetap dilaksanakan. Hampir semua orang membuat kue lapis
seperti kue wajib setiap rumah. Kegiatan tersebut berlangsung sekitar 3 hari.
Sebagian
besar mata pencaharian penduduk sebagai petani, nelayan dan pegawai perkebunan.
Penduduk yang bekerja di perkebunan tinggal di perumahan kebun sehingga rumah
di kampung kosong. Meskipun begitu keadaan sosial di sana luar biasa. Mereka
masih menjunjung tinggi solidaritas dan kerukunan antar warga, dalam bahasa
jawa di sebut guyup rukun. Hal itu terlihat dengan gotong royong dalam acara
pernikahan salah satu warga. Warga satu kampung datang dan membantu sampai
acara selesai tanpa dibayar. Semua peralatan dan perkakas dapur menyewa milik
desa dengan uang sewa yang sangat terjangkau sehingga tidak membebani tuan
rumah.
Selain
itu, kerja sama juga dilakukan dalam kegiatan kelompok desa seperti tanam padi berkelompok
dan bekerja sama dalam memajukan kegiatan desa. Kegiatan seperti PKK, kelompok
tani, BPD masih aktif. Hanya Karang taruna yang kurang aktif karena pemuda kampung
sebagian besar bekerja di Malaysia atau di kota lain. Permasalahan yang muncul
di bidang kepemudaan adalah tingginya pengangguran pada usia muda, rendahnya
tingkat keterampilan penduduk usia muda, kurang aktifnya organisasi kepemudaan
dan kegiatan kepemudaan, serta banyak yang nikah muda pada usia di bawah umur
dan perjudian di antara warga, budaya minum-minuman keras, serta rendahnya kesadaran
dan motivasi pemuda tentang pendidikan.
Sebagian
besar perekonomian desa bertumpu pada sektor perkebunan, perikanan, pertanian
dan perdagangan. Hasilnya terhitung
cukup, yaitu di atas rata-rata pendapatan
perkapita nasional. Hasil bumi adalah sayuran buah-buahan seperti pisang, jeruk
dan cempedak yang biasanya dimakan sendiri. Kawasan pertanian di Desa Sinar
Baru bersifat kering dan dapat panen 3 kali dalam setahun. Di samping itu,
masyarakat juga memanfaatkan hutan untuk bercocok tanam palawija seperti
kacang, buah-buahan, cabai, dan sebagainya. Selain pertanian, sektor lain yang
menunjang perekonomian masyarakat Desa Sinar Baru adalah perkebunan. Komoditi perkebunan di
Desa Sinar Baru adalah karet, kelapa sawit, dan lada. Selain itu sektor
perikanan juga menunjang perekonomian masyarakat setempat. Walaupun sebagai
sampingan tetapi hasil sungai cukup menjanjikan. Hal ini dapat menambah
pemasukan warga sekitar.
Pendidikan merupakan salah satu masalah
penting yang
menjadi perhatian
pemerintah. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan masyarakat dapat
dijadikan sebagai salah
satu indikator yang menunjukkan kualitas Sumber Daya
Manusia
(SDM)
yang ada pada suatu bangsa. Apabila tingkat pendidikan
semakin
tinggi maka
kualitas
SDM yang ada juga akan semakin bagus.
Desa Sinar Baru memiliki 2 sekolah dasar, SD Negeri Sentimok terletak di Dusun Sentimok dan SD Negeri 14 Peleng terletak di Dusun Peleng.
Kondisi pendidikan di dusun Peleng secara umum belum
berjalan dengan baik. Keterbatasan guru, buku, dan finansial cukup menjadi
masalah utama bagi proses pembelajaran. Meskipun jumlah siswa di SD Negeri
14 Peleng dapat dikatakan
sedikit (32 anak), namun tetap ada 6 rombel yang harus diampu, sedangkan jumlah
tenaga hanya terdapat 1 Kepala Sekolah dan 1 Guru PNS. Dengan jumlah siswa yang
minimal serta tidak diperkenankannya sekolah memungut dana dari wali murid
dirasakan cukup membawa beban bagi sekolah ini dikarenakan dana yang masuk
tidak cukup. Saya sebagai guru yang ditugaskan 1 tahun merasa prihatin melihat
keadaan pendidikan di sana. Secara fisik sekolah sudah memadai tetapi letaknya
berada lebih rendah dari tepi sungai sehingga sering banjir. Jika melihat
siswanya, seragam dan peralatan sekolah sudah lengkap. Kendalanya adalah kurangnya
tenaga pendidik, 1 guru untuk 1 sekolah tentu pembelajaran tidak maksimal. Apa
lagi bila ada lomba-lomba yang diadakan di tingkat gugus atau kecamatan, hanya 1 guru tersebut yang
melatih dan membimbing mereka di berbagai cabang.
Selama saya berada di sana, saya dan Bu Marisa (guru
yang sudah mengabdi 8 tahun di SD Negeri 14 Peleng) di bagi tugas. Beliau kelas rendah (kelas I, II, III) dan saya kelas tinggi (kelas IV,
V, VI). Kami hanya memakai 2 kelas. 1 kelas terdiri atas 3 rombel dengan 1
papan tulis yang dibagi 3. Jadwal pelajaran kami samakan untuk memudahkan kami
mengajar. Pembelajaran dimulai pukul 7.00 dan diakhiri pukul 12.00. Kendala
untuk siswa-siswa di sana adalah belum lancar membaca dan berhitung. Kami
adakan pembiasaan berbaris sebelum masuk kelas dan mencongak perkalian. Siswa
yang bisa menjawab dipersilakan masuk kelas. 15 menit sebelum pembelajaran
dimulai kami biasakan mencongak menggunakan buku ulangan. Sebelum pulang kami
biasakan membaca bagi siswa yang belum lancar membaca. Hal ini sangat membantu
siswa terutama dalam mengerjakan matematika. Pembelajaran efektif di dalam
kelas berlangsung hari Senin sampai Jumat. Hari Sabtu kami gunakan untuk Sabtu
bersih membersihkan sekitar halaman sekolah.
Tidak terasa 12 bulan pun berlalu. Sudah saatnya saya kembali ke daerah
asal. Ada rasa bahagia bisa memberi sedikit ilmu kepada siswa-siswa SD Negeri
14 Peleng. Ada juga rasa sedih karena harus berpisah dengan mereka. Itu berarti
Ibu Marisa harus kembali seperti semula sebagai tenaga pendidik tunggal di SD
tersebut. Saya sangat berharap semoga beliau segera mempunyai teman mengajar dalam
mencerdaskan anak bangsa di ujung negeri.( oleh
Budi Winarni, S.Pd.)
No comments:
Post a Comment