Harapan anak bangsa!
Guru
tidak pernah lepas dari mendidik. Mendidik adalah lahan untuk mengeksplorasi
diri guna mengembangkan potensi, memenuhi tugas, dan mencapai keberhasilan akan
tujuan pendidikan itu sendiri. Salah satu tujuan dari terselenggaranya
pendidikan di Indonesia adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusianya. Tidak hanya mereka saja yang hidup dalam kemudahan di kota yang
berhak untuk mendapatkan pendidikan, tetapi mereka yang hidup di ujung
negeripun juga berhak untuk mengenyam pendidikan. Oleh demikian pemerataan
pendidikan sampai ke daerah-daerah ujung negeripun semakin gencar dilaksanakan.
Mengabdi selama satu tahun sebagai
guru SM-3T, berbagai pengalaman luar biasa telah didapatkan penulis. Penulis
bertugas di Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat. Mungkin di antara
pembaca sekalian banyak yang tidak tahu ataupun bahkan belum pernah mendengar nama Kabupaten Bengkayang. Sama
halnya dengan penulis yang mungkin tidak akan pernah tahu dan tidak akan pernah
mendengar jika penulis tidak mengikuti
program ini. Sedikit penulis jelaskan bahwa Kabupaten Bengkayang adalah sebuah
kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat, jarak tempuh dari Kota Pontianak selaku
ibu kota provinsi yaitu sekitar 4-5 jam melalui jalur darat. Kabupaten ini
adalah salah satu Kabupaten di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan
negara tetangga,
Malaysia.
Selasa 6 September 2016 pertama kali
penulis menginjakkan kaki di Kabupaten Bengkayang, rasanya tidak ada yang berbeda dengan kabupaten-kabupaten
yang ada di Pulau Jawa, mungkin perbedaan yang kasat mata adalah tidak seramai
kendaraan lalu-lalang seperti jalan raya di Kabupaten Kebumen tempat penulis
berasal. Namun setelah penulis melakukan perjalanan menuju tempat tugas di salah
satu kecamatan yang ada di Bengkayang ini yaitu Kecamatan Suti Semarang, rasa
penasaran beserta pertanyaan yang ada di dalam hati penulis tentang bagaimana
kondisi di daerah 3T akhirnya terjawab juga. Dari pusat Kabupaten Bengkayang
hingga sampai sekolah tempat penulis akan mengabdi selama setahun lamanya
sepanjang perjalanan yang penulis lewati adalah jalan tanah yang pada saat itu
kondisi jalannya penuh dengan genangan air dan tanah yang telah berubah menjadi
lumpur yang ternyata penyebabnya karena pada bulan-bulan itu memang hujan turun
terus-menerus hampir setiap hari. Butuh waktu kurang lebih 4 jam bagi penulis
yang saat itu menumpang motor dengan salah guru yang tentunya sudah hafal medan
jalannya untuk sampai ke sekolah yaitu SMP Negeri 3 Suti Semarang yang berada
di Desa Kiung Kecamatan Suti Semarang.
SMP Negeri 3 Suti
Semarang merupakan sekolah baru yang memulai kegiatan belajar mengajar
pada tahun pelajaran 2016/2017. Sekolah
ini belum mempunyai bangunan atau gedung sendiri dikarenakan gedung baru masih
dalam tahap pembangunan, maka untuk semester 1 kegiatan belajar mengajar dilaksanakan
menumpang di gedung sekolah dasar terdekat yaitu SD Negeri 04 Kiung. Setelah
gedung baru selesai pada awal semester 2 maka kegiatan belajar mengajar dipindahkan
ke gedung sekolah yang baru.
Meskipun
gedung baru namun banyak sekali sarana dan prasarana sekolah yang belum
lengkap, mengingat untuk melengkapi itu semua tidak memungkinkan dalam waktu
dekat dikarenakan akses jalan yang sulit. Sekolah ini dikelilingi oleh hutan
karena letaknya tidak di area Desa Kiung, melainkan
berada pada jarak sekitar 500 meter
dari pemukiman warga di desa
Kiung itu sendiri. Namun di sisi
lain walaupun sekolah berada jauh dari kampung dan dikelilingi oleh hutan,
terdapat pemandangan bagus saat kita melihat ke sisi yang lain, karena bangunan
sekolah terletak tepat di kaki bukit yang mana bukitnya cukup tinggi. Bukit ini
telah sejak dulu disakralkan oleh warga desa dan masih digunakan untuk acara
persembahan jika diperlukan. Warga Desa Kiung memberi nama bukit ini dengan nama Bukit Sepano. Jadi
tidak heran karena letak sekolah yang berada di ketinggian seringkali pada pagi
hari halaman sekolah masih penuh dengan kabut bahkan hingga pukul 07.30 kabut
pernah belum hilang juga.
Jumlah guru yang mengajar di sekolah
ini ada 7 guru, dengan ditambah saya
sebagai guru baru menjadikan guru yang mengajar berjumlah 8 guru. Tidak seperti
guru pada jenjang sekolah dasar, penulis sebagai guru jenjang SMP hanya di beri
tangungjawab tugas untuk mengajar mata pelajaran, yakni mapel yang sesuai
dengan jurusan penulis,
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (PJOK) dan juga ditambah dengan
Bahasa Inggris, karena di sekolah ini belum mempunyai guru bahasa inggris. Begitu
pula dengan guru-guru yang lain juga mengajar lebih dari satu mapel, hal ini
dikarenakan terbatasnya jumlah guru di SMP Negeri 3 Suti Semarang.
Sedangkan
jumlah keseluruhan siswa SMP Negeri 3 Suti Semarang hanyalah 11 siswa yang
duduk di kelas 7, dengan rincian 6 siswa putra dan 5 siswi putri. Siswa yang asli
berdomisili di Desa Kiung berjumlah 9, hanya 5-10 menit jalan kaki ke sekolah,
sedangkan 2 siswa lainnya mereka
bertempat tinggal di lain desa. Siswa putra bernama Sukarius dia harus jalan
kaki selama 45 menit–1 jam setiap harinya untuk ke sekolah, sedangkan siswi
putri bernama Meriandani dia harus berjalan kaki lebih lama karena jaraknya
lebih jauh yaitu 1-1,5 jam untuk bisa sampai ke sekolah. Tidak seperti di
perkotaan yang bisa mengendarai sepeda ataupun sepeda motor, yang hanya bisa
kedua siswa saya lakukan itu hanya jalan kaki mengingat jalanan tanah yang rusak
dan juga naik turun.
Meskipun
SMP Negeri 3 Suti Semarang kami hanya memiliki 11 siswa saja, tidak mengurangi
jumlah kegiatan yang mereka laksanakan setiap harinya. Proses belajar mengajar secara
normal di kelas dan di lapangan, mengadakan upacara bendera setiap hari Senin,
melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler pramuka, bola voli, dan paskibra.
Kemudian juga kegiatan bersih sekolah yang rutin dilaksanakan setiap jumat dan
sabtu, serta kegiatan-kegiatan lainnya. Dengan jumlah siswa yang dapat
dikatakan sedikit tersebut, dan juga dengan keterbatasan sarana dan prasarana
sekolah yang sangat minim, namun pihak sekolah terus berusaha agar sekolah ini
dapat berjalan dengan aktif sebagaimana sekolah pada umumnya
Keterbatasan
sarana dan prasarana yang ada di sekolah tidak membuat mereka berkecil hati
hingga lantas menjadi malas untuk bersekolah. Mereka walaupun masih berusia
12-15 tahun jika dibandingkan anak seumuran mereka yang tinggal di kota mungkin
hanya bersekolah, kemudian bermain, makan, dan tidur malam, paginya sekolah
lagi begitu seterunya, tetapi tidak dengan mereka siswa sekolah di daerah 3T.
Pada umur mereka yang memang benar seharusnya hanya bersekolah dan bermain,
tetapi siswa-siswi penulis yang hidup di pedalaman telah diberi tugas dan
tanggungjawab yang lebih oleh orangtuanya. Sebelum berangkat ke sekolah
mayoritas dari siswi putri mereka setiap paginya bangun jam 4 subuh untuk
memasak menggunakan kayu bakar (karena tabung gas sangat langka di sana)
terlebih dahulu guna makan pagi seluruh anggota keluarganya, setelah itu mereka
baru bersiap untuk mandi pagi. Untuk mandi di daerah seperti Desa Kiung ini
butuh perjuangan sekali, karena di sini air adalah barang yang sangat langka,
banyak rumah yang tidak mempunyai kamar mandi karena sulitnya mendapatkan air
bersih. Oleh karena itu kebanyakan dari mereka untuk mandi harus berjalan kaki
selama sekitar 10 menit menuju ke sumber mata air yang ada yaitu air pancur.

Mereka
memiliki kesempatan untuk belajar hanya pada waktu malam hari, malam yang
berbeda dengan malam-malam di kota sana. Malam di sini adalah malam yang gelap
bahkan gelap sekali, itu dikarenakan Desa Kiung masih belum terhubung dengan aliran
listrik negara. Hanya segelintir rumah saja yang mempunyai jenset listrik
pribadi dan itupun tidak setiap malam digunakan. Seluruh warga di sini
mengandalkan penerangan yang mereka buat sendiri dengan botol atau kaleng
minuman diisi bahan bakar minyak tanah yang kemudian sumbunya dihidupkan dengan
api, dan benda tersebut mereka
sebut
dengan ‘Pelita’. Begitu juga mereka para siswa SMP Negeri 3 Suti Semarang yang
hanya mengandalkan penerangan dari sebuah pelita untuk menemani dan memberikan
sedikit cahaya untuk mereka belajar mengerjakan tugas-tugas sekolah dan membaca
buku-buku pelajaran mereka.
Untuk
saat ini mungkin sebagian besar dari mereka siswa-siswi menjalankan kegiatan belajar,
mengerjakan tugas dan membaca buku pelajaran di malam hari yang sangat minim penerangan
dengan mengandalkan cahaya dari sebuah pelita. Mereka melakukannya hanya sebatas sebuah
tuntutan guru, karena
jika tidak mengerjakan tugas akan
dihukum ataupun takut dimarahi oleh orang tuanya jika nilai sekolah jelek. Namun di
sisi lain,
dengan mereka terus menumbuhkan rasa semangat untuk pergi belajar menuntut ilmu
ke sekolah, mengulang pelajaran
selagi
di rumah dengan mengerjakan tugas sekolah dan membaca buku pelajaran yang
mereka laksanakan setiap malam,
meski
hanya ‘berteman’ dengan sebuah pelita, bukankah sangat mungkin hal ini justru yang akan membawa mereka
satu langkah lebih maju untuk mewujudkan cita-citanya dan juga harapan dari
orang tua untuk dapat hidup lebih baik dan lebih baik lagi dari saat ini, kehidupan yang tengah mereka rasakan dengan berbagai keterbatasa
yang ada.
Berawal
dari pelita yang mereka nyalakan setiap malamnya guna menemani mereka dalam belajar,
melangkah dengan semangat setiap hari untuk menuntu ilmu di sekolah mereka SMP
Negeri 3 Suti Semarang yang berada di kaki bukit Sepano, itu semua demi harapan
besar mereka dan orang tua agar menjadikan hidup yang lebih baik dari apa yang
sedang mereka rasakan kini. Teruslah
bersemangat siswa-siswiku, teruslah berjuang di tengah keterbatasan yang ada,
dan teruslah percaya bahwa harapan yang telah kalian miliki suatu saat pasti
akan terwujud, karena kalian adalah “Pelita
Harapan Sepano”.( oleh Jullio Prassojo, S.Pd.)
No comments:
Post a Comment