Tuesday, December 11, 2018

Pelita Harapan Sepano


Harapan anak bangsa!
Guru tidak pernah lepas dari mendidik. Mendidik adalah lahan untuk mengeksplorasi diri guna mengembangkan potensi, memenuhi tugas, dan mencapai keberhasilan akan tujuan pendidikan itu sendiri. Salah satu tujuan dari terselenggaranya pendidikan di Indonesia adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Tidak hanya mereka saja yang hidup dalam kemudahan di kota yang berhak untuk mendapatkan pendidikan, tetapi mereka yang hidup di ujung negeripun juga berhak untuk mengenyam pendidikan. Oleh demikian pemerataan pendidikan sampai ke daerah-daerah ujung negeripun semakin gencar dilaksanakan.
            Mengabdi selama satu tahun sebagai guru SM-3T, berbagai pengalaman luar biasa telah didapatkan penulis. Penulis bertugas di Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat. Mungkin di antara pembaca sekalian banyak yang tidak tahu ataupun bahkan belum pernah mendengar nama Kabupaten Bengkayang. Sama halnya dengan penulis yang mungkin tidak akan pernah tahu dan tidak akan pernah mendengar jika penulis tidak mengikuti program ini. Sedikit penulis jelaskan bahwa Kabupaten Bengkayang adalah sebuah kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat, jarak tempuh dari Kota Pontianak selaku ibu kota provinsi yaitu sekitar 4-5 jam melalui jalur darat. Kabupaten ini adalah salah satu Kabupaten di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, Malaysia.
            Selasa 6 September 2016 pertama kali penulis menginjakkan kaki di Kabupaten Bengkayang, rasanya tidak ada yang berbeda dengan kabupaten-kabupaten yang ada di Pulau Jawa, mungkin perbedaan yang kasat mata adalah tidak seramai kendaraan lalu-lalang seperti jalan raya di Kabupaten Kebumen tempat penulis berasal. Namun setelah penulis melakukan perjalanan menuju tempat tugas di salah satu kecamatan yang ada di Bengkayang ini yaitu Kecamatan Suti Semarang, rasa penasaran beserta pertanyaan yang ada di dalam hati penulis tentang bagaimana kondisi di daerah 3T akhirnya terjawab juga. Dari pusat Kabupaten Bengkayang hingga sampai sekolah tempat penulis akan mengabdi selama setahun lamanya sepanjang perjalanan yang penulis lewati adalah jalan tanah yang pada saat itu kondisi jalannya penuh dengan genangan air dan tanah yang telah berubah menjadi lumpur yang ternyata penyebabnya karena pada bulan-bulan itu memang hujan turun terus-menerus hampir setiap hari. Butuh waktu kurang lebih 4 jam bagi penulis yang saat itu menumpang motor dengan salah guru yang tentunya sudah hafal medan jalannya untuk sampai ke sekolah yaitu SMP Negeri 3 Suti Semarang yang berada di Desa Kiung Kecamatan Suti Semarang.
SMP Negeri 3 Suti Semarang merupakan sekolah baru yang memulai kegiatan belajar mengajar pada tahun pelajaran 2016/2017.  Sekolah ini belum mempunyai bangunan atau gedung sendiri dikarenakan gedung baru masih dalam tahap pembangunan, maka untuk semester 1 kegiatan belajar mengajar dilaksanakan menumpang di gedung sekolah dasar terdekat yaitu SD Negeri 04 Kiung. Setelah gedung baru selesai pada awal semester 2 maka kegiatan belajar mengajar dipindahkan ke gedung sekolah yang baru.
Meskipun gedung baru namun banyak sekali sarana dan prasarana sekolah yang belum lengkap, mengingat untuk melengkapi itu semua tidak memungkinkan dalam waktu dekat dikarenakan akses jalan yang sulit. Sekolah ini dikelilingi oleh hutan karena letaknya tidak di area Desa Kiung, melainkan berada pada jarak sekitar 500 meter dari pemukiman warga di desa Kiung itu sendiri. Namun di sisi lain walaupun sekolah berada jauh dari kampung dan dikelilingi oleh hutan, terdapat pemandangan bagus saat kita melihat ke sisi yang lain, karena bangunan sekolah terletak tepat di kaki bukit yang mana bukitnya cukup tinggi. Bukit ini telah sejak dulu disakralkan oleh warga desa dan masih digunakan untuk acara persembahan jika diperlukan. Warga Desa Kiung memberi nama bukit ini dengan nama Bukit Sepano. Jadi tidak heran karena letak sekolah yang berada di ketinggian seringkali pada pagi hari halaman sekolah masih penuh dengan kabut bahkan hingga pukul 07.30 kabut pernah belum hilang juga. 
            Jumlah guru yang mengajar di sekolah ini ada 7 guru, dengan ditambah  saya sebagai guru baru menjadikan guru yang mengajar berjumlah 8 guru. Tidak seperti guru pada jenjang sekolah dasar, penulis sebagai guru jenjang SMP hanya di beri tangungjawab tugas untuk mengajar mata pelajaran, yakni mapel yang sesuai dengan jurusan penulis, Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (PJOK) dan juga ditambah dengan Bahasa Inggris, karena di sekolah ini belum mempunyai guru bahasa inggris. Begitu pula dengan guru-guru yang lain juga mengajar lebih dari satu mapel, hal ini dikarenakan terbatasnya jumlah guru di SMP Negeri 3 Suti Semarang.
Sedangkan jumlah keseluruhan siswa SMP Negeri 3 Suti Semarang hanyalah 11 siswa yang duduk di kelas 7, dengan rincian 6 siswa putra dan 5 siswi putri. Siswa yang asli berdomisili di Desa Kiung berjumlah 9, hanya 5-10 menit jalan kaki ke sekolah, sedangkan  2 siswa lainnya mereka bertempat tinggal di lain desa. Siswa putra bernama Sukarius dia harus jalan kaki selama 45 menit–1 jam setiap harinya untuk ke sekolah, sedangkan siswi putri bernama Meriandani dia harus berjalan kaki lebih lama karena jaraknya lebih jauh yaitu 1-1,5 jam untuk bisa sampai ke sekolah. Tidak seperti di perkotaan yang bisa mengendarai sepeda ataupun sepeda motor, yang hanya bisa kedua siswa saya lakukan itu hanya jalan kaki mengingat jalanan tanah yang rusak dan juga naik turun.
Meskipun SMP Negeri 3 Suti Semarang kami hanya memiliki 11 siswa saja, tidak mengurangi jumlah kegiatan yang mereka laksanakan setiap harinya. Proses belajar mengajar secara normal di kelas dan di lapangan, mengadakan upacara bendera setiap hari Senin, melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler pramuka, bola voli, dan paskibra. Kemudian juga kegiatan bersih sekolah yang rutin dilaksanakan setiap jumat dan sabtu, serta kegiatan-kegiatan lainnya. Dengan jumlah siswa yang dapat dikatakan sedikit tersebut, dan juga dengan keterbatasan sarana dan prasarana sekolah yang sangat minim, namun pihak sekolah terus berusaha agar sekolah ini dapat berjalan dengan aktif sebagaimana sekolah pada umumnya
Keterbatasan sarana dan prasarana yang ada di sekolah tidak membuat mereka berkecil hati hingga lantas menjadi malas untuk bersekolah. Mereka walaupun masih berusia 12-15 tahun jika dibandingkan anak seumuran mereka yang tinggal di kota mungkin hanya bersekolah, kemudian bermain, makan, dan tidur malam, paginya sekolah lagi begitu seterunya, tetapi tidak dengan mereka siswa sekolah di daerah 3T. Pada umur mereka yang memang benar seharusnya hanya bersekolah dan bermain, tetapi siswa-siswi penulis yang hidup di pedalaman telah diberi tugas dan tanggungjawab yang lebih oleh orangtuanya. Sebelum berangkat ke sekolah mayoritas dari siswi putri mereka setiap paginya bangun jam 4 subuh untuk memasak menggunakan kayu bakar (karena tabung gas sangat langka di sana) terlebih dahulu guna makan pagi seluruh anggota keluarganya, setelah itu mereka baru bersiap untuk mandi pagi. Untuk mandi di daerah seperti Desa Kiung ini butuh perjuangan sekali, karena di sini air adalah barang yang sangat langka, banyak rumah yang tidak mempunyai kamar mandi karena sulitnya mendapatkan air bersih. Oleh karena itu kebanyakan dari mereka untuk mandi harus berjalan kaki selama sekitar 10 menit menuju ke sumber mata air yang ada yaitu air pancur.
Siang hari setelah sekolah selesai mereka pulang ke rumah untuk menggantikan tugas orang tua mereka di rumah seperti mengasuh adiknya, memasak makan siang, dan lain sabagainya. Banyak juga dari mereka pulang hanya untuk makan siang saja dan setelah itu langsung pergi membantu orang tua yang mayoritas bekerja di ladang atau kebun. Pulang dari membantu orang tua mereka di ladang sekitar pukul 4 sore, mereka lantas pergi mandi sore ke air pancur, mereka tidak hanya sekedar pergi mandi saja, tetapi mereka juga membawa ember atau botol-botol air mineral bekas yang mereka punya untuk mengangkut air bersih guna kebutuhan sehari-hari di rumah.
Mereka memiliki kesempatan untuk belajar hanya pada waktu malam hari, malam yang berbeda dengan malam-malam di kota sana. Malam di sini adalah malam yang gelap bahkan gelap sekali, itu dikarenakan Desa Kiung masih belum terhubung dengan aliran listrik negara. Hanya segelintir rumah saja yang mempunyai jenset listrik pribadi dan itupun tidak setiap malam digunakan. Seluruh warga di sini mengandalkan penerangan yang mereka buat sendiri dengan botol atau kaleng minuman diisi bahan bakar minyak tanah yang kemudian sumbunya dihidupkan dengan api, dan benda tersebut mereka sebut dengan ‘Pelita’. Begitu juga mereka para siswa SMP Negeri 3 Suti Semarang yang hanya mengandalkan penerangan dari sebuah pelita untuk menemani dan memberikan sedikit cahaya untuk mereka belajar mengerjakan tugas-tugas sekolah dan membaca buku-buku pelajaran mereka.
Untuk saat ini mungkin sebagian besar dari mereka siswa-siswi menjalankan kegiatan belajar, mengerjakan tugas dan membaca buku pelajaran di malam hari yang sangat minim penerangan dengan mengandalkan cahaya dari sebuah pelita. Mereka melakukannya hanya sebatas sebuah tuntutan guru, karena jika tidak mengerjakan tugas akan dihukum ataupun takut dimarahi oleh orang tuanya jika nilai sekolah jelek. Namun di sisi lain, dengan mereka terus menumbuhkan rasa semangat untuk pergi belajar menuntut ilmu ke sekolah, mengulang pelajaran selagi di rumah dengan mengerjakan tugas sekolah dan membaca buku pelajaran yang mereka laksanakan setiap malam, meski hanya ‘berteman’ dengan sebuah pelita, bukankah sangat mungkin hal ini justru yang akan membawa mereka satu langkah lebih maju untuk mewujudkan cita-citanya dan juga harapan dari orang tua untuk dapat hidup lebih baik dan lebih baik lagi dari saat ini, kehidupan yang tengah mereka rasakan dengan berbagai keterbatasa yang ada.
     













Berawal dari pelita yang mereka nyalakan setiap malamnya guna menemani mereka dalam belajar, melangkah dengan semangat setiap hari untuk menuntu ilmu di sekolah mereka SMP Negeri 3 Suti Semarang yang berada di kaki bukit Sepano, itu semua demi harapan besar mereka dan orang tua agar menjadikan hidup yang lebih baik dari apa yang sedang mereka rasakan kini. Teruslah bersemangat siswa-siswiku, teruslah berjuang di tengah keterbatasan yang ada, dan teruslah percaya bahwa harapan yang telah kalian miliki suatu saat pasti akan terwujud, karena kalian adalah “Pelita Harapan Sepano”.(oleh Jullio Prassojo, S.Pd.)


No comments:

Post a Comment

Merdeka Belajar

 Merdeka Belajar Kebebasan setiap individu atas hak-haknya tanpa melanggar atau mengambil hak kebebasan individu lain-Ki HadjarDewantara Leb...