Monday, January 21, 2019

Sepenggal Kisah Guru Garis Depan Negara


SM3T merupakan program pemerintah dalam bidang pendidikan yang bertujuan untuk memeratakan pendidikan di daerah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal). Pesertanya sarjana strata 1 (S1) dari berbagai universitas yang bergabung di bawah sejumlah LPTK di Indonesia, termasuk UNY. Saya adalah satu peserta SM3T angkatan ke VI dari LPTK UNY yang ditempatkan di Kabupaten Bengkayang tepatnya di Kecamatan Jagoi Babang.
SD Negeri 14 Peleng, itulah tempat saya mengabdi di Dusun Peleng Desa Sinar Baru Kecamatan Jagoi Babang yang langsung berbatasan dengan Malaysia. Sebuah dusun yang semua penduduknya Melayu dengan jumlah 102 Kepala Keluarga. Dusun tersebut terletak di seberang sungai Kumba dengan formasi perkampungan memanjang. Semua rumah di kampung ini masih berbentuk rumah panggung. Jarak dari ujung kampung sampai ujung lainnya sekitar 700 meter.
Tepat pukul 12. 00 WIB bulan September 2016 saya dan Kepala Sekolah telah sampai di kampung Peleng. Kami di jemput oleh salah satu siswa untuk menyeberang sungai naik perahu. Koper di tangan kanan dan ransel di punggung saya bawa ke rumah yang akan kami tuju. Kami berjalan dari ujung kampung sampai ujung kampung di bawah teriknya matahari. Sampai di tempat, saya dan kepala sekolah di buatkan minum oleh seorang guru SD Negeri 14 Peleng yang memang satu-satunya guru di sana. Mess guru inilah yang akan menjadi tempat tinggalku selama 1 tahun. Sore hari setelah istirahat, saya di ajak mandi dan mencuci. Alangkah heran dan shoknya, setelah tahu sebagian besar warga Peleng memanfaatkan air sungai untuk berbagai kebutuhan hidup. Tidak ada yang mempunyai sumur. Beberapa sudah mempunyai kamar mandi di dalam rumah itupun orang yang tergolong mampu. Mandi, mencuci alat dapur dan pakaian dilakukan di atas kayu apung yang di susun serta dilengkapi dengan wc. Mereka menyebutnya jamban. Dari ujung kampung terdapat puluhan jamban. Ada jamban milik pribadi, ada juga jamban yang dipakai bersama-sama. Termasuk jamban yang di dekat rumah saya, dipakai 6 keluarga. Bila pagi sebelum pukul 7 tempat tersebut penuh sehingga harus antri supaya tidak karam. 3 hari pertama memang sulit bagi saya untuk menyesuaikan keadaan. Setelah seminggu akhirnya saya bisa beradaptasi dengan kondisi tersebut. 1 bulan saya menikmatinya bersama anak-anak di sana yang pandai berenang. Walaupun hidup dengan air sungai, mereka terlihat sehat dan bahagia.
Masyarakat di kampung tersebut menyambut saya dengan gembira. Saya diajak keliling kampung untuk melihat-lihat keadaan sekitar. Kondisinya memang masih alami. Lingkungan sekitar masih hijau dan asri. Hanya saja kampung tersebut terletak jauh dari kota dan kecamatan sehingga jika keluar kampung jalannya masih sepi. Saya bersyukur karena terdapat 1 masjid yang letaknya di tengah-tengah kampung. Itu artinya saya bisa leluasa untuk menunaikan ibadah sebagai orang yang beragama Islam.
Tidak lama di sana, tibalah Hari Raya Kurban. Hari Raya tersebut tidak ada bedanya dengan Hari Raya Idul Fitri di Jawa. Meskipun memotong hewan kurban, keliling dari rumah ke rumah tetap dilaksanakan. Hampir semua orang membuat kue lapis seperti kue wajib setiap rumah. Kegiatan tersebut berlangsung sekitar 3 hari.
Sebagian besar mata pencaharian penduduk sebagai petani, nelayan dan pegawai perkebunan. Penduduk yang bekerja di perkebunan tinggal di perumahan kebun sehingga rumah di kampung kosong. Meskipun begitu keadaan sosial di sana luar biasa. Mereka masih menjunjung tinggi solidaritas dan kerukunan antar warga, dalam bahasa jawa di sebut guyup rukun. Hal itu terlihat dengan gotong royong dalam acara pernikahan salah satu warga. Warga satu kampung datang dan membantu sampai acara selesai tanpa dibayar. Semua peralatan dan perkakas dapur menyewa milik desa dengan uang sewa yang sangat terjangkau sehingga tidak membebani tuan rumah.
Selain itu, kerja sama juga dilakukan dalam kegiatan kelompok desa seperti tanam padi berkelompok dan bekerja sama dalam memajukan kegiatan desa. Kegiatan seperti PKK, kelompok tani, BPD masih aktif. Hanya Karang taruna yang kurang aktif karena pemuda kampung sebagian besar bekerja di Malaysia atau di kota lain. Permasalahan yang muncul di bidang kepemudaan adalah tingginya pengangguran pada usia muda, rendahnya tingkat keterampilan penduduk usia muda, kurang aktifnya organisasi kepemudaan dan kegiatan kepemudaan, serta banyak yang nikah muda pada usia di bawah umur dan perjudian di antara warga, budaya minum-minuman keras, serta rendahnya kesadaran dan motivasi pemuda tentang pendidikan.
Sebagian besar perekonomian desa bertumpu pada sektor perkebunan, perikanan, pertanian dan perdagangan. Hasilnya terhitung cukup, yaitu di atas rata-rata pendapatan perkapita nasional. Hasil bumi adalah sayuran buah-buahan seperti pisang, jeruk dan cempedak yang biasanya dimakan sendiri. Kawasan pertanian di Desa Sinar Baru bersifat kering dan dapat panen 3 kali dalam setahun. Di samping itu, masyarakat juga memanfaatkan hutan untuk bercocok tanam palawija seperti kacang, buah-buahan, cabai, dan sebagainya. Selain pertanian, sektor lain yang menunjang perekonomian masyarakat Desa Sinar Baru  adalah perkebunan. Komoditi perkebunan di Desa Sinar Baru adalah karet, kelapa sawit, dan lada. Selain itu sektor perikanan juga menunjang perekonomian masyarakat setempat. Walaupun sebagai sampingan tetapi hasil sungai cukup menjanjikan. Hal ini dapat menambah pemasukan warga sekitar.
Pendidikan merupakan salah satu masalah penting yang menjadi perhatian pemerintah. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan masyarakat dapat dijadikan  sebagai salah satu indikator yang menunjukkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada pada suatu bangsa. Apabila tingkat pendidikan semakin tinggi maka kualitas SDM yang ada juga akan semakin bagus. Desa Sinar Baru memiliki 2 sekolah dasar, SD Negeri Sentimok terletak di Dusun Sentimok dan SD Negeri 14 Peleng terletak di Dusun Peleng.
Kondisi pendidikan di dusun Peleng secara umum belum berjalan dengan baik. Keterbatasan guru, buku, dan finansial cukup menjadi masalah utama bagi proses pembelajaran. Meskipun jumlah siswa di SD Negeri 14 Peleng dapat dikatakan sedikit (32 anak), namun tetap ada 6 rombel yang harus diampu, sedangkan jumlah tenaga hanya terdapat 1 Kepala Sekolah dan 1 Guru PNS. Dengan jumlah siswa yang minimal serta tidak diperkenankannya sekolah memungut dana dari wali murid dirasakan cukup membawa beban bagi sekolah ini dikarenakan dana yang masuk tidak cukup. Saya sebagai guru yang ditugaskan 1 tahun merasa prihatin melihat keadaan pendidikan di sana. Secara fisik sekolah sudah memadai tetapi letaknya berada lebih rendah dari tepi sungai sehingga sering banjir. Jika melihat siswanya, seragam dan peralatan sekolah sudah lengkap. Kendalanya adalah kurangnya tenaga pendidik, 1 guru untuk 1 sekolah tentu pembelajaran tidak maksimal. Apa lagi bila ada lomba-lomba yang diadakan di tingkat gugus atau kecamatan, hanya 1 guru tersebut yang melatih dan membimbing mereka di berbagai cabang.
Selama saya berada di sana, saya dan Bu Marisa (guru yang sudah mengabdi 8 tahun di SD Negeri 14 Peleng) di bagi tugas. Beliau kelas rendah (kelas I, II, III) dan saya kelas tinggi (kelas IV, V, VI). Kami hanya memakai 2 kelas. 1 kelas terdiri atas 3 rombel dengan 1 papan tulis yang dibagi 3. Jadwal pelajaran kami samakan untuk memudahkan kami mengajar. Pembelajaran dimulai pukul 7.00 dan diakhiri pukul 12.00. Kendala untuk siswa-siswa di sana adalah belum lancar membaca dan berhitung. Kami adakan pembiasaan berbaris sebelum masuk kelas dan mencongak perkalian. Siswa yang bisa menjawab dipersilakan masuk kelas. 15 menit sebelum pembelajaran dimulai kami biasakan mencongak menggunakan buku ulangan. Sebelum pulang kami biasakan membaca bagi siswa yang belum lancar membaca. Hal ini sangat membantu siswa terutama dalam mengerjakan matematika. Pembelajaran efektif di dalam kelas berlangsung hari Senin sampai Jumat. Hari Sabtu kami gunakan untuk Sabtu bersih membersihkan sekitar halaman sekolah.
Tidak terasa 12 bulan pun berlalu. Sudah saatnya saya kembali ke daerah asal. Ada rasa bahagia bisa memberi sedikit ilmu kepada siswa-siswa SD Negeri 14 Peleng. Ada juga rasa sedih karena harus berpisah dengan mereka. Itu berarti Ibu Marisa harus kembali seperti semula sebagai tenaga pendidik tunggal di SD tersebut. Saya sangat berharap semoga beliau segera mempunyai teman mengajar dalam mencerdaskan anak bangsa di ujung negeri.(oleh Budi Winarni, S.Pd.)

No comments:

Post a Comment

Merdeka Belajar

 Merdeka Belajar Kebebasan setiap individu atas hak-haknya tanpa melanggar atau mengambil hak kebebasan individu lain-Ki HadjarDewantara Leb...