Guru merupakan salah satu
profesi yang mengemban tugas mulia.
Melalui gurulah tugas untuk mencerdaskan kehidupan generasi penerus bangsa di
amanahkan. Guru menjadi ujung tombak untuk memastikan hak mendapatkan
pendidikan bagi setiap anak Indonesia terlaksana. Untuk memenuhi hak pendidikan
tersebut maka tersebarlah guru-guru di seluruh Indonesia, baik di perkotaan,
pedesaan, maupun pelosok negeri. Lantas, Bagaimana rasanya menjadi guru di
pelosok negeri? Apakah menyenangkan atau justru menakutkan?
Saya akan mencoba untuk
menjawab pertanyaan di atas berdasarkan pengalaman saya mengabdi selama 1 tahun
di pelosok negeri. Saya adalah seorang guru SM-3T yang bertugas di SMA Negeri 1
Lembah Bawang dan membantu mengajar di SMP Negeri 3 Lembah Bawang yang terletak
di Kecamatan Lembah Bawang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Kecamatan
Lembah Bawang merupakan daerah yang terletak di lereng Gunung Bawang dengan
jarak tempuh ± 3 jam dari pusat Kabupaten Bengkayang. Kecamatan Lembah Bawang
dihuni oleh masyarakat Suku Dayak, terutama Dayak Bekati dan Beahe serta Suku
Jawa.
Menjadi guru di pelosok
negeri bukanlah hal yang menakutkan, tetapi merupakan pengalaman yang luar
biasa menarik dan menyenangkan. Di pelosok negeri, guru adalah profesi yang
sangat dihormati oleh seluruh lapisan masyarakat. “selamat pagi bu/pak guru,
selamat siang bu/pak guru, selamat sore bu/pak guru” adalah sapaan yang
diberikan oleh anak-anak ketika bertemu sosok guru diberbagai kesempatan.
Sapaan yang akhir-akhir ini jarang untuk ditemui, namun di pelosok negeri
seolah menjadi nyanyian merdu bagi perjalanan guru.
Pelosok negeri identik
dengan segala keterbatasan, termasuk sarana dan prasarana pendidikan. Kondisi
tersebut bukan suatu hambatan melainkan kesempatan bagi guru untuk
mengembangkan potensi dan kreativitasnya dalam memberikan hak pendidikan bagi
anak-anak di pelosok negeri. Mereka adalah permata dengan semangat juang luar
biasa, permata yang menunggu dipoles agar terlihat keindahannya. Permata yang
sangat membutuhkan sosok guru untuk membantu mereka menjaga motivasi dalam meraih
impiannya. Karena sejatinya keterbatasan bukan alasan untuk mengubur mimpi
melainkan sebuah tantangan untuk mewujudkan mimpi tersebut. Dan disinilah peran
guru untuk menjembatani generasi penerus bangsa agar selalu mengobarkan
semangat dalam diri guna menghadapi segala keterbatasan dalam meraih impian.
Pendidikan yang layak dan berkualitas adalah hak bagi segenap anak Indonesia,
termasuk bagi permata-permata di pelosok negeri.
Indonesia sebagai negara
yang multikultural, tentu kaya akan berbagai suku bangsa, agama, ras, dan
budaya. Menjadi guru di pelosok negeri membuka cakrawala pengetahuan mengenai
keberagaman Indonesia serta meningkatkan kecintaan terhadap tanah air ini. Selama
1 tahun pengabdian saya hidup di lingkungan masyarakat Dayak yang masih sangat
menjunjung adat istiadat dan kearifan lokal. Naik dango (tahun baru padi) sebagai ungkapan syukur atas nikmat
panen yang diberikan Tuhan dan berlale
sistem gotong royong dalam menggarap ladang merupakan adat istiadat dan
kearifan lokal masyarakat yang tetap lestari hingga kini. Bahasa dayak, baik Dayak
Bekati maupun Beahe merupakan bahasa daerah yang menjadi salah satu kekayaan
budaya Indonesia. Baik adat istiadat maupun bahasa tersebut menarik untuk
dipelajari sehingga dapat menambah cakrawala pengetahuan dan meningkatkan rasa
cinta terhadap tanah air.
Selama 1 tahun
pengabdian, saya hidup menjadi minoritas di lingkungan masyarakat Dayak. Saya
yang seorang muslim tinggal di lingkungan masyarakat yang mayoritas beragama
Kristen dan Katolik. Apakah menjadi minoritas itu lekat dengan keterpasungan
dan ketertindasan? Jawabanya adalah Tidak. Mayoritas atau minoritas bukanlah
suatu masalah apabila toleransi menjadi kuncinya. Selama dalam masa pengabdian
saya menikmati indahnya toleransi dalam bermasyarakat. Kehidupan di sekolah
maupun masyarakat menjunjung tinggi toleransi guna mewujudkan keharmonisan. Saya
menikmati bagaimana masyarakat saling menghargai dan menghormati satu sama lain
tanpa melihat latar belakangnya. Kami hidup dalam harmoni, tanpa terpengaruh
oleh isu SARA yang sering kali menjadi perdebatan.
Menjadi guru di pelosok
negeri menumbuhkan pemahaman akan nikmat rasa syukur. Saya bersyukur menjadi
seorang guru yang diberikan kesempatan melihat pelosok Indonesia. Alangkah
nikmatnya mendengar celotehan permata-permata pelosok negeri mengenai mimpinya.
Betapa menyenangkannya menumbuhkan semangat nasionalisme dan kecintaan terhadap
negeri kepada mereka. Apapun yang terjadi, apapun yang dihadapi dalam
kehidupan, NKRI adalah harga mati. Semangat itulah yang mereka tunjukkan, di tengah
segala keterbatasan yang dihadapi, kecintaan kepada negeri tetap terpatri dalam
hati. Karena semangat nasionalisme dan kecintaan kepada negeri adalah hal wajib
yang harus dimiliki setiap warga negara.
Keasrian dan keindahan
alam adalah salah satu nikmat ketika menjadi guru di pelosok negeri. Pesona
alam pelosok negeri menjadi obat penawar dikala kejenuhan akan rutinitas
melanda. Pesona alam tersebut akan membuka mata kita jika anugerah Tuhan itu
tidak terbatas dan betapa indahnya negeri ini. Pesona alam yang harus dijaga
dan dilestarikan agar kelak dapat dinikmati oleh generasi penerus bangsa
selanjutnya.
Menjadi guru di pelosok
negeri? Kenapa tidak, menjadi guru di pelosok negeri bukanlah hal yang
menakutkan melainkan pengalaman yang menyenangkan. Keikhlasan dalam menjalani
profesi akan semakin terbentuk dan menumbuhkan kecintaan kita terhadap profesi
tersebut. Berbagai kesempatan dan tantangan yang menghampiri semakin membentuk
sikap profesionalitas seorang guru dalam mendidik generasi penerus bangsa.
Mari keluar dari zona
nyaman untuk menemukan zona yang lauh lebih nyaman di luar sana. Bukalah mata
dan hati kita jika generasi penerus bangsa di seluruh pelosok Indonesia
membutuhkan guru-guru untuk membantu mereka mewujudkan mimpi-mimpinya. Jangan
pernah takut menjadi guru di pelosok negeri karena sejatinya menjadi guru di pelosok
negeri itu nikmat.( oleh Nining Lisnawati,
S.Pd.)
No comments:
Post a Comment